Mohon tunggu...
Komunitas Lagi Nulis
Komunitas Lagi Nulis Mohon Tunggu... Penulis - Komunitas menulis

Komunitas Penulis Muda Tanah Air dari Seluruh Dunia. Memiliki Visi Untuk Menyebarkan Virus Semangat Menulis Kepada Seluruh Pemuda Indonesia. Semua Tulisan Ini Ditulis Oleh Anggota Komunitas LagiNulis.id

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku Harus Bagaimana?

26 Juni 2022   21:47 Diperbarui: 27 Juni 2022   14:37 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Oleh : Nurfauziah

"Selamat siang. Perkenalkan saya Riandra dari jurusan Pendidikan Agama Islam, kalian bisa memanggil saya Pak Rian dan di sini saya kan mengajar kalian di mata pelajaran Akidah Akhlak hari ini," ujar seorang laki-laki yang berusia sekitar 22 tahun itu.

Hari ini memasuki minggu kedua setelah dua bulan lamanya menikmati masa liburan semester. Ya, banyak sekali aktivitas yang dilakukan selama liburan ini salah satunya pulang kampung dan berkumpul bersama keluarga. Sejak beberapa tahun yang lalu, saya, kedua orang tua, dan adik perempuan saya memilih untuk merantau. 

Memang tidak jauh, ya sekitar enam dari kampung halaman. Ayah bekerja sebagai staf TU dan ibu hanya pedagang di kantin sekolah. Namun hal itu tak menurunkan semangatku untuk terus menuntut ilmu dan mengubah padangan orang terhadap keluarga kecil ini.

Sekarang aku telah berada di kelas tiga di salah satu sekolah negeri dan berada di jurusan IPS. Bukan tanpa alasan aku memilih jurusan ini. Namun, aku bercita-cita untuk menjadi seorang pengacara. Walau bukan hal yang mudah, aku akan berusaha sesuai kemampuanku. 

Memasuki kelas 3 artinya sudah berada di keadaan yang akan banyak sekali menguras tenaga dan pikiran. Yaa karena akan mengahadapi rangkaian ujian seperti Try Out, ujian praktik, ujian peminatan hingga ujian nasional dan aku harus bisa memaksimalkan setiap waktuku. 

Pagi ini saat upacara bendera ada yang berbeda. Di samping barisan guru terdapat beberapa orang mahasiswa yang akan menjalani kegiatan mereka di sini untuk beberapa bulan ke depan. Tentunya hal itu sangat menarik untuk ditunggu oleh siswa karena akan mendapatkan waktu belajar yang tidak terlalu padat.

Setelah acara upacara bendera semua siswa kembali ke kelas masing-masing, kecuali kelas 3 karena ada informasi tambahan dari waka kurikulum. Tiga puluh menit berlalu, kami akhirnya kembali ke kelas. Namun, hari ini kelasku tidak belajar karena guru matematika sedang izin. Sehingga aku memutuskan untuk pergi ke perpustakaan bersama salah seorang sahabatku, Merlyn namanya atau aku biasa memanggilnya Ope.

"Pe, ayok ke perpus, mumpung lagi nggak belajar, nih! Sekalian kita nyari buku buat tugas ekonomi," ujarku.

"Ayok Ndut! Aku juga mau baca novel," jawabnya.

Aku dan Ope menuju perpustakaan yang keadaannya cukup sepi. Kebetulan saat sampai di sana, ibu penjaga perpustakaan akan keluar dan kami menawarkan diri untuk menggantikannya karena juga sudah terbiasa. Selang beberapa waktu, seorang mahasiswa laki-laki masuk ke perpustakaan, ia menyapaku. 

Jelas aku tidak mengenalnya, dan aku hanya menjawab dengan sebuah senyuman. Namun percayalah, aku seperti pernah melihat laki-laki ini tapi entah di mana hingga aku pun menyampaikan itu pada sahabatku yang sedang menulis nama orang yang akan meminjam buku.

"Ope, kamu lihat nggak bapak mahasiswa tadi? Kok seperti kenal yaa, kira-kira siapa yaa?" tanyaku.

"Itu abang yang kerja di toko di simpang SD bawah, ya iyalah pernah lihat," jawabnya.

"Hah, serius? Pantes aja deh kek pernah lihat gitu ya."

Entah apa yang masih menjadi pikiran, namun saat ini wajah laki-laki tadi masih saja kuingat. Waktu sudah memasuki jam istirahat. Aku dan Ope meninggalkan perpustakaan dan akan ke kantin untuk membeli beberapa makanan dan membawanya ke kelas. Aku kembali melanjutkan jam pembelajaran sosiologi setelah sebelumnya jam kosong. 

Pada jam sosiologi hari ini, kami diminta guru untuk mempresentasikan hasil tugas pada pertemuan sebelumnya. Huft.. cukup menegangkan jika mendapatkan kesempatan tampil pertama namun tidak membuatku untuk mundur.

"Silakan maju berdasarkan urutan nama yang telah saya berikan sebelumnya!" ujar Pak Arianto selaku guru sosiologi. Akhirnya aku maju dan mempresentasikan tugas dan alhamdulillah mendapatkan nilai yang baik serta pujian dari bapak guru karena penyampaian yang cukup tenang. 

Setelah itu dilanjutkan oleh teman yang lain. Tiga jam pelajaran cukup membuat jenuh apalagi hari ini hanya tampil presentasi saja.

Teetttttt...........

Jam menunjukkan pukul 12.00 saatnya istirahat kedua dan salat zuhur.

Aku, Ope, dan temanku yang lain menuju ke masjid sekolah untuk ikut salat zuhur berjamaah tapi ada beberapa teman yang tidak ikut berjamaah karena menunggu antrian mukena. Selepas melaksanakan salat masih tersisa beberapa menit untuk menuju kantin membeli minuman karena siang ini cuaca cukup panas.

Hari ini ada empat mata pelajaran, dua diantaranya tidak belajar dan selebihnya belajar. Jam terakhir ini belajar akidah akhlak namun yang akan mengajar bukan guru bidang studi namun mahasiswa PPL (Praktik Pengalaman Lapangan) yang akan mengisinya. Aku tidak tau siapa mahasiswa PPL yang akan mengajar di kelasku, karena kupikir tidak penting jadi tunggu saja dia masuk.

Tokk.. Tokk.. Tokkk..

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh," ujar seseorang di balik pintu kelas.

"Wa'alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh," jawab kami serentak

Masuklah seorang guru PPL laki-laki, lalu ia berdiri di depan kelas untuk memperkenalkan dirinya.

"Selamat siang. Perkenalkan saya Riandra dari jurusan Pendidikan Agama Islam, kalian bisa memanggil saya Pak Rian dan di sini saya akan mengajar kalian di mata pelajaran Akidah Akhlak hari ini," ujar seorang laki-laki yang berusia sekitar 22 tahun itu.

Ya, Pak Rian adalah laki-laki yang tadi pagi menyapaku di perpustakaan. Sungguh aku terkejut dia akan mengajar di kelasku siang ini dan jujur saja perasaanku juga tidak menentu, aku mengapa? Ia mengatakan bahwa ia bukanlah masyarakat asli sini atau juga bukan perantau sepertiku, dan hal yang membuatku kembali terkejut ia berasal kampung yang sama denganku. Setelah memperkenalkan dirinya beberapa siswa melontarkan pertanyaan kepadanya.

"Pak, boleh minta nomer wa-nya nggak? Mana tahu nanti kami mau nanya-nanya tugas," ujar seorang siswa dan dengan mudahnya Pak Rian menuliskan nomer WhatsApp. Dan masih banyak lagi pertanyaan yang disampaikan teman sekelasku.

Tettt... Tetttt... Tettt...

Tak terasa sudah sampai pada akhir pembelajaran dan dua jam lamanya kami saling bercerita bersama Pak Rian, yaa karena ini adalah pertemuan pertama jadi masih sesi perkenalan namun tidak untuk pertemuan selanjutnya.

"Oke. Terima kasih atas waktu adik-adik siang ini, sampai bertemu pada pertemuan selanjutnya. Saya harap kita bisa saling bekerja sama dalam proses pembelajaran. Saya akhiri, wassalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh." Pak Rian meninggalkan kelas lalu diikuti oleh teman-teman yang lainnya.

Saat semua telah meninggalkan kelas aku masih berdiam diri di dalam dan hal itu bukan tanpa alasan. Aku akan mencatat nomer Pak Rian yang tadi tidak sempat kucatat, karena merasa gengsi tadinya jadi kuputuskan mencatat saat yang lain sudah meninggalkan kelas. Entah apa yang ada di pikiran hingga tergerak untuk menyimpan nomernya hmm entahlah.

Malam pun tiba, aku bingung harus melakukan apa malam ini karena tugas telah kuselesaikan selepas pulang sekolah. Aku mengambil hp ku yang sedang kuisi dayanya dan membuka aplikasi WhatsApp dan aku teringat akan nomer Pak Rian yang sempat kucatat di buku tadi siang.

Aku bergegas mengambil buku tadi lalu menyimpan nomer Pak Rian di wa-ku. Namun tiba-tiba saja aku ingin menghubunginya, ahh yang benar saja aku seorang siswi menghubungi guru pada malam hari tapi salahnya ku rasa dia tak akan keberatan juga akan hal tersebut.

"Assalamu'alaikum, Pak." pesan awal yang ku kirimkan padanya. Wa-nya centang satu, mungkin sudah tidur namun yang benar saja ini baru pukul 20.15, mana mungkin laki-laki bisa tidur secepat itu. Selang beberapa menit terdengar suara notifikasi masuk di wa dan ya, benar dugaanku, itu pesan balasan dari Pak Rian.

"Wa'alaikumsalam, siapa?" balasnya.

"Maaf Pak, saya Eyzah siswa kelas 12 IPS yang bapak masuk siang tadi. Saya izin menyimpan nomer bapak boleh?" balasku kembali.

"Oh ya boleh, maaf mungkin saya sedikit lupa dengan wajahmu."

"Ah, iya tidak apa-apa, Pak! Nanti juga akan teringat selalu," dengan tanpa rasa malu aku balas seperti itu pada guru PPL ini.

"Haha bisa saja, rasanya sedikit berbeda ya jika kamu memanggil saya pak di ruang chat ini," balas. Wahh apa ini batinku.

"Lalu bagaimana?"

"Kamu bisa panggil saya kak atau bang biar lebih akrab." Sungguh di luar dugaanku, ia akan membalas seperti itu. Jujur saja aku semakin tidak karuan. Ya Tuhan, apa yang terjadi ini?

"Hmm.. baiklah"

"Oke. Boleh saya mengubah cara memanggilmu juga? Maaf karena saya sedikit tidak menyukai bahasa yang terlalu formal." Ia kembali membuatku terkejut dengan balasan itu.

"Ahh, iya silakan kak. Tidak masalah, senyamannya saja."

"Jangan sampai nyaman yaa. Haha. Oke aku pikir akan memanggil 'Zah' biar lebih simple, bagaimana?"

"Tentu silakan, tidak masalah."

"Baiklah, sepertinya kamu perlu istirahat dan begitupun aku. Sampai bertemu di sekolah besok pagi Zah, selamat malam." Percayalah aku salah tingkah sekarang, bagaimana mungkin ia mengucapkan selamat malam padaku.

"Iya, selamat istirahat juga dan selamat malam."

Huftt, aku menghela nafasku, jujur aku merasa ini bukanlah diriku. Mengobrol melalui chat wa bersama guru ppl yang baru saja dikenal dan sudah saling memanggil dengan cara yang berbeda ahh yang benar saja. Aku harap hal ini tidak sampai pada telinga guru dan teman lainnya bisa-bisa jadi masalah untukku dan juga Pak Rian nantinya kan nggak lucu itu.

Sejak saat itu aku dan Kak Rian ahh maksudku Pak Rian semakin dekat namun kedekatan tersebut kami harap tak sampai orang lain tahu. Selama berkomunikasi. banyak hal yang kami bahas seperti halnya malam ini. Tepat setelah magrib, Kak Rian mengirim pesan kepadaku.

"Zah," ujarnya.

"Iyaa, ada apa?"

"Besok kamu ikut pawai juga?" Kak Rian menanyakan keikutsertaanku di kegiataan pawai besok.

"Ohh enggak, kelas 12 enggak diikutsertakan, kecuali anggota OSIM inti dan bidang keagamaan sebagai panitia," jawabku. Ya benar, untuk pawai kali ini kelas 12 tidak diikutsertakaan kecuali bagi OSIM saja.

"Hmm begitu, rencana mau lihat juga nggak?"

"Memang kenapa? Kenapa nanya begitu?" Aku bingung mengapa Kak Rian menanyakan ku seperti itu.

"Ya.. jawab aja dulu."

"Iya rencana mau lihat sama Risa, mau ketemu yaa? Haha."

"Ohh oke deh. Sampai ketemu besok yaa, kita ngobrol-ngobrol kalau ada waktu." Kan benar dugaanku.

***

Seperti yang kusampaikan pada Kak Rian malam tadi, aku akan pergi bersama Risa untuk melihat pawai. Sesampai di lokasi tepat sekali sekolahku sampai di garis finis dan tak lama Kak Rian mengajak makan siang di sebuah kafe, awalnya kukira dia sendiri, ternyata ia bersama Pak Hidayat yang juga salah satu mahasiswa PPL di sekolahku.

Keesokan harinya aku kembali beraktivitas ke sekolah dan aku sudah memutuskan untuk bertemu seseorang dan menyampaikan keluh kesahku serta meminta solusi akan hal tersebut. Sesampai di sekolah aku mengikuti pembelajaran sebagaimana biasanya, pelajaran hari ini cukup berat, diawali dengan matematika, sejarah, sosiologi, dan fikih. Namun, mengeluh tak bisa dijadikan sebagai alasan.

Tetttt... Tettt . . .

Bel istirahat pun berbunyi

"Karena bel sudah berbunyi silakan istirahat terlebih dahulu setelah itu kita akan melanjutkan pembelajaran." Saat ini aku belajar sejarah dan masih satu jam setelah istirahat untuk melanjutkan. Aku bergegas menuju ke ruangan mahasiswa ppl dan mengurung niatku untuk ke kantin, kupikir aku akan ke kantin siang nanti saja.

"Zahh, mau kemana? Ayo ke kantin!" Saat ingin meninggalkan kelas, Ope memanggilku.

"Ah, duluan aja! Aku mau ketemu Bu Ira dulu." Aku tak ingin jawab terlalu banyak takutnya mereka akan curiga, bukan tak ingin berbagi kepada mereka, namun belum siap untuk menyampaikan kepada mereka selaku sahabat-sahabatku.

"Assalamu'alaikum," ujarku saat masuk ke ruangan dan kebetulan Bu Ira sendiri dan aku harus cepat-cepat sebelum teman-teman Bu Ira datang.

"Wa'alaikumsalam. Eh, Zah, ayoo duduk! Gimana? Ada masalah?" Ahh Bu Ira sudah paham sekali bahwa aku sedang tidak baik-baik saja, mungkin dengan bertemu dengannya adalah hal yang tepat.

"Hmm... Bu, aku harus gimana sekarang, seperti yang pernah kusampaikan waktu itu. Kupikir hanya akan sementara ternyata kian larut bahkan semakin membesar saja. Jadi, aku harus bagaimana?" Ya benar, aku sempat bertemu Bu Ira satu minggu yang lalu saat pulang sekolah dan bercerita sedikit mengenai hal yang kurasakan saat itu. Aku meyakinkan diriku sanggup menahannya, ternyata tidak.

"Sudah Ibu katakan, pasti itu akan terjadi. Ada dua pilihan, pertama kamu sampaikan namun dengan konsekuensi kamu harus menerima apapun keputusannya nanti, entah itu baik ataukah tidak. Lalu pilihan kedua, kamu diam dan menikmati apapun kondisi kamu saat ini dengan konsekuensi juga kamu harus siap untuk sakit."

Aarrrggghh... pilihan macam apa ini? pikirku. Bagaimana mungkin aku akan sanggup memilih salah satu diantaranya dan itu sama-sama sulit bagiku.

"Jadi, bagaimana Zah? Di sini Ibu tidak ingin menyalahkanmu karena semua hak hatimu dan hal itu lumrah. Kamu harus tau konsekuensinya ketika kamu telah masuk pada ruang yang tak seharusnya kamu masuki." Ya, aku pikir benar yang dikatakan oleh Bu Ira.

"Bu, aku tidak tahu akan memilih apa. Sungguh ini sangat berat, Bu. Biarkan hati dan pikiranku tenang dalam dua hari ini. Kupastikan akan ada keputusan yang akan kuambil diantara pilihan tadi, kupastikan itu." Bu Ira memelukku. Ia menguatkan aku untuk bisa memutuskan itu.

Tak terasa jam istirahat telah habis, aku pun pamit untuk kembali ke kelas dengan mata yang sedikit memerah semoga tak ada yang menyadari hal itu. Apa yang disampaikan Bu Ira tadi selalu berputar dalam pikiranku, aku harus segera memutuskan itu semua.

Malam pun tiba rasanya begitu lelah menjalani hari ini.

Tinggg... Satu pesan masuk di wa-ku

"Malam Zah, lagi apa?" Ya benar, itu adalah Kak Rian. Hari ini aku coba untuk tidak menghubungi terlebih dahulu, namun ia yang memulai.

"Malam kak, aku lagi mengerjakan tugas matematika."

"Oh oke, lanjutkan, maaf ganggu."

"Kak? Besok mau ngobrol berdua, boleh?" aku memutuskan untuk memilih pilihan pertama itu.

"Mau ngobrol apa? Di wa aja, kenapa harus ketemu?"

"Engga, besok aja, aku tunggu." Aku memutuskan untuk tidak membalas pesan dari Kak Rian lagi.

"Oke. Tapi ada apa?"

Setelah malam yang cukup panjang, pagi ini aku bersiap-siap untuk menuju sekolah dan juga akan bertemu Kak Rian selepas pulang sekolah. Sesampai di sekolah tak sengaja bertemu Bu Ira yang juga baru sampai dan aku langsung menyalaminya.

"Pagi, Bu."

"Pagi Zah, gimana kabarnya?" ujarnya

"Baik, Bu. Hmm.. Bu, hari ini aku ketemu dia dan aku memilih pilihan pertama."

"Baik, jika itu keputusanmu, siapkan hati untuk setiap jawabannya nanti."

Bu Ira meningalkan aku di parkiran karena harus segera menuju ruang guru untuk persiapan mengajar.

Tak terasa jam sekolah pun selesai dan aku mengajak beberapa teman untuk membantuku bertemu Kak Rian, takutnya nanti ketahuan oleh guru. Aku memutuskan untuk bertemu di pintu musala yang kebetulan berada di sudut sekolah. Jujur saja aku merasa canggung dan takut padahal aku sudah sering bertemu namun beda dengan kali ini. Tak berselang lama Kak Rian datang dan aku bingung harus memulai percakapan ini.

"Jadi, mau bilang apa? Sepenting itu sampai harus ketemu?" ujarnya

"Kenapa diam? Nanti jika kelamaan ketahuan loh sama guru," lanjutnya lagi

"Maaf Kak, aku nggak tahu harus memulainya. Namun, akan kucoba. Sudah kurang lebih satu bulan kakak di sini dan selama itu pula kita menjalin komunikasi, aku tahu pasti kakak paham maksudku dan yaa.. aku juga nggak menginginkan perasaan ini datang gitu, tapi yaa bagaimana? Kedekatan yang terjadi sebulan ini membuatku merasa nyaman, namun aku tahu ini semua salah dan sangat salah dengan posisi dan keadaan yang saat ini," jelasku dengan penuh rasa tegang.

"Zah, maaf saya nggak bisa menerima ini semua, pertama saya di sini guru kamu dan kamu siswi saya, kedua ini hanya sekadar perasaan yang salah untuk kamu dan terakhir saya. Umur saya tidak sepadan denganmu dan tidak mungkin lagi. Jadi terima kasih atas perhatian dan kenyamanannya juga selama ini ya. Ah, ya, saya duluan. Ada yang mau dikerjakan. Permisi." 

Setelah mengatakan itu, Kak Rian meninggalkanku yang diam beribu bahasa dan aku bingung, jadi aku harus bagaimana?

Berakhir, itulah yang terjadi. Sejak hari itu semua telah berbeda, tidak ada pesan 'selamat malam' yang masuk, tidak ada sapaan 'Zah' setiap pagi. Semua kembali asing seolah semua tidak pernah terjadi. Ah, mungkin ini adalah salahku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun