Satu jam, ruangan itu masih ditutup.
Dua jam, ibu belum keluar juga.
Tiga jam, ketika Aryo setengah mengantuk, orang-orang berbaju putih-putih tadi keluar. Tapi tidak dengan ibu. Ah, ibu pasti ada di dalam, pikir Aryo. Ia pun bergegas masuk menemui ibu.
Ibu menderita sebuah penyakit. Entahlah, Aryo juga tidak mengerti itu penyakit apa. Yang jelas, jantung milik ibu sedang tidak baik-baik saja. Aryo sadar bahwa perkataannya tadi pagi adalah penyebab ibunya sampai ke rumah sakit.
Sudah lima hari Aryo menemani ibu di rumah sakit. Untungnya, pak kades adalah orang yang baik hati. Beliau menanggung semua biaya yang dikeluarkan untuk ibu.
"Gapapa, saya itu sahabat dekat bapakmu dulu, bahkan sudah seperti saudara," ucap pak kades sambil tersenyum.
Ibu kelihatannya mulai membaik. Sudah bisa makan, sudah bisa senyum, dan bahkan tertawa kecil. Aryo pun sekarang sudah rajin salat. Kadang di masjid rumah sakit, kadang di sebelah ranjang ibu. Mereka kembali menjadi keluarga kecil yang hangat. Aryo meminta maaf atas kelakuannya selama ini. Ia sangat merasa bersalah.
"Gapapa, Aryo. Walau bagaimanapun, kamu akan selalu jadi anak ibu yang paling ibu sayang," ucap ibunya. Karena dia paham bahwa semua ini tak sepenuhnya salah Aryo. Dia hanya anak kecil yang masih polos. Daripada menyalahkan Tuhan yang sudah memanggil suaminya duluan, ibu memilih menyalahkan dirinya sendiri.
Di hari ke-6, tawa Aryo lenyap seketika. Subuh-subuh sepulang Aryo dari masjid, ibu masih tiduran di ranjangnya. Aryo pun membangunkan ibu untuk salat subuh. Satu dua tepukan, ibu tidak bangun. Dipanggil-panggil, ibu masih belum bangun juga. Diguncang-guncang, tubuh ibu tak ada perubahan. Aryo panik. Hanya mereka berdua di ruangan itu. Pak kades pun sudah pulang ke rumahnya sejak 2 hari yang lalu. Aryo pun segera keluar memanggil dokter atau suster yang berjaga.
Kakak-kakak perawat---yang setengah mengantuk berjaga di depan meja kerjanya---langsung terbangun, bergerak cepat, menghubungi dokter dan segera melakukan tindakan secepatnya. Aryo lagi-lagi disuruh menunggu di luar. Hatinya sedang tidak baik-baik saja.
Di dalam, dokter hingga perawat segera bergerak. Dokter mulai mengeluarkan sebuah alat seperti setrika. Menggosok-gosokkannya ke dada ibu. Lalu diangkat ke atas. Satu dua kali, tidak ada perubahan. Alat pacu jantung itu sepertinya tidak bekerja. Mereka menyerah.