"Aku minta maaf kalau selama tiga bulan ini, banyak sikap dan perilaku yang tidak membuatmu nyaman dalam bekerja. Aku tahu itu.", sambung Boni.
"Tiga bulan adalah waktu yang cukup bagiku untuk mempersiapkan kamu menggantikan aku memegang kendali departemen ini."
"Kamu sudah membuktikan kualitasmu dengan sangat baik. Kamu tidak terpengaruh dengan status sebagai temanku sejak masa kuliah ataupun saat ini selaku stafku, bawahanku".
"Itu sebabnya, aku sudah mantab. Mengestafetkan departemen ini kepadamu, Ve."
"Besok pagi, akan turun SK Direksi untuk pengangkatanmu sebagai Manajer HRD yang baru, menggantikan aku".
Tercekat kerongkongan Vera mendengar semua penuturan Boni. Ia sama-sekali tidak menyangka bahwa Boni sengaja membuat skenario semua hal ini selama tiga bulan.Â
Sikapnya yang sangat formal, seringkali mengkritik hasil kerjanya, bahkan beberapa kali marah yang membuat hatinya jengkel. Tapi pagi ini ia mempromosikan dirinya sebagai manajer yang baru. Â
Padahal sejujurnya telah terbersit dalam hatinya untuk mengajukan resign satu bulan lagi, demi menghindari beban dan suasana kerja yang tidak nyaman ini. Tak terasa wajahnya menjadi hangat sembab, dan air mata mengalir di pipinya.
"Ve..kamu menangis?", Boni mencoba menetralkan suasana.
"Bon, maaf ya..sebenarnya selama tiga bulan ini aku merasa sebel banget sama kamu. Tapi karena kamu manajerku ya apa boleh buat. Aku diam. Tapi semua yang kamu minta kuupayakan dengan sepenuhnya.", terbata-bata Vera mencoba bicara.
"Jujur kalau boleh, aku ingin menolak promosi sebagai manajer HRD, aku merasa belum siap Bon", lanjutnya.