Mohon tunggu...
las tri
las tri Mohon Tunggu... Pegawai Negeri Sipil -

ketika kumulai langkah dari nol, aku tau bahwa hidup itu perjalanan , dan setiap perjalanan butuh perjuangan

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

[Hari Ibu] Sepertiga Malam Ibu

22 Desember 2015   18:28 Diperbarui: 22 Desember 2015   18:28 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Sumber gambar : rayasoraya.blogspot.com

 

***

Tuhan...

Sejenak aku berfikir, hidup ini seperti apa? Setiap hari aku melihat gemintang berpesta di langit, memperagakan pesonanya. Tapi tak sekalipun aku melihat mereka lelah. Aku juga tak melihat mereka pongah. Aku bertanya pada diriku sendiri, apakah di belahan bumi lain, orang juga melihat hal yang sama? Apakah hanya aku yang hidup seperti ini? Kapan aku akan keluar dari semua ini? Tak bolehkah aku membesarkan anakku dengan cara yang lebih  baik? Tak dapatkah aku menggantikan cahaya bintang itu bagi hatinya yang terluka di hari tua nanti? Tak mampukah aku yang jadi penerang jiwa mereka yang kerdil.

Setiap langkah kaki ini tak pernah gontai, meski hanya sesuap nasi yang kuperoleh untuk kebahagiaan keluargaku. Kebahagiaan anak-anakku. Kebahagiaan suamiku  dan juga kebahagiaan masa depan anakku. Tak pernah aku berani membayangkan masa depan mereka seperti apa. Ku berikan dua tanganku sepenuhnya untuk pengabdian seorang istri. Untuk pengabdian seorang ibu. Meski kelembutan tangan masa mudaku tlah tergantikan kerasnya terpaan hidup . namun tak pernah kusesali setiap jalan yang kutemui berulang-ulang. Setiap rintangan yang kusisiri tak pernah padam. Sekali lagi tak pernah kusesali semua itu.

Di sepertiga malam ini aku bangun  lagi Tuhan. Kutengadahkan tanganku hanya untuk meminta pada-Mu. Meminta atas kekerdilan jiwaku, meminta atas kecilnya sukmaku. Meminta atas kebahagiaan keluargaku. Jika aku tak mampu menjadi pelindung bagi anak-anakku nanti, tolong jadikan gemintang ini pelipur lara bagi mereka. Jadikan tangan-Mu pelindung bagi mereka. Dengan doa-doa yang kubulirkan lembut untuk-Mu, jauhkan mereka dari kejamnya dunia. Setiap hela nafas ini hanya harapan yang tercurah untuk mereka Tuhan. Tak lain dan tak bukan. Aku telah menyerahkan sepenuhnya hidupku demi mereka. Sekali lagi lindungi perjalanan anak-anakku Tuhan.

Di sepertiga mala mini juga, tlah kuhabiskan waktu untuk mengais reski di jalan-Mu yang  benar. Memulai langkah kecil, ketika orang lain masih nyenyak dengan semua mimpinya. Aku bergerak untuk mengejar mimpi anakku. Hingga tak kubiarkan hatiku bermimpi sedikitpun, bahkan dalam tidur sekalipun. Tak kubiarkan dinginnya malam yang menusuk tulang , membuatku malas untuk berjumpa dengan-Mu, menjemput reski yang tlah Engkau sediakan. Sekali lagi tak akan pernah kubiarkan.

Aku mengadu padamu Tuhan, dengan penuh kerendahan hati. Jika ada yang bertanya padaku, maka satu hal yang tak pernah mampu kujawab. Seperti apa rupa ibuku? Tak mampu aku menjelaskannya Tuhan. Kecuali air mata tertahan yang mampu menguraikannya. Aku tak diizinkan untuk mengingat wajahnya. Aku tak ditakdirkan untuk lebih lama berada dalam dekapannya. Umur enam tahun tak cukup kuat untukku menyimpan memori kelembutan kasihnya. Tak mampu bagiku mengingat kehangatan peluknya. Tak mampu juga bagiku merasakan asupan manjanya di wajahku. Bahkan hanya untuk mengingat bagaimana ia membelai rambutku saja, aku tak mampu. Kau terlanjur mengambilnya untuk jadi kekasih-Mu.

Itulah yang kuingat ketika aku membesarkan anak-anakku. Aku tak ingin mereka sepertiku. Terlunta seorang diri tanpa ibu. Mencari jalan dimana ku kan mengadu. Tapi kutau bahwa ia tak pernah pergi. Meski aku tak pernah melihatnya secara rupa, namun kuyakin ia tetap melihatku. Begitu juga aku pada-Mu.

Tuhan... bahagiakan ibuku di sana. Kutitipkan salam rindu untuknya. Aku berharap dia melihatku penuh suka. Tak sekalipun aku melupakannya. Tak sedetik pula aku berharap tak berjumpa dengannya. Ingin aku memeluknya, ingin aku berkesah padanya. Ingin aku memanggilnya ibu. Tapi Tuhan… dia tlah Kau peluk. Mungkin peluk-Mu jauh lebih hangat dari pelukku. Sekali lagi Tuhan, tak kusesali semua itu.

Tuhan, sepertiga malam ini tlah jadi saksi nyata kehidupanku. Aku dan jiwaku berselimut jadi satu. Memberi kehangatan dari setiap doa yang kulantunkan untuk menghangatkan perjalanan reskiku. Aku tau tak perlu mengeluh atas semua ini. Jika Kau saja tak pernah tidur untuk menyaksikan setiap derap kaki umat-Mu, untuk apa aku meragukan kehadiran-Mu. Aku tlah berserah pada-Mu atas reskiku hari ini serta reski keluargaku..

***

Ibu….disepertiga malam ini aku bangun lagi. Menemani tidurmu yang terganggu karena usahamu demi kebahagiaanku. Kurasakan kau makin menua ibu.. Tangan lembutmu tak lagi sama dengan yang kurasa waktu aku kau ajar berjalan. Kerja keras itu tergambar dari tanganmu yang mengekar. Yang tlah menggenggam banyak tanggung jawab. Yang telah mempertaruhkan kebahagiaanmu demi kebahagiaanku, kami anak-anakmu. Kulitmu tak lagi kencang seperti kuatnya kau memegangku ketika terjatuh. Rambutmu tak lagi terurai indah seperti kau berupaya merawaat rambutku. Kulit itu mengerut, rambut itu mengusut.Tak pernah kau pikir dirimu.

Ibu…di sepertiga mala mini, aku mendengar kau memainkan peran itu lagi. Memainkan sendok di atas wajan. Penggorengan itu tlah berdentang lembut, penuh kepastian.  Pertanda harapmu tak pernah lekang. Pertanda doamu tlah tercurah. Pertanda kau tlah berserah. Berserah pada ridha-Nya.

Ibu…tak mampu kupejamkan mata. Selimut ini tak lagi hangat bagiku. Tak bisa kubiarkan kau kedinginan. Meski panasnya penggorengan mampu membuatmu merasa hangat. Tapi itu bukan kehangatan. Panas itu hanya membuat kulitmu makin berkerut. Matamu makin sayu, dan rambutmu makin lusuh. Kurasakan penatnya kakimu berdiri di depan penggorengan itu. Kurasakan juga kaki itu makin penat makin kokoh. Karena segala harapan tergambar pada uratnya yang makin membuntang.

Ibu... aku kan menemanimu di sepertiga malam ini. Meski aku tak pernah kau biarkan membantu, walau hanya sekedar memasukkan adonan dalam penggorengan. Tak pernah kau biarkan itu ibu. Namun aku kan tetap menemani.

Ibu..ketika pagi menjelang beserta deraian doa, serta kehangatan dalam cinta yang tak pernah kau ungkap secara nyata. Tapi setidaknya matamu memancarkan sinar harapan pada langkah kecilku menuju sekoah.  Di saat itu, aku akan membawa harapanmu bersama langkah itu. Karena aku tlah menemanimu di sepertiga malam di bawah cahaya. Cahaya yang kau titipkan pada Tuhan. Untuk disampaikan padaku. Cahaya itu akan kumainkan secara benar dengan nalar. Aku tak lagi mau membiarkanmu kehilangan banyak hal. Termasuk kami anak-anakmu. Kan kujadikan panasnya pernggorangan yang membakar tubuhmu di sepertiga malam itu,menjadi becutan bagiku agar kau mampu melihat bintang. Kan kuhadiahi bintang itu di pelukanmu.

***

Selamat Hari Ibu wahai Ibuku. Semoga aku mampu menjadi gemintang seperti bulir doa di sepertiga malammu.

 Linggau, 22 Desember 2015

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun