Jerinx menjadi contoh figur yang mendapatkan tekanan besar dari publik dan pihak berwenang karena opini kontroversialnya. Ada yang mendukungnya sebagai simbol perlawanan terhadap system, namun opini publik menganggap Jerinx menyebarkan informasi yang bisa berdampak negatif.
Di Indonesia cancel culture sering kali berujung pada jeratan hukum. Kondisinya berbeda dengan  di negara barat yang cancel culturenya sering kali berbasis boikot sosial.
Lain lagi dengan kasus Saiful Jamil, figure pedangdut terkenal. Cencel culture nya terus berlanjut dari jeratan hukum hingga boikot total pada kariernya di dunia hiburan. Kasus pelecehan seksualnya terhadap anak di bawah unmur membawanya ke penjara. Setelah bebas ia muncul kembali di layer televisi. Namun publik keras bereaksi. Menuntut Saiful jamil tidak diberi ruang di industry hiburan.
Saiful Jamil mengalami cancel culture yang lebih terorganisrir. Petisi online menolaknya tampil di televisi membuatnya tak berkutik. Tekanan publik akhirnya membuat beberapa stasiun TV membatalkan program yang melibatkan dirinya. Karir nya sebagai pedangdut tamat. Mati di vonis publik. Kasus Saiful jamil adalah contoh dimana cancel culture berfungsi sebagai alat akuntabilitas sosial yang kuat, terutama dalam kasus yang menyangkut kejahatan serius.
Ernest Prakasa, Komika dan Sutradara pernah mengalami cancel culture akibat komentar sensitif di Media Sosial Ia mencuitan tentang seorang ulama ternama yang ia anggap mendukung ekstremisme. Kendati kemudian ia menghapus cuitan tersebut dan meminta maaf, namun Ernest tetap menghadapi gelombang serangan dari netizen, yang menuduhnya menghina Islam.
Ernest tak menyadari bahwa ini memasuki ranah sensitive. ditengah mayoritas pendudk Indonesia yang beragama Islam. Meski telah meminta maaf, citra Ernest tetap terkena dampak, terutama di kalangan masyarakat yang lebih konservatif. Hal Ini juga menjadi contoh bagaimana cancel culture bisa lebih berbasis identitas dan keyakinan dibandingkan dengan sekadar isu moral atau hukum.
Kasus perlawanan dan pemberontakan cancel culture terjadi di negara Barat. Misalnya Dave Chappelle, seorang komedian Amerika yang dikenal dengan gaya humor satir, tajam, dan tanpa sensor, terutama dalam acara stand-up comedy-nya serta di Chappelle's Show (2003-2006).
Akibat materi komedinya yang menyinggung komunitas LGBTQ, Chappelle menghadapi kritik besar, khususnya dalam spesial Netflix "The Closer" (2021). Beberapa kelompok menuduhnya sebagai transfobik, sementara para pendukungnya berargumen bahwa ia hanya mengangkat realitas sosial dengan gaya humor khasnya.Meskipun ada protes keras, bahkan dari internal Netflix, Chappelle tetap bertahan dan menolak untuk meminta maaf.
Ia tetap membela karyanya dan menegaskan bahwa komedinya tidak bermaksud membenci siapa pun. Netflix tetap mendukungnya dan tidak menarik spesialnya dari platform.Ia terus melakukan tur stand-up, bahkan memenangkan Grammy dan Emmy Awards setelah kontroversinya.
Di tengah lanskap ini, muncul tren baru: pemberontakan terhadap cancel culture. Beberapa perusahaan dan individu kini lebih berhati-hati dalam merespons tekanan publik, menghindari keputusan tergesa-gesa yang dapat menciptakan reaksi balik yang sama kuatnya.
Netflix, misalnya, tetap mempertahankan spesial komedi Chappelle meskipun ada tekanan besar untuk menariknya. Elon Musk, dengan platformnya yang baru diakuisisi, Twitter, bahkan secara terbuka menyatakan bahwa ia menentang pembungkaman suara di media sosial, menandakan pergeseran keseimbangan kekuatan dalam budaya digital.