Kasus korupsi kembali meresahkan publik, kali ini korupsi dilakukan pada proyek pembanginan jalan pada Dinar PUPR dan preserbasi jalan di Satuan Kerja Pelaksaan Jalan Nasional (PJN) Wilayah I Sumatra Utara (kumparanNEWS.com, 4/7). Selain itu pada akhir Juni, KPK juga tengah menyelidiki korupsi pengadaan mesin electronic data capture (EDC) pada salah satu bank plat merah (Beritasatu.com,30/6). Kedua korupsi ini memiliki terdakwa lebih dari satu orang, artinya tindak terduga korupsi diduga dilakukan oleh banyak pihak bahkan ada indikasi menjadi sebuah sindikat korupsi atau kongkalikong (kumparanNEWS.com, 4/7). Hal ini menambah daftar hitam korupsi di masyarakat yang kasusnya terus bermunculan bahkan semakin hari tidak kunjung mereda justru semakin membuat publik tercengang. Hal ini menjadi bukti bahwa korupsi menjadi masalah yang belum mampu tertuntaskan oleh sistem hari ini.
Faktor Korupsi Mendominasi
Apabila dianalisis lebih dalam terkait tindak korupsi yang dilakukan oleh banyak pihak di berbagai kalangan ekonomi serta pendidikan, maka dapat ditemukan bahwa tindakan korupsi telah mengakar rumput di masyarakat. Hal ini jika dianalisa melalui pendekatan definisi masyarakat maka akan ditemukan bahwa faktor penyebab korupsi mengakar rumput setidaknya ada pada 5 hal yaitu kegagalan sistem pendidikan, rusaknya sistem sosial masyarakat, kesalahan sistem ekonomi, lemahnya sistem sanksi, dan terabaikannya sistem politik. Sebab, masyarakat pada hakikatnya dibangun oleh pemikiran, perasaan, dan peraturan yang sama pada kumpulan manusia di suatu wilayah. Pemikiran dan perasaan manusia dapat dibentuk oleh sistem pendidikan dan sistem sosialm sedangkan peraturan yang melingkupi mereka adalah sistem ekonomi, sanksi, dan politik itu sendiri. Apabila faktor pembentuk masyarakat tadi rusak atau salah maka masyarakat juga akan ikut salah atau menormalisasi kesalahan dan kerusakan, begitu juga sebaliknya.
Gagalnya sistem pendidikan dapat dilihat dari kurikulum pendidikan yang hanya fokus pada penilaian materil yang sifatnya kuantitatif seperti nilai raport, kejuaraan, perlombaan, dan kemampuan akademis semata. Akan tetapi disisi lain abai dalam mengembangkan nilai sikap, karakter, dan juga kepribadian. Akibatnya manusia yang dihasilkan adalah manusia yang pandai namun tidak memiliki moral yang baik. Kepandaian yang dimiliki cenderung digunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tanpa mempertimbangkan moralitas ataupun kondisi sosial lingkungan masyarakat ataupun norma yang ada.
Output pendidikan tersebut akan membentuk masyarakat yang materialistik. Standart sosial dipengaruhi oleh keberlimpahan materi, sehingga muncul strata sosial di masyarakat. Manusia tidak akan diterima di lingkungan masyarakat apabila tidak memiliki kemampuan materi tertentu. Akhirnya sistem sosial menjadi kompor dunia sosialita tanpa batas yang terus mendorong setiap individunya untuk memperjuangkan keuntungan sebanyak banyaknya. Sistem sosial semacam ini sangat mungkin mendeskreditkan moral, norma,bahkan agama. Sebab standart kebahagiaannya dibangun atas dasar materi.
Hal ini juga didukung oleh konsep kebebasan berkepemilikan yang melahirkan kebebasan berekonomi. Artinya siapapun berhak menguasai berbagai hal asalkan mampu untuk membayar. Siapapun boleh melakukan aktivitas produksi, distribusi, dan konsumsi sebebas mungkin bahkan boleh melakukan monopoli harga bahkan pada kebutuhan yang tergolong hajat hidup semua orang (sandang, pangan, papan). Akibatnya terjadi ketimpangan sosial, orang yang kaya semakin kaya dan mampu mengeruk semua kekayaan negara, sedangkan pihak yang kurang harta akan semakin tercekik. Hal ini meniscayakan hukum rimba siapa yang memiliki uang dia yang berkuasa. Sehingga, tidak heran jika aktivitas manipulatif juga dapat dilakukan demi meraup keuntungan.
Apalagi kecurangan yang berlaku di tengah masyarakat nyatanya tidak diberikan sanksi yang tegas. Masih teringat bagaimana korupsi yang merugikan negara senilai 271 T hanya dihukum 20 tahun penjara. Padahal akibat tindakan tersebut banyak orang yang telah dirugikan. Selain itu, hukum saat ini nyatanya tidak adil sebab bisa dirubah sesuai pesanan dan kepentingan. Sehingga tidak ada pihak yang merasa takut dengan peradilan yang mampu dibeli.Â
Berbagai faktor tersebut pada hakikatnya tidak terlepas dari terabaikannya sistem politik. Politik yang seharusnya menjadi pelindung masyarakat atau ra'in, justru menjadi pihak yang secara nyata melakukan perombakan sanksi di depan mata masyarakat, tidak konsisten dengan kurikulum pendidikan, membiarkan masyarakat berperan mandiri dalam memenuhi kebutuhan ekonomi, serta tidak memberikan perhatian pada standart sosial masyarakat. Sistem politik hari ini bahka terkesan hanya akan bergerak jika ada seruan dari masyarakat atau viral saja, kemudian dilakukan aktivitas hukum. Sedangkan peran preventifnya leboh terasa terabaikan. Sehingga tidak heran jika aktivitas korupsi menjadi dominan di masyarakat, bahkan banyak pejabat negara atau politikus justru berperan sebagai tikus berdasi atau sebagai pelaku korupsi.
Pencegahan Korupsi Agar Tak Mendominasi
Maraknya korupsi di tengah masyarakat hakikatnya dipengaruhi oleh rusaknya pemikiran atau mindset awal. Apabila dianalisis rusaknya berbagai sistem kehidupan tersebut diakibatkan oleh adanya kebebasan atau liberalisasi perilaku dan ekonomi. Mindset ini pada dasarnya lahir dari value hidup sekulerisme yaitu pemisahan agama dengan kehidupan, sehigga meniscayakan liberalisme. Padahal tanpada agama manusia tidak akan memiliki batasan dan hidup seperti makhluk liar, tanpa aturan, tanpa moral, dan sangat mungkin bertindak bar bar.
Oleh sebab itu perlu dilakukan perubahan pemikiran di tengah masyarakat yang awalnya memakai value sekuler menjadi memakai value Islam sebagai agama yang diridhoi Allah sebagaimana yang disampaikan pada surat Al Maidah ayat 3.Â
 Â
"Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu. Maka, siapa yang terpaksa karena lapar, bukan karena ingin berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Q.S. Al Maidah 5:3)
Islam sebagai value hidup menghambat dominasi korupsi dengan beberapa hal yaitu :
1. Sistem pendidikan yang berbasis syaksyiah (kepribadian) Islam, sehingga aspek yang dinilai bukan hanya kemampuan materi akademis tetapi juga dididik pada  ketundukan pada aturan Allah sehingga memiliki batasan dalam bertindak.
2. Sistem sosial masyarakat yang dibangun dari ikatan aqidah, dimana masyarakat saling berkumpul bukan berlandaskan kebermanfaatan materi tetapi karena memiliki value hidup yang sama. Strata masyarakat tidak ditentukan oleh banyaknya harta tetapi dari ketaatan pada Pencipta yang mana hal ini tidak dapat diindra oleh manusia. sehingga tidak ada kesenjangan sosial di lingkungan masyarakat
3. Sistem ekonomi dibangun berdasarkan asas kepemilikan yang jelas. Monopoli hanya boleh dilakukan oleh negara, sehingga distribusi sumber daya alam dan kekayaan merata
4. Sistem sanksi dibangun berlandaskan hukum syariat dari Allah, yang tidak memiliki kepentingan kepada manusia sehingga dapat objektif dan adil serta tidak berubah rubah. Hukum ini juga mampu memberikan efek jera bagi pelaku dan efek takut bagi calon pelaku, sehingga berperan sebagai pencegah dan penghukum sekaligus.Â
5. Sistem politik Islam atau Khilafah dibangun berlandaskan mindset ra'in atau penjaga masyakat sehingga pemerintah akan memastikan keempat sistem lain berjalan sesuai dengan aturan syariat untuk mewujudkan masyarakat yang bermoral, qanaah pada harta, serta jujur. Sehingga dengan berbagai hal tersebut pemikiran, perasaan dan peraturan masyarakat akan menjauhkan mereka dari aksi korupsi yang manipulatif serta rakus. Â Wallahualam.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI