Setiap peradaban memiliki caranya sendiri dalam memahami dan menyebut Tuhan. Di India, tempat lahirnya agama Hindu, Tuhan sering disebut dengan istilah Brahman, Ishvara, atau melalui manifestasi seperti Brahma, Wisnu, dan Siwa. Namun, ketika Hindu berkembang di Bali, muncullah istilah khas yang begitu akrab di telinga masyarakat: Sang Hyang Widhi Wasa. Nama ini bukan sekadar sebutan, tetapi juga sebuah jembatan antara ajaran ketuhanan Hindu yang mendalam dengan budaya Nusantara yang sarat dengan nilai lokal.
Pertanyaan yang sering muncul adalah, mengapa konsep "Sang Hyang Widhi Wasa" tidak dikenal di India? Apakah ini ajaran baru, atau bentuk lain dari penafsiran terhadap Brahman? Untuk menjawabnya, kita perlu menelusuri akar sejarah, budaya, dan filosofi agama Hindu sebagaimana ia hidup di tanah Bali.
Asal-usul Istilah Sang Hyang Widhi Wasa
Istilah Sang Hyang Widhi Wasa muncul pada awal abad ke-20, di masa ketika umat Hindu Bali berusaha menegaskan jati diri agamanya di tengah pengaruh kolonialisme dan misi keagamaan dari luar. Tokoh penting dalam pembentukan istilah ini adalah I Gusti Bagus Sugriwa dan Ida Ketut Jelantik, dua tokoh besar yang memiliki visi untuk meneguhkan Hindu sebagai agama monoteistik di Indonesia.
Kata "Widhi" dalam bahasa Sanskerta berasal dari akar kata vidh, yang berarti hukum, aturan, atau tatanan. "Wasa" berarti penguasa atau yang berkuasa. Jadi, Sang Hyang Widhi Wasa dapat dimaknai sebagai Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala hukum dan tatanan alam semesta. Dalam konteks ini, istilah tersebut merupakan terjemahan kultural dari konsep Brahman---realitas tertinggi dan kekal yang menjadi sumber, pemelihara, serta tujuan akhir dari segala yang ada.
Dengan demikian, Sang Hyang Widhi Wasa bukanlah dewa baru yang diciptakan oleh masyarakat Bali, melainkan penyesuaian linguistik dan budaya agar konsep ketuhanan Hindu dapat diterima dan dimengerti dengan lebih mudah oleh masyarakat Nusantara yang kala itu memiliki latar budaya berbeda dari India.
Adaptasi Agama dan Budaya
Ketika agama Hindu masuk ke Nusantara sekitar abad pertama Masehi, ia tidak datang sebagai sistem yang kaku. Hindu hadir dengan semangat dialog dan adaptasi. Ia bertemu dengan budaya lokal yang telah mengenal konsep hyang---roh suci yang dipuja di tempat-tempat sakral seperti gunung, pohon, atau pura.
Kata "hyang" sendiri merupakan istilah asli Nusantara yang telah lama digunakan sebelum kedatangan Hindu. Dalam sistem kepercayaan masyarakat Austronesia, hyang adalah kekuatan gaib atau entitas spiritual yang dihormati karena dianggap memiliki kuasa atas kehidupan manusia dan alam.
Ketika ajaran Hindu bertemu dengan konsep lokal ini, terjadi asimilasi makna. "Hyang" kemudian dihubungkan dengan Tuhan tertinggi dalam Hindu, sehingga lahirlah istilah "Sang Hyang Widhi Wasa." Dengan cara ini, ajaran Hindu tidak menghapus budaya lokal, melainkan merangkul dan menyucikannya dalam bingkai filsafat ketuhanan yang lebih luas.
Perbedaan Kontekstual dengan Konsep Tuhan di India
Di India, umat Hindu menggunakan berbagai istilah untuk menyebut Tuhan, tergantung pada aliran atau sampradaya-nya. Filsafat Advaita Vedanta misalnya, mengenal Brahman Nirguna (Tuhan tanpa sifat), sedangkan dalam Bhakti Yoga Tuhan diwujudkan dalam bentuk pribadi seperti Krishna, Rama, atau Durga.
Namun di Bali, ajaran Hindu menyesuaikan dengan kebutuhan spiritual masyarakatnya. Istilah Brahman dianggap terlalu abstrak dan filosofis, sulit dipahami oleh masyarakat awam yang terbiasa dengan bentuk pemujaan yang konkret. Maka muncullah nama Sang Hyang Widhi Wasa, yang menghadirkan Tuhan dalam bentuk yang lebih personal dan komunikatif, tanpa meninggalkan keesaan-Nya.
Oleh sebab itu, konsep Sang Hyang Widhi Wasa tidak dikenal di India bukan karena berbeda ajaran, tetapi karena perbedaan konteks sosial dan budaya. Di India, Tuhan dikenal dengan istilah Brahman, Ishvara, atau nama-nama dewa yang merupakan manifestasinya. Di Bali, nama itu diganti dengan istilah yang lebih membumi, namun maknanya tetap sama: Tuhan Yang Maha Esa, sumber dari segala kehidupan.
Makna Filosofis Sang Hyang Widhi Wasa
Walau lahir dari konteks lokal, makna filosofis Sang Hyang Widhi Wasa sejatinya sejalan dengan konsep Brahman dalam kitab-kitab Weda. Dalam Upanishad disebutkan:
"Ekam sat vipra bahudha vadanti"Â --- Kebenaran itu satu, namun para bijak menyebutnya dengan berbagai nama.
Kalimat ini menegaskan bahwa Tuhan hanyalah satu, tetapi manusia mengenalnya melalui berbagai sebutan dan bentuk. Inilah landasan dari konsep Sang Hyang Widhi Wasa: satu Tuhan, banyak manifestasi.
Dalam kehidupan umat Hindu Bali, Sang Hyang Widhi Wasa dipuja melalui berbagai aspek: sebagai Brahma Sang Pencipta, Wisnu Sang Pemelihara, dan Siwa Sang Pelebur. Namun ketiganya bukanlah tiga Tuhan yang berbeda, melainkan tiga kekuatan dari satu sumber yang sama. Konsep ini disebut Trimurti, dan menjadi simbol harmoni serta keseimbangan alam semesta.
Sang Hyang Widhi dan Pancasila
Kelahiran istilah Sang Hyang Widhi Wasa juga erat kaitannya dengan dinamika keagamaan di Indonesia pasca kemerdekaan. Pada masa awal kemerdekaan, pemerintah menuntut agar setiap agama memiliki konsep Ketuhanan Yang Maha Esa, sesuai sila pertama Pancasila.
Agar agama Hindu diakui secara resmi sebagai agama yang monoteistik, para tokoh Hindu di Bali memperkenalkan istilah Sang Hyang Widhi Wasa sebagai simbol Tuhan Yang Maha Esa dalam Hindu. Inilah yang kemudian menjadi dasar pengakuan negara terhadap Hindu sebagai salah satu agama resmi di Indonesia.
Sejak saat itu, nama Sang Hyang Widhi Wasa tidak hanya menjadi istilah teologis, tetapi juga identitas spiritual umat Hindu di Indonesia. Ia menjadi jembatan antara keyakinan lokal dan universal, antara ajaran Weda dan nilai-nilai Pancasila.
Perwujudan dalam Kehidupan Sehari-hari
Keunikan konsep Sang Hyang Widhi Wasa tidak hanya terletak pada istilahnya, tetapi juga dalam cara umat Hindu Bali mempraktikkannya. Setiap upacara yadnya, sesajen, dan doa yang dipersembahkan di pura sejatinya ditujukan kepada Sang Hyang Widhi Wasa dalam berbagai manifestasinya.
Ketika seorang petani berdoa di sawah, ia memuja Sang Hyang Widhi sebagai Dewa Wisnu, pemelihara kesuburan. Saat seorang seniman menari di pura, ia memuja Sang Hyang Widhi sebagai Saraswati, Dewi Pengetahuan dan Keindahan. Semua bentuk pemujaan itu kembali pada satu sumber yang sama: Tuhan Yang Maha Esa.
Inilah yang membuat Hindu Bali begitu hidup dan menyatu dengan alam. Setiap aktivitas, baik rohani maupun duniawi, selalu dilandasi kesadaran akan kehadiran Tuhan. Dalam filosofi Bali disebutkan:
"Tat Twam Asi" --- Aku adalah engkau.
Artinya, setiap makhluk adalah bagian dari Tuhan, dan menghormati sesama berarti menghormati Tuhan itu sendiri.
Â
Kesimpulan: Kesatuan dalam Keberagaman
Jika di India umat Hindu menyebut Tuhan sebagai Brahman, di Bali umat Hindu menyebut-Nya Sang Hyang Widhi Wasa. Namun di balik perbedaan istilah itu, sesungguhnya tersimpan satu makna yang sama: pengakuan akan Tuhan Yang Maha Esa, sumber dari segala ciptaan.
Perbedaan ini menunjukkan bahwa Hindu adalah agama yang luwes dan inklusif, mampu hidup berdampingan dengan budaya lokal tanpa kehilangan jati diri spiritualnya. Dalam Hindu, kebenaran bukan milik satu bahasa atau satu bangsa, tetapi milik seluruh umat manusia yang mencari cahaya kebenaran sejati.
Sang Hyang Widhi Wasa menjadi bukti nyata bahwa spiritualitas sejati tidak terikat oleh batas geografis. Di mana pun ia tumbuh, Hindu akan selalu menemukan cara untuk menyapa Tuhan dengan bahasa hati yang paling akrab bagi umatnya. Maka, walau istilah "Sang Hyang Widhi Wasa" tidak dikenal di India, esensi yang dikandungnya tetap satu dengan Brahman yang abadi --- Tuhan yang menjadi sumber, pemelihara, dan tujuan akhir dari seluruh kehidupan di alam semesta ini.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI