Ia menggambarkan bahwa tanpa otoritas, manusia hidup penuh ketakutan dan pertarungan tanpa akhir. Pemimpin dibutuhkan sebagai simbol hukum dan keteraturan agar kehidupan bersama tidak runtuh.
Plato lebih filosofis: dalam Republik, ia membayangkan “filsuf-raja”, Pemimpin yang tidak hanya berkuasa, tapi bijak, yang menuntun rakyat dengan pengetahuan dan keadilan. Bagi Plato, pemimpin sejati bukan sekadar pengelola, melainkan teladan moral.
Pemimpin sejati tidak hanya mengatur, tetapi juga memberi arah: menyalakan visi yang lebih besar daripada sekadar kepentingan individu.
Namun sejarah Barat juga memberi peringatan. Lord Acton mengingatkan: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.” Maka, pemimpin memang perlu, tapi pemimpin juga harus diawasi, agar kekuasaan tidak berubah menjadi tirani. Kepemimpinan dibutuhkan bukan hanya untuk mengatur massa, tapi juga untuk mencegah dominasi ego segelintir orang. Karena itu kepemimpinan yang sehat harus diimbangi dengan akuntabilitas.
Dalam tradisi filsafat, Aristoteles menyebut manusia sebagai zoon politikon. Makhluk politik yang tak bisa hidup sendiri. Hidup berkelompok adalah kodrat, dan dari kodrat itu lahir kebutuhan akan kepemimpinan. Tanpa pemimpin, kelompok mudah terjebak dalam perebutan kepentingan, dan harmoni berubah menjadi kekacauan.
Perspektif Filsafat Timur dan Islam
Dalam tradisi Islam, kepemimpinan dipandang sebagai amanah, bukan hak istimewa. Rasulullah SAW bersabda: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari-Muslim).
Al-Mawardi dalam Al-Ahkam al-Sultaniyyah menegaskan, tugas utama pemimpin adalah menjaga maslahah ‘ammah; kepentingan umum. Al-Ghazali mengingatkan, penguasa hanyalah ra‘în (penggembala), yang kelak dihisab bukan atas kemegahan kekuasaan, melainkan sejauh mana ia menjaga umat.
Ibn Khaldun memberi perspektif sejarah: peradaban runtuh bukan semata karena musuh dari luar, tetapi karena rapuhnya kepemimpinan di dalam. Ketika pemimpin hanya sibuk pada ‘ashabiyyah—kepentingan golongan sempit—maka legitimasi akan hilang, dan bangsa itu pun merosot.
Dengan kata lain, dalam pandangan Islam, pemimpin sejati adalah penjaga keseimbangan antara dunia dan akhirat, antara keadilan sosial dan pertanggungjawaban ilahiah.
Refleksi Hidup Praktis
Mengapa kita butuh pemimpin? Karena manusia butuh arah. Tanpa pemimpin, masyarakat hanyalah kerumunan. Namun pemimpin sejati bukan sekadar orang yang duduk di kursi kekuasaan. Ia adalah teladan moral, penjaga keadilan, dan penuntun arah kolektif.
Di tingkat kecil, kita pun butuh pemimpin: di keluarga, di komunitas, bahkan dalam diri sendiri. Kadang, kepemimpinan sejati lahir bukan dari otoritas formal, melainkan dari keberanian memberi arah ketika orang lain bingung.