Mohon tunggu...
Lailan Syafira
Lailan Syafira Mohon Tunggu...

Saat ini (2011) aktif di Forum Lingkar Pena Sumut, Forum Komunikasi Nasyid Indonesia, KAMMI Sumut, ILMIBSI, Senat Mahasiswa Fakultas Bahasa & Sastra Universitas Medan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Afifah dan Malam Berdarah di Pandan

4 November 2011   19:18 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:03 476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Afifah mengangkat wajahnya dan menatap etek Rasidah yang tengah tertawa bahagia. Apa yang terjadi dengan perempuan itu? Begitu bahagianya dia ketika mengetahui Afifah telah membunuh ayahnya? Afifah kemudian berdiri dan berjalan ke arah etek Rasidah. Diambilnya sebatang kayu, dituliskannya sesuatu di atas pasir

Kenapa kau menyuruh aku membunuhnya?

“Kau mau tahu kenapa?! Karena aku mencintai ayahmu! Aku tidak ingin dia menikah dengan perempuan lain. Tapi, setelah aku tahu dia menikah dengan perempuan lain, aku berbalik menjadi membencinya. Sebab itulah, aku menyuruhmu membunuhnya! Karena aku tidak mau melihat dia bahagia bersama perempuan lain selain aku!”

Duarrrr!!! Bagai diksengat listri ribuan volt, Afifah tidak percaya dengan apa yang di katakan etek Rasidah. Perempuan itu, ternyata diam-diam mencintai ayahnya.

“Dan, kau mau tahu siapa penjahat bertopeng yang membunuh ibumu?” Lanjut etek Rasidah lagi. Ketika mendengar pertanyaan etek Rasidah yang demikian itu, Afifah menatap etek Rasidah dengan mata berapi-api. Dia tuliskan lagi sesuatu di atas pasir.

Siapa? Siapa penjahat bertopeng itu? Siapa yang telah tega membunuh ibuku?

“Aku!!! Aku yang telah membunuh ibumu, Afifah. Karena aku sangat membenci ibumu! Ha ha ha!” Jawab etek Rasidah sambil tertawa bangga. Bangga karena dia telah berhasil mengelabui Afifah. Afifah benar-benar geram mendengar perkataan etek Rasidah. Pisau belati itu masih tergenggam erat di tangan kanannya. Dia tuliskan lagi sesuatu diatas pasir

Terima kasih, etek Rasidah!

Dipeluknya etek Rasidah. etek Rasidah membelai rambutnya lembut sambil mencium kepalanya. Rembulan malam itu tidak bersinar. Entah kemana rembulan pergi. Bintangpun tidak ada bergelayut di panggung langit. Afifah memandang lurus kearah laut, masih dalam pelukan etek Rasidah. Dipandangnya pisau belati di tangan kanannya. Etek Rasidah masih membelai rambutnya lembut. Saat itulah, Afifah mengayunkan belati itu dan menghunuskannya ke tubuh etek Rasidah.

“A…Afifah…, k…kau…!”

Perempuan itu pun ambruk seketika. Belati itu masih menempel di tubuhnya. Afifah tidak sertamerta mecabut belati itu dari tubuh perempuan yang telah membunuh ibunya, dan telah membuat dia membunuh ayahnya. Biarkan perempuan itu mati membawa pisau belati itu. Pisau belati yang sejatinya adalah miliknya sendiri. Dia tidak pernah menyangka semua akan berakhir demikian. Orang yang selama ini menolongnya, menyayanginya, membelanya, ternyata dia penjahat bertopeng yang telah membunuh ibunya. Pandan malam itu bukan semburat jingga, tapi berselimut pekat malam. Pandan malam itu berdarah. Pandan bukanlah lagi menjadi surga baginya. Pandan benar-benar telah menjadi neraka. Bukan karena perlakuan ayahnya pandan menjadi neraka, tapi karena sesal di dirinya. Sesal karena dia telah membunuh Badrun, ayahnya sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun