Mohon tunggu...
Kusworo
Kusworo Mohon Tunggu... Penjelajah Bumi Allah Azza wa Jalla Yang Maha Luas Dan Indah

Pecinta Dan Penikmat Perjalanan Sambil Mentafakuri Alam Ciptaan Allah Swt

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Cancel Culture : Ketika Pengadilan Massa Digital Menjatuhkan Vonis

14 Februari 2025   13:00 Diperbarui: 15 Februari 2025   18:02 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cancel Culture Vonisnya cepat bagaikan kilat | themaverickobserver.com

Salah satu "dosa besar" menghadapi cancel culture adalah bereaksi berlebihan dan emosinal di media sosial. Berdebat kusir dengan nitizen atau troll (merujuk pada seseorang yang dengan sengaja memposting komentar atau konten provokatif, ofensif, atau menyesatkan dengan tujuan memancing emosi, membuat kekacauan, atau menimbulkan perdebatan yang tidak sehat). Membuat pernyataan yang lebih kontroversial sebagai bentuk pembelaan. Dan menghapus bukti atau postingan lama tanpa penjelasan. Yang satu ini, sering dianggap sebagai bukti pengakuan yang bersangkutan nyata bersalah.

Dalam posisi seperti ini seharusnya melakukan hal-hal yang bijak. Bila inging menanggapi, maka lakukan pernyataan yang professional tanpa emosional. "Do low profile" untuk jangka waktu tertentu, jika situasinya semakin buruk. Kalau kasusnya berat, ada baiknya menggunkan konsultan Public Relations-PR atau juru buicara yang handa l dan professional.

Bila kita memiliki basis pendukung yang kuat, lakukan aliansi strategis dengan menggunakan kekuatan tersebut. Karenanya selalu petrkuat hubungan dengan komunitas inti kita. Cari dukungan sebanyak mungkin dari kolega, influencer, atau organisasi yang dapat membela kita. Jangan pernah menyerah pada tekan publik. Karena sejatinya di dunia maya ada dua sisi mata uang. Penentang dan pendukung.

Elon Musk , pebisnis visioner masa kini, menghadapi cancel culture karena komentar kontroversialnya. Musk tetap kuat dan eksis banhkan semakin berkembang dengan kepercayaan yang diberikan oleh presiden USA sekarang, Donald Trump. Semua berbasis jaringan pendukung yang besar dan kekuatan finansialnya.

Bertahan Menghadapi Cancelling | Surveyinsider.com
Bertahan Menghadapi Cancelling | Surveyinsider.com

Kontroversi sebagai Peluang

Beberapa orang justru berhasil mengubah cancel culture menjadi peluang untuk memperkuat brand mereka. Ubah kontroversi menjadi bagian narasi pribadi kita. Gunakan platform alternatif jika kita diblokir oleh madia arus utama. Dan terus perkuat identutas dan nilai yang ingin kitab awa dalam kaier atau bisnis kita.

Donald Trump telah membuktikannya. Tingkah, sikap, dan ucapanya yang sering menimbulkan kontroversi mengakibatkan waga nitizen dunia sering melakukan cancelling terhadap president Amerika Serikat dalam dua periode berbeda ini. Dengan lihat Trump menggunakan cancel culture untuk memperkuat citra sebagai "korban Sensor" dikalangan pendukungnya.

Sama halnya dengan Andrew Tate, seorang mantan kickboxer profesional, pengusaha, dan influencer media sosial yang dikenal karena pandangannya yang kontroversial mengenai maskulinitas, perempuan, dan kehidupan sukses. Ia menjadi terkenal di internet karena pernyataan-pernyataan yang provokatif, yang menurut sebagian orang bersifat misoginis dan ekstrem. Ia diblokir dari berbagai platform media sosial tetapi justru menjadi lebih populer karena memanfaatkan kontroversi sebagai alat pemasaran.

Bisakan Kita Berubah?

Cancel culture mungkin tidak akan hilang di dunia maya, ia bagaikan gelombang air laut di media sosial. Memberi deburan ombak yang enak di dengar dan dinikmati. Tapi menyakitkan bahkan bisa membunuh bila hempasan besarnya memporakporandakan kapal atau pantai dimana kita sedang berselancar. Namun mungkin saja cancel culture berevolusi dalam bentuk yang lebih manusiawi.

Ada tanda-tanda bahwa masyarakat mulai menginginkan pendekatan yang lebih imbang, bukan canceling yang kejam. Call-in Culture mungkin menjadi alternatif pilihan. Dimana individu atau entitas yang berbuat kesalahan, diberi kesempatan belajar, berubah, dan memperbaiki kesalahan mereka. Jika kita menginginkan dunia yang lebih adil. Mungkin kita harus lebih bijak dan bermurah hati dalam memberi kesempatan kedua.

Namun pada akhirnya, pertanyaan yang lebih besar bukanlah apakah cancel culture akan berakhir, tetapi mampukah kita menciptakan budaya sosial media di mana keadilan dan belas kasih dapat berjalan berdampingan. Dalam dunia sosial media yang terus bergerak dengan kecepatan cahaya, mungkin yang kita butuhkan bukan hanya keadilan instan, tetapi refleksi yang lebih mendalam sebelum kita menekan tombol "retweet-forward-resend dsb" yang bisa mengubah hidup seseorang selamanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun