Mohon tunggu...
Mawan Sastra
Mawan Sastra Mohon Tunggu... Koki - Koki Nasi Goreng

penggemar fanatik Liverpool sekaligus penggemar berat Raisa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mana Ada Kappa di Negeri Ini

22 Juni 2019   07:01 Diperbarui: 22 Juni 2019   07:27 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: pixabay.com

Saya harus meninggalkan Keiko, itu yang selalu tebersit di dalam pikiran saya malam-malam sebelum saya benar-benar meninggalkannya. Kepergian saya dipermantap oleh surel yang dikirim oleh keluarga, mengabarkan tentang Kakek yang meninggal. 

Beliau sakit katanya, tujuh hari tujuh malam terbaring di atas ranjang. Saya sangat mencintai beliau, dan tidak seharusnya saya mempertahankan ego; tak mau pulang. Tak ada kata pamit, tak ada pesan singkat, dan tidak terpikirkan lagi Keiko, saya pulang pada hari itu.

Bersama anggota keluarga yang lain, saya ikut memandikan beliau. Air mata itu tumpah. Isak tangis saya semakin kencang begitu menyaksikan tanah-tanah mulai meruntuhi jasadnya berbalut kafan di dalam lubang. Beberapa orang menenangkan saya. 

Demikianlah, bukan Bapak dan Ibu, beserta keluarga lain yang paling merasa kehilangan karena kematian beliau, melainkan saya.  

Itu hari Minggu, saya tidak tahu apa yang dicari Kakek di dalam gudang, saya yang penasaran pintu gudang menganga lebar, saya pun mendekat, semakin dekat langkah saya, erangan itu terdengar. Kakek telah bersandar di dinding dalam posisi duduk, memegang lengannya yang sakit. 

Masih sempat saya melihat separuh bagian tubuh makhluk itu sebelum benar-benar menghilang ke dalam kerumunan barangbarang. Saya membopong Kakek ke dalam kamarnya, gigitan pada lengannya benarbenar membekas, dalam waktu singkat membengkak, seolah-olah itu adalah otot biseps Kakek.

Kami tidak pernah menyangka sama sekali kejadian itu merenggut kesehatan Kakek. Membuatnya selalu merasakan sakit. Kakek tidak bisa terbangun dari baringnya. Kami mulai mencemaskan itu, Mama dan Papa sebenarnya berkeinginan membawa Kakek ke rumah sakit. 

Kakek menolak tegas, 'saya tidak apa-apa, saya pasti akan sembuh,' demikian kata Kakek. Kakak tahulah seperti apa Kakek, apa yang dia katakan, tidak boleh ditentang. Kami bersabar saja dan berpikir positif.

"Tujuh hari kemudian, kami tidak bisa membiarkan Kakek terus seperti itu. Sekeras apapun Kakek menentang, Papa dan Mama tak akan peduli, dia harus dirawat di rumah sakit. Semua telah direncanakan dengan sangat baik. Tetapi takdir berkata lain, pagi itu Kakek tidur untuk selamanya. Dan ada makhluk lain yang bertengger di lehernya, dengan tangan saya makhluk itu menemui kematiannya."

Manada si bungsuh semakin melebarkan matanya, mengencangkan alisnya, keningnya mengerut, dia mencoba lebih ekspresif penuh aksentuasi saat mengatakan ini, "Apakah Kakak sepikiran dengan saya, kematian Kakek adalah oleh mereka? Saya kira Kakak tidak pernah melupakan kisah dua makhluk itu yang sering disampaikan Kakek kepada kita dahulu. Ini aneh bukan?" 

Manada menyampaikan itu kepada saya ketika satu malamnya Kakek berada di dalam tanah dan kesedihan masih saya rasakan.
Hanya tujuh hari lamanya saya berada di kampung. Keluarga mengecam kepergian saya. Namun saya memilih tak mendengarkan mereka, saya tidak ingin mendapati Keiko mati seperti Kakek. 

Sekarang saya berada di atas pesawat, harapharap cemas saya rasakan. Imajinasi menggiring saya pada sebuah adegan, di mana ketika saya sampai di apartemen itu, saya mendobrak pintu dan mendapati Keiko telah mati. 

Saya tentu akan menjadi orang paling malang di dunia ini, hanya bisa menyesali semua yang terjadi. Saya tidak ingin Keiko mati, Buru-buru saya mengusir bayang-bayang aneh tentang Keiko berkelebat di kepala.

Tidak Keiko, kau tidak boleh mati. Kau pantas mengecapi kebahagiaan hidup, saya menenangkan diri dengan berkali-kali bergumam seperti itu. Optimisme, saya paksa hadir dalam diri saya, di sana akan mendapati Keiko baik-baik saja. Saya tidak tahu dengan diri saya sendiri, sebelumnya saya begitu berhasrat untuk keluar dari kehidupan Keiko. 

Dia bukan perempuan yang pantas bersama saya mengarungi kehidupan, namun sejak Manada menyampaikan mimpi yang datang padanya, di situ saya disusupi pikiran bahwa meninggalkan Keiko adalah keputusan yang keliru.

Jauh meninggalkan negaranya, negara empat musim, di negeri zamrud khatulistiwa ini dia tidak memiliki keluarga, dan orang-orang yang betul-betul berarti baginya. 

Betapa keterlaluannya saya jika saya yang satu-satunya Keiko percaya untuk tinggal bersamanya, juga meninggalkannya. Memang seharusnya saya kembali padanya, sebelum mimpi Manada itu benar adanya.

Ini adalah kali kedua saya meninggalkan kampung halaman. Tiga tahun yang lalu, adalah kepergian pertama saya, "Melupakan itu yang harus kau lakukan. Pergi bukan solusi yang baik untuk mengobati luka hati," kata Kakek pada malam itu. Saya telah mengemas pakaian ke dalam ransel. Raut yang terlukis pada wajahnya adalah ketakrelaan saya meninggalkan rumah. 

Keputusan saya sudah begitu bulat, sekeras apapun Kakek, Bapak dan Ibu melarang, bahkan tangis Manada, tak mampu membuat saya mengurungkan niat. Saya menaruh pengharapan yang baik, di kota saya bisa menyembuhkan luka hati. Dan itu sungguh terjadi, seiring pertemuan saya dengan Keiko.

Kisah cinta yang terjadi pada saya dan Mahayati begitu klise dan klasik. Kami saling mencintai satu sama lain, waktu-waktu luang kami selalu bersama. Di tengah-tengah kebahagiaan kami itu, selalu saja ada tokoh antagonis melebarkan sayapnya menghalangi hubungan kami. 

Tuhan menakdirkan orang tua Mahayati menjadi tokoh antagonis itu. Mereka menjadi kaum munafik di medan perang, yang membelot karena takut mati. Mereka tiba-tiba tidak menyetujui hubungan kami, karena mereka membayangkan saya tidak bisa membahagiakan anaknya. 

Sementara salah seorang laki-laki datang pada mereka, menyampaikan lamaran pada Mahayati. Sekonyong-konyong mereka menerima itu, tanpa meminta persetujuan Mahayati. 

Anak perempuan bisa apa lagi jika orang tua sudah sediktator itu. Kisah yang klise bukan? Mahayati menikah, saya yang sakit hati meninggalkan kampung halaman.

Menjadi driver mobil online, itu pekerjaan yang saya tekuni memandirikan diri di kota. Dua tahun saya menekuni pekerjaan itu. Tinggal seorang diri di pondokan. Sampailah di suatu hari, saya bertemu dengan Keiko. Perempuan bertubuh ramping, leher jenjang, dan wajahnya yang cantik, tersenyum pada saya ketika kali pertama saya bertemu dengannya di bandara. Saya mengantarnya ke hotel. 

Aktivitas Keiko hari-hari berikutnya, mengunjungi beberapa tempat selalu saya yang membawanya. Di situlah kami saling mengakrabkan diri. Saya tidak hanya menjadi sopirnya, melainkan adalah teman jalannya.

Saya tidak berani menyebutnya apakah kami telah menjadi sepasang kekasih. Dari pertemuan-pertemuan itu, antara saya dan Keiko terjalin keakraban. Kami begitu mudah saling beradaptasi, kecanggungan diusir pergi. 

Walaupun pada saat itu Keiko belumlah begitu lancar berbahasa nasional, dan saya tidak tahu menahu bahasa negaranya, tetapi itu bukan penghalang bagi kami untuk saling terbuka mengenai diri kami masing-masing. 

Ada kesamaan menarik antara kami; kami semua lari karena luka. Lebih ektsrim lagi luka yang dialami Keiko membuatnya harus mengasingkan diri dari negaranya. Begitu caranya untuk melupakan kenangan bersama mantan suaminya.

Keiko tidak pernah berterus terang pada saya, berapa lama dia akan di negeri ini kemudian kembali ke negaranya. Saat saya menanyakan itu, Keiko jawabnya begini, "Kapan hati ini berbisik tentang waktu yang terbaik, di situlah kaki saya akan melangkah," dia menatap saya lekat-lekat dan melanjutkan penuturannya, "Saya sangat menaruh pengharapan kau akan menemani saya ke sana. 

Saya akan memperkenalkan kau kepada keluarga saya, bahwa kau adalah laki-laki selanjutnya yang saya pilih sebagai partner mengarungi kehidupan ini." Mendengar itu saya akan langsung mengalihkan pembicaraan. Tidak hanya sekali Keiko memperdengarkan pada saya harapannya itu. 

Saya tidak ingin terburu-buru menanggapinya, dia hanyalah perempuan kemarin sore yang hadir dalam hari-hari saya. Bila hati terlanjur terbuka, lantas berujung luka, sakit yang saya rasakan, ke mana lagi saya harus membawa diri mengobati semua itu?

Tidak saya ingat, itu adalah hari ke berapa Keiko berada di negeri ini, dan setiap hari kami selalu bertemu. Kami menyepakati untuk tinggal bersama. Awalnya saya membawanya tinggal di pondokan. Hanya berlangusng beberapa hari saja, tidak enak sama induk semang. 

Kami bukanlah pasangan yang halal. Oleh Keiko mendesak saya untuk tinggal di apartemen sederhana. Setelah kabar Kakek meninggal sampai pada saya, adalah hari ke empat puluh satu saya dan Keiko menghuni apartemen itu. Belum saya temukan gelagat bahwa Keiko akan kembali ke negaranya.

Saya memutuskan berhenti menjadi driver, semata-mata karena fokus pada Keiko, menemani hari-harinya. Lama-lama bersamanya ada keanehan yang saya rasakan, saya bertanya pada diri saya sendiri; entah sampai kapan saya akan menemani perempuan asing itu? Puncaknya saya didatangi hasrat untuk segera meninggalkannya.

Selain cantik, Keiko adalah perempuan yang sangat mengasyikkan. Terlebih dalam urusan pergulatan tubuh kami pada malam-malam berahi. Saya yang belum berpengalaman dalam seks, dibuat matang olehnya. Selama tinggal bersamanya, saya digodok, seolah-olah dia adalah mentor. Mengajarkan bagaimana saya harus memberikan kepuasan pada perempuan. Itu sungguh membuat saya ketagihan bersamanya. 

Pada akhirnya saya sampai pada prasangka; jangan-jangan saya hanyalah dijadikan alat bagi Keiko untuk memenuhi kebutuhan batiniahnya, hanyalah pelampiasan daripada luka yang menganga dalam hatinya. 

Perasangka itu selalu terusir pergi manakala Keiko berkata, "Apakah kau menemukan ada ketidakseriusan di wajah saya? Betapa saya tidaklah main-main denganmu. Saya serius menjadikanmu partner hidup saya," Keiko mengatakan itu dalam keadaan jari-jari kami berpagut berlanjut kecupan-kecupan di wajah.

Sudah menjadi kebiasaan Keiko ketika malam tiba, baik sebelum atau sesudah kami melakukan pergumulan tubuh, dengan membelai wajah saya di atas tempat tidur, dia bercerita tentang dongeng-dongeng di negaranya. 

Paling sering soal makhluk Kappa. Untuk membuat saya semakin percaya tentang Kappa itu, dibacakanlah novel pendek, Ryunosuke Akutagawa, berjudul Kappa. Dan Keiko sama sekali tidak pernah bosan membicarakan Kappa pada saya. Saya sebenarnya jemu oleh itu, tapi tidak berani mengatakan padanya.

"Anak-anak yang paling malang di dunia ini adalah yang tidak pernah diperdengarkan cerita dongeng oleh orang sekitarnya. Saya kira dahulu kau bukanlah anak yang malang, saya melihatmu banyak tahu dongeng, maka berbagilah pada saya, bukankah saya sudah sering menyinggung soal Kappa. Betapa tidak adilnya, ketika selalu saya yang menggerakkan cerita."

Kejadian itu jauh sebelum Kakek menemukan kematiannya, menurut Manada disebabkan oleh dua makhluk. Tentang kedua mahkluk itu pernah saya bagi kisahnya pada Keiko, kisah itu saya peroleh dari Kakek. Bersama Manada saat kami masih kecil, beliau sering memperdengarkan ceritanya kepada kami; Alipang dan Kalongai.

Ringkasnya begini, konon, pada zaman dahulu, Alipang dan Kalongai adalah sahabat. Mereka terlibat obrolan pada suatu kesempatan. Alipang bekata pada Kalongai, "Bagaimana kau ketika dihadapkan dengan manusia?" Kalongai menjawab, "Jika dia mengusik ketenangan saya, maka saya akan menggigitnya. Apakah kau tahu bagaimana gigitan saya? Manusia akan berjumpa dengan sakaratul maut, begitu dahsyatnya gigitan saya. Kau sendiri bagaimana, wahai Ali?"

Alipang berpikir sejenak, ada kecemburan mendengar kehebatan gigitan Kalongai yang bisa mematikan manusia. "Saya tidaklah semengerikan gigitanmu," kata Alipang, "Manusia tidak akan mati, tetapi tetap saja merasakan sakit. Dan gigitan saya itu berakibat pada pembengkakan." Kalongai malah mendengar itu, nada tawanya terkesan meremehkan. Alipang tidak senang mendengarnya.

Kalongai berkata, "Kau makhluk payah. Di balik kegagahan penamipilanmu ternyata kemampuanmu hanya seperti itu." Alipang tidak bisa mengontrol emosinya lagi. Dia betul-betul meradang oleh perkataan Kalongai. Tiba-tiba Alipang melayangkan serangan pada Kalongai. Kalongai bisa apa dengan serangan tiba-tiba itu. Matanya digigit oleh Alipang berakibat pada kebutaan.

"Itu balasan yang pantas atas kesombonganmu. Butamu itu tak akan bisa melihat keberadaan manusia. Kekuatan gigitanmu yang mematikan tidaklah ada artinya setelah kau buta."

Sejak saat itu persahabatan mereka berakhir. Malang nasib Kalongai, dia tidak bisa melihat lagi, dia menjadi pribadi yang sensitif akan sentuhan. Ketika ada serangan padanya, maka dia akan menggulung dirinya membentuk bundaran.

Saya tidak pernah menyangka Keiko akan menyukai cerita Kalongai dan Alipang itu. Sampai-sampai dia terbawa mimpi. Pernah di setiap pagi, bangun dari tidur, Keiko selalu akan menuturkan mimpinya tentang dua makhluk itu. 

Sebelum kabar Kakek meninggal sampai pada saya, sempat saya mendengar mimpi Keiko. Seorang lelaki tua yang tidak dikenalinya, digigit oleh Kalongai dan Alipang, lelaki tua itu mati. Saya tidak berpikiran yang aneh-aneh. Mimpi hanyalah bunga tidur, yang tak perlu diseriusi. 

Tapi setelah mendengar penuturan Manada, saatsaat sebelum Kakek meninggal. Saya sampai pada suatu kesimpulan lelaki tua di dalam mimpi Keiko adalah Kakek. Semua itu tak lain adalah sebenarnya pertanda Kakek akan segera berjumpa dengan kematiannya.

Mimpi pulalah yang menggerakkan saya kembali pada Keiko. Beginilah ceritanya, saat malam ketujuh Kakek di dalam tanah. Di ruang tengah ketika malam belum juga larut, saya bersama Manada. 

Entah apa yang membuat Manada tertarik menyentuh ponsel saya yang tergeletak begitu saja  di atas meja, bersanding dengan gelas yang tersisa hanya ampas kopi. Menit-menit berlalu adik saya yang cantik itu asyik mengotak-atik isi daripada ponsel kakaknya. 

Saya membiarkannya saja, lamunan saya ketika itu menjurus pada Kakek. Buyar! Ketika di sisi saya Manada tersentak. Matanya tampak lebar, memperlihatkan sesuatu di ponsel saya. Adalah potret diri Keiko.

"Perempuan inilah yang saya lihat, tidak salah lagi. Saya memimpikan sesuatu yang mengerikan terjadi pada dirinya," Manada terburu-buru betutur.  Jika sudah seperti itu, saya tahu omongannya adalah suatu keseriusan. Maka saya tertarik mendengar lebih jauh. Keiko digigit oleh makhluk aneh dan dia mati. 

Bukan Kalongai atau Alipang yang melakukannya. Melainkan makhluk yang asing bagi Manada, ia tidak tahu menahu soal makhluk itu. Setelah dia menjelaskan ciri-cirinya, perkiraan saya menjurus pada makhluk Kappa. Saya mencari gambarnya di internet, Manada melihatnya, ia membenarkan; seperti itulah wujud makhluk yang menggigit Keiko.

Sungguh aneh dan membingungkan. Kappa, hanya dongeng di negeri Keiko, mana ada Kapa di negeri ini? Walau pun begitu saya tak bisa mengusir kecemasan. Saya tidak ingin ada kabar kematian sampai pada saya setelah saya mengetahui mimpi Manada. 

Seperti kabar kematian Kakek datang setelah saya mendengar mimpi Keiko. Betapa saya akan sangat menyesal jika Keiko mati, lukanya di masa lalu belum juga benar-benar pulih. 

Sebelum saya berada di atas pesawat, sudah berulang kali saya menghubunginya, telepon saya tak ada jawaban. Saya semakin cemas, bayang-bayang kematian Keiko selalu mengusik pikiran saya.***

Kalongai; luing/kaki seribu.
Alipang; lipan.
Kappa; Makhluk legendaris, sejenis makhluk air yang dapat ditemukan pada cerita rakyat Jepang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun