Cancel culture seakan menjadi cara masyarakat memaksa seseorang atau entitas untuk bertanggungjawab atas ucapan dan tindakan mereka. Melanggar norma sosial yang disepakati dalam masyarakat atau menyinggung rasa keadilan yang ada. Apalagi dilakukan oleh Public Figur yang seharusnya menjadi panutan atau trendsetter. Cancel Culture mendorong akuntabilitas di masyarakat. Menjadikannya sebagai salah satu prinsip kehidupan di komunitas masyarakat.
Diskusi-diskusi yang lebih detil dan serius, menghadirkan para pakar dan parktisi terkadang dipicu oleh peristiwa Cancelling. Seperti, Pelecehan Seksual, Rasa Keadilan, Rasisme, Toleransi beragama, dan banyak lagi. Semuanya meningkatkan kesadaran sosial di masyarakat.
Perubahan tatanan sosial, dalam beberapa kasus; terkadang dipercepat dengan peristiwa cancel culture yang terjadi di masyarakat, seperti meningkatnya kesadaran akan pentingnya etika dalam dunia hiburan dan politik. Semua mengubah norma-norma sosial yang dianut masyarakat.
Namun di sisi lain, cancel culture tidak memberi kesempatan seseorang atau intitas yang terkena cencel untuk meminta maaf atau memperbaiki kesalahannya. Seakan dalam kamus nya tidak ada kata "Tobat".
Divonis tanpa proses yang adil, Trial by Social Media. Seakan menjadi satu-satunya "KUH" nya cancel culture. Opini Publik di sosial media menjadi eksekutornya. Tak ada banding. Tak Ada kasasi.
Efek vonis cancel culture ini luar biasa. Mereka yang terkena, bisa mengalami tekanan mental, seperti kecemasan dan depresi. Semua efek samping psikologis terhukum cancel culture bisa menyertai setiap aspek kehidupannya. Unpredictable.
Cancel culture bisa memperdalam jurang perbedaan antara kelompok-kelompokj yang berbeda pandangan. Polarisasi sosial, menyebabkan warna kehidupan seakan hanya dilihat Hitam dan Putih. Tidak ada abu-abu, apalagi merah, kuning, hijau dan biru. Bila tidak dinormalisasi kondisi ini menimbulkan konflik sosial yang tak mudah selesai.
Namun Apakah Cancel Culture Selalu Buruk? Ini bisa kita lihat dari sudut mana kita berdiri dan menilainya. Sebagai sebuah "social control tools" cancel culture adalah alat yang bisa digunakan dengan baik atau buruk, tergantung pada bagaimana dan untuk apa ia digunakan.
Jika tujuannya membangun akuntabilitas, itu bisa menjadi kekuatan positif. Namun, jika dipakai untuk menghukum tanpa mempertimbangkan konteks atau kesempatan untuk berubah, cancel culture bisa menjadi alat ketidakadilan yang merugikan.
Adakah alternatif "social control tools" lain yang dapat kita manfaatkan. Mungkin Call-Out Culture dan Call-in Culture bisa menjadi pilihan. Call-Out Culture: nyaris sama dengan cancel culture, di mana seseorang dikritik secara terbuka atas kesalahannya, namun disediakan ruang untuk memberikan pembelaan atau penjelasan. Walau dalam praktiknya hal ini tergantung pada situasi dan respons dari publik.
Semenatara Call-in culture adalah pendekatan yang lebih pribadi dan empatik dalam menegur seseorang. Kritik disampaikan secara privat atau dengan cara yang lebih membangun.  Sering kali lebih efektif dalam membangun kesadaran dan perubahan jangka panjang dibandingkan dengan cancel culture yang bisa berujung pada penghukuman tanpa solusi.