Mohon tunggu...
Kukuh Purwanto
Kukuh Purwanto Mohon Tunggu... Penulis lepas -

Don't follow me. I'm lost too!

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Menjadi Tua dan Tidak Bijaksana: Sebuah Kisah Inspiratif

5 Desember 2018   10:44 Diperbarui: 5 Desember 2018   20:06 448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: people-illustration.com

Bertahun-tahun lalu, sebelum nasib baik yang aneh melemparkan saya dari satu pekerjaan kasar ke pekerjaan yang lebih kasar lainnya, saya berkarir di kebun binatang sebagai penerjemah. Itu pekerjaan pertama saya, dan masih basah dalam ingatan saya seberapa histeris tangisan ibu di bandara demi melepas anaknya semata wayang pergi merantau.

Pekerjaan itu sudah saya idamkan sejak SMA. Ibu, yang kepingin anaknya menjadi kepala laborat entah atas dasar apa, tentu saja kecewa berat ketika tahu bahwa anaknya tak berbakat mencampur bahan kimia apa pun, dan malah menggandrungi ilmu bahasa. Di tahun kedua, saat penjurusan, dengan mantap saya memilih kelas bahasa.

Selain belajar bahasa Inggris dan Prancis, bahasa asing yang saya pelajari di kelas adalah bahasa Margasatwa. Saya cukup berbakat dalam bahasa itu, terbukti dari puji-pujian setinggi angkasa yang diberikan guru saya menjelang kelulusan. Ia heran campur bangga, sebab selama empat belas tahun masa pengabdiannya tak pernah menemukan murid yang begitu luwes mengobrol dengan burung emprit dan celeng seperti saya.

Deretan nilai sempurna di ijazah memudahkan saya dalam melamar kerja. Saya mendapat panggilan wawancara dari enam belas kebun binatang, delapan grup sirkus, tiga LSM fauna, dan tak ada satu pun dari laborat seperti harapan ibu. Saya begitu selektif seperti putri raja yang diincar ratusan pangeran, dan akhirnya memilih satu kebun binatang yang menawarkan kompensasi paling menarik yang terletak di negeri yang jauh.

"Jangan lupakan sholatmu," pesan ibu kepada saya di terminal. "Gosok gigimu sebelum tidur, dan jangan begadang tiap hari. Kirimi ibu kabar sesampainya di sana."

Dua dari empat pesan itu saya jalankan sungguh-sungguh; saya mengiriminya foto kemilau gigi beserta surat dalam amplop coklat setiap bulan.

Negeri yang saya tuju adalah Nouwer, terletak di antara Republik Solomon dan Tanah yang Dijanjikan. Lebih jauh ketimbang Nyecete yang saya kunjungi bertahun-tahun kemudian, meski memiliki level keganjilan yang serupa: penduduknya hanya orang-orang tua, tanpa remaja apalagi balita. Piaraan mereka juga tua-tua: anjing-anjing peyot dan kucing-kucing lansia yang tinggal menunggu ajal. Langit yang menaungi negeri itu juga tua, berwarna kelabu dengan awan tipis berlarik-larik seperti keriput.

Kebun binatang tempat saya bekerja dihuni oleh aneka satwa gaek. Begitu pula dengan penjaga loketnya yang renta dan tampak ngantuk di jam berapa pun.

Dan inilah tugas saya saban hari: menerjemahkan apa pun yang pengunjung katakan kepada kuda peyot atau gajah jompo atau macan pikun di situ. Harus saya katakan bahwa menerjemahkan omongan dua entitas yang sama-sama tua, dan biasanya juga rewel, adalah sebentuk kegilaan.

Bagaimanapun, saya menikmatinya. Namun, kondisi Nouwer yang seluruhnya uzur dan muram membuat saya penasaran. Dan setelah enam pekan penyelidikan, yang biasanya berawal dari obrolan di kedai-kedai kopi dan diakhiri di gedung arsip, saya mendapat jawabannya: penduduk di sini terobsesi dengan masa tua.

"Kebijaksanaan sempurna manusia terjadi di masa tuanya," terang Gholun, pengrajin tempayan yang akrab dengan saya di kedai kopi. "Maka logikanya adalah manusia-manusia muda, seperti kamu, pastilah bodoh dan ceroboh."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun