"Woi...galau nih ye..", celetuk Mira yang sedari tadi mengamati kusutnya muka Vera.
"Ih...si Ibuk, sok tahu deh", jawab Vera ngeledek balik.
"Gimana, kena marah lagi sama pak Boni, Ver?", jawab Mira.
"Iya. Sebel. Masa aku dikasih job untuk handel hubungan industrial. Kan aku bukan orang hukum, males baca buku undang-undang yang tebel dan rumit bahasanya. Bikin aku roaming.", jawab Vera ngegas.
"Belum lagi masalah training. Bayangin coba, tiga bulan ini hampir tiap minggu aku dikasih tugas ikut training personalialah, kompensasilah, retirementlah, perselisihan indsutriallah, pokoknya banyak deh. Dan setiap habis training pasti wajib presentasi laporan. Membuat portofolio perbaikan sistem. Kan capek buuuk...", sahut Vera lagi dengan gas yang sama.
"Sabar buuk....jangan ngegas gitu dong.", jawab Mira.
"Jangan terlalu terbawa perasaan. Apalagi perasaan sebel, benci, marah. Awas bisa berubah jadi cinta looh..", sahut Mira sambil tertawa ngeledek.
Mira memang hanya bermaksud bercanda, tetapi sejujurnya Vera sudah ada rasa dengan Boni sejak mereka sama-sama kuliah di  psikologi. Kebersamaan hampir empat tahun di kampus, membuat mereka banyak saling memahami satu dengan yang lain. Namun entah mengapa sampai saat ini, tidak pernah terucap kata cinta diantara mereka.
**
"Kopi, Ver.", suara khas yang sangat dikenalnya.
Sosok pria yang kalem itu tetiba sudah berdiri disampingnya mengulurkan segelas kopi di pagi yang dingin karena rintik hujan bulan November yang mulai turun.