Mohon tunggu...
Eko Nurwahyudin
Eko Nurwahyudin Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar hidup

Lahir di negeri cincin api, hidup sebagai penyaksi, enggan mati sekedar jadi abu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lali Ta: Sekelebat Banaspati yang Menyala Hebat

20 Agustus 2017   20:00 Diperbarui: 21 Agustus 2017   19:24 584
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dan sepercik bunga api telah menari hebat. Terbakarlah aku dalam liang!

"Dasar bajingan tengik!" akhirnya sepatah kalimat lantang muncul dari relungku yang tak kuasa menelan pertanyaan-pertanyaan. Meledak!

Aku yang terpanggang api merangkak muncul dari liang. Para bajingan tengik, dan sekelompok anjing lintang pukang. Mereka lari tanpa menoleh, tanpa bersuara. Tanganku menggerayang mencari tempayanku yang kutinggalkan di sekitar liang. Tempayan cuil yang dilekati kegilaan yang sudah membesar menutup seluruh bibir tempayan.

"Untunglah sekelompok bajingan tengik itu tak banting tempayanku" ujarku yang langsung mengangkat tinggi-tinggi tempayanku dan memecahkannya dengan kepalaku. Byar! Basahlah seluruh tubuhku.

Aku mulai menyeka wajahku dengan lengan busana yang sedikit hangus.

"Astaga biadab sekali bajingan-bajingan itu!" ucapku sayu sambil mengelus dada menyaksikan liang yang masih terbakar. Liang yang baru aku tahu ukrannya semakin membesar seperti kegilaan yang melekat pada tempayanku. Tumpukan naskah-naskah tebal yang belum selesai dibacakan seorang tadi bertuliskan angka-angka besar 1965, 1982, 1989, 1997, 2001,dan empat digit angka lainnya yang tak pernah aku tau rahasianya hangus terbakar, bersamaan sampah-sampah yang dibuang bapak, seonggok tai anjing, dua mayat rusak tercabik, dan semua penduduk desa yang sudah tuduh aku melakukan pesugihan yang kini jadi mayat yang hilang kehormatannya. Kepala, kaki, tangan, tubuh yang tumang tindih, seonggok tai anjing, bau daging hangus terbakar!

Beruntungkah aku diperlihatkan kesunyian abadi? Beginikah datangnya tiap kematian? Lebih halus dari laju angin pancaroba. Beginikah akhir tiap kematian? Lebih dingin dari bayonet para tentara. Beruntungkah aku selamat dari dasar liang?

Embun pagi belum juga turun. Dari kejauhan terdengar lantunan Kidung Rumekso Ing Wengi, seseorang masih terjaga. Aku tinggalkan liang yang kian menyala hebat. Melangkah pincang mengikuti muara doa.

"Aku harus kembali membawa tempayan baru yang penuh air. Aku harus kembali. Mereka yang masih manusia patut mendapatkan kemanusiaannya. Aku yang masih manusia wajib membantu mengembalikan kemanusiaan mereka"

Yogyakarta, 15 Agustus 2017

15:38 WIB

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun