Mohon tunggu...
Gerardus Kuma
Gerardus Kuma Mohon Tunggu... Guru - Non Scholae Sed Vitae Discimus

Gerardus Kuma. Pernah belajar di STKIP St. Paulus Ruteng-Flores. Suka membaca dan menulis. Tertarik dengan pendidikan dan politik. Dan menulis tentang kedua bidang.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politik Du Ut Des

23 Juni 2022   19:40 Diperbarui: 23 Juni 2022   19:55 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gerardus Kuma. Dok.pribadi

Pengantar

Tulisan ini saya buat tahun 2018 lalu ketika diadakan pemilukada di beberapa wilayah di tanah air. Tulisan ini telah saya saya publikasikan di facebook saya Gerardus Kuma Apeutung. Dan kini saya publikasi kembali di Kompasiana agar bisa dibaca banyak kalangan. Semoga bermanfaat.

***

Pesta demokrasi saat ini sedang menuju fase akhir kampanye. Mulai tanggal 24 Juni, kita memasuki masa tenang. Saat dimana segala aktivitas berkaitan dengan kampanye politik dihentikan. Segala atribut dan alat peraga kampanye akan dibersihkan.

Kurang dari empat hari lagi tepatnya tanggal 27 Juni masyarakat (pemilih) di 171 daerah akan memilih pemimpin mereka. Masayarakat di 17 propinsi akan memilih gubernur dan wakil, 39 kota memilih wali kota dan wakil, dan 115 kabupaten memilih bupati dan wakil. Di tingkat local, NTT juga menggelar pilgub beserta 10 kabupaten yaitu Sika, Sumba Tengah, Manggarai Timur, Nagekeo, Rote Ndao, TTS, Alor, Kupang, Ende, Sumba Barat Daya.

Sejak masa kampanye 15 Pebruari hingga 23 Juni hari ini, para pasangan calon kepala daerah telah bergerilya dari kampung ke kampung. Para calon keluar masuk desa, hingga ke pelosok terpencil dengan maksud mensosialisasikan diri agar dipilih. Mereka yang selama ini berjarak dengan rakyat mendadak mengunjungi rakyat dengan wajah ramah. Bahkan ada yang sampai rela bermalam di udik sana agar terkesan solider dengan rakyat. Ikut merasakan derita mereka. Para calon menjual wajah mereka yang memang selama ini tidak dikenal warga guna menarik dukungan. Mereka yang hanya datang pada saat suksesi seperti ini berusaha menggaet hati pemilih melalui visi, misi dan program kerja yang ditawarkan.

Dalam pada itu, sembari menawarkan program kerja, para calon pun memberi bantuan kepada masyarakat. Di saat pemilu para calon adalah orang yang murah hati, menjelma menjadi dermawan dan penderma dimana-mana. Bantuan siap dikucurkan. Entah diminta atau tidak pasti dikasih. Saat pemilu banyak bantuan berupa sembako: beras, mie instant, kopi, gula pasir terus berdatangan. Pemberian berupa pakaian, bola kaki, bola voli, net, mengalir begitu lancar. Bahkan binatang seperti sapi, kambing, babi, anjing, ayam pun ikut dikorbankan. Bantuan tersebut ada yang disumbangkan untuk lembaga/ organisasi. Ada juga yang langsung diberikan kepada masyarakat (pemilih).

Pertanyaannya, salahkah para calon membantu masyarakat? Membantu orang kok dipersoalkan?

Tentu bukan bantuan itu yang dipersolkan. Tetapi finis operandi (maksud pemberian) yang dipertanyakan. apakah bantuan itu diberikan secara tulus? Apakah pemberian itu dilakukan tanpa iming-iming? Mengapa harus saat suksesi politik baru datang menenteng derma? Sulit ditampik bila bantuan itu diberikan tanpa menaruh balasan bila dikaitkan dengan moment pemilu.

Ya, do ut des: Saya memberi supaya saya menerima. Saya memberikan sesuatu dengan maksud mendapatkan suatu adalah bantuan yang menuntut pamrih. Ada maksud lain dibalik sumbangan yang diberikan. Saya memberi dengan harapan mendapat balasan adalah pemberian yang tidak tulus. Ada udang dibalik batu. Saya memberi supaya saya menerima adalah bantuan yang tidak ikhlas. Ada motif terselubung yang membalut bantuan. Memang dalam politik tidak ada yang gratis. Setiap pemberian "politik" selalu menuntut balasan. Dalam konteks pemilu, para calon pemimpin memberi bantuan dengan maksud agar dipilih. Suara masyarakat berupa pilihan dapat menjadi bayaran atas bantuan yang diberikan. "Kami memberi bantuan ini dan ingat hari H nanti jangan lupa tusuk kami," kira-kira begitu harapan para kandidat saat memberi bantuan.

Pencoblosan tinggal menghitung hari. Dalam masa-masa itu, bantuan pasti akan lebih deras lagi mengalir. Serangan fajar pasti akan dilancarkan pda hari H nanti. Saya tidak melarang (pemilih) untuk menerima atau menyarankan untuk menolak bantuan yang diberikan. Banyak yang mengatakan, "Bila ada yang kasih uang, ambil saja, tetapi jangan pilih orangnnya." Hanya saja setiap bantuan yang diterima pasti akan menjadi beban moril. Ada semacam ikatan "moral" yang menyandera kita jika telah menerima bantuan, yang kita sendiri tahu bahwa balasannya adalah memilih sang "paket" pemberi bantuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun