Mohon tunggu...
Eko Nurwahyudin
Eko Nurwahyudin Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar hidup

Lahir di negeri cincin api, hidup sebagai penyaksi, enggan mati sekedar jadi abu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lali Ta: Sekelebat Banaspati yang Menyala Hebat

20 Agustus 2017   20:00 Diperbarui: 21 Agustus 2017   19:24 584
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mereka yang masih tersisa secara halus meminta pamit. Lima, tujuh, sembilan orang, meninggalkan aku dan Chalid. Aku yang melihat betul keraguan yang tebal pada air mukanya menyuruhnya pulang.

"Lebih baik kau istirahat. Aku mengerti kau penat sehabis jaga malam ini. Pulanglah. Tak apa aku bisa urus sendiri," ujarku. Ia tak keluarkan sepatah kata. Hanya beberapa kali elusan di punggungku dan beranjak meninggalkan aku dengan langkahnya yang berat.

Tinggallah aku sendiri dengan dua mayat rusak, penuh luka cabikan. Yang satu masih bisa aku kenali, Mangoenatmodjo namanya. Sedangkan yang satunya lagi, entah. Kondisinya pun lebih parah. Lehernya hampir putus!

Beruntungkah aku diperlihatkan kesunyian abadi? Beginikah datangnya tiap kematian? Lebih halus dari laju angin pancaroba. Beginikah akhir tiap kematian? Lebih dingin dari bayonet para tentara. Beruntungkah aku didatangi kematian?

Matahari sudah dua penggalah tingginya. Sinarnya yang hangat, masih sama. Tak pernah menjangkau relung di tiap kepala. Gelap, pengap, penuh sesak pertanyaan yang membusuk tak termuntahkan.

"Awas kowe berani kubur itu mayat di pekuburan desa!" ancam seseorang yang berjalan melintas.

 "Buang ke kali sana! Biar hanyut hilang. Kami tak ingin kena bala!" ujar seorang lainnya yang melintas berlawanan dari arah orang pertama.

"Bedebah! Keparat! Kenapa tak mereka semua saja yang mampus, apa guna hidup manusia kalau menghormati manusia lainnya tak lebih bernilainya dari seonggok taik? Apa sekolah-sekolah yang berdiri di tiap desa tak pernah tanamkan di otaknya yang bebal berharganya kehormatan pada diri seorang manusia, meskipun manusia itu sudah jadi mayat? Goblok betul kalau sampai seorang terpelajar berpikiran demikian. Berpikir cari aman, cari nyaman," umpatku menyumpahi mereka celaka, mati segera.

Empat jam aku menggali liang. Membersihkan gundukan sampah dan taik anjing majikannya atau lebih tepatnya mengacakacak pekerjaan Bapak. Kubersihkan tubuh dua mayat itu yang berlumuran darah dan belepotan tanah merah. Secarik kertas bertuliskan nomor 528 terselip di saku baju mayat Mangoenatmodjo. Persetan maksud tiga deret angka tersebut. Aku selesaikan sesegera mungkin mengubur dua mayat ini, sebelum orang-orang bodoh itu kembali datang dan bertindak lebih sinting.

Ya, aku sadar usahaku memakamkannya jauh dari kata "pantas" untuk seorang mausia. Menimbun pekuburan mereka dengan sampah dan tai anjing pula.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun