Mohon tunggu...
Eko Nurwahyudin
Eko Nurwahyudin Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar hidup

Lahir di negeri cincin api, hidup sebagai penyaksi, enggan mati sekedar jadi abu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lali Ta: Sekelebat Banaspati yang Menyala Hebat

20 Agustus 2017   20:00 Diperbarui: 21 Agustus 2017   19:24 584
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mereka kembali. Teriakan-teriakan parau yang disusul beberapakali lemparan batu ke pintu rumahku. Mereka mendobrak pintu rumahku. Masuk seperti seekor harimau yang berlaga dalam upacara rempog. Salah seorang dari mereka yang menemukanku langsung menjambak rambutku dan membenturkan kepalaku ke dinding rumah. Jangankan sempat aku melawan, melihat, mengenali sekilas pelakunya saja aku tak sempat. Buru-buru mereka mengadu dengkulnya ke wajahku, tepat di mata kiriku.

Leherku dikunci. Seseorang lainnya dari mereka menghujamkan siwing tepat mengenai mata kananku. Aku yang kehilangan tiga perempat sadarku dibawa pergi. Aku masih ingat mereka melemparkan tubuhku ke tempat yang sama dimana aku menguburkan dua mayat rusak siang tadi. Teriakan-teriakan parau masih bersahutan. Bunuh! Bunuh! Bunuh!

***

Dari fajar hingga matahari terbenam, aku tenggelam ketidaksadaran. Seonggok tai anjing yang dibuang ke dasar liang mengenai kepalaku. Aku belum juga tersadar. Tetesan air dari atas liang yang hanya membasahi parasku (mungkin air kencing), telah merekatkan kembali kepingan-kepingan kesadaranku. Aku siuman.

"Sebuah tangan? Bukan. Ini sebuah kaki. Bukan kakiku!" batinku. Jemariku yang bergerak tak bertenaga mengambil alih fungsi kedua mataku yang lebam. Menggerayang, menerka. "Sebuah kepala! Bukan, dua kepala! Bukan air. Cairan ini kental, lengket. Darah?"

Aku beranikan diri membuka mata. Seseorang berpakaian asing berdiri mematung. Peci hitamnya yang lebih gelap dari rongga telingaku memancarkan kilatan-kilatan harapan. Inikah penolongku?

Jariku yang payah masih menunjuk-nunjuk meminta pertolongannya. Lebih dari lima ratus daun bambu kering yang gugur disapu angin, Ia tetap berdiri mematung. Lantang gonggongan anjing menggema. Gonggongan yang tak putus. Segerombolan anjing yang lapar. Dan belum juga aku dengar sepatah katapun keluar dari mulut seorang manusia. Ia tetap saja mematung di atas liang. Inikah penolongku?

***

Keparat Monsjou itu tak mengada-ada. Sebuah Banaspati berukuran besar melintas di langit malam tak berbintang. Dan terdengar suara-suara parau penuh amarah yang aku yakini betul bukan dari moncong para penduduk desa yang telah kira aku jadi dalang pembunuhan dua mayat lalu. Teriakan-teriakan mereka terdiam saat salah seorang dari mereka membacakan naskah dengan ketegasan.

Keheningan yang tak berlangsung lama. Lagi-lagi gongongan sekelompok anjing membangun kebisingan. "Bakar! Bakar! Bakar! " teriak orang-orang itu parau. Sepersekian detik sekelebat banaspati muncul lagi. Orang-orang kian kesetanan.

"Minyak tanah! Ya, ini minyak tanah. Tak mungkin aku salah. Bajingan tengik!" umpatku berusaha keluar liang. Jemariku yang masih payah aku paksakan menyingkirkan tangan, kepala, kaki yang menindih tubuhku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun