Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Aku Warga Negara Macam Apa?

18 Desember 2020   12:42 Diperbarui: 18 Desember 2020   12:44 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi konsep negara. Sumber: islami.co

Manusia adalah makhluk yang menempati ruang dan ada dalam kronologi dimensi waktu. Ruang tempat manusia berpijak adalah kosmos sebagai gambaran kemahakuasaan Allah. Manusia lahir dan dibesarkan dalam sebuah kelompok atau komunitas. Ia tidak pernah terlempar begitu saja ke dunia ini tanpa adanya pengada. 

Dalam Thomas Aquinas (Summa Teologia), dikatakan bahwa manusia adalah prinsip ada, sedangkan Tuhan sebagai pengada adalah prinsip Harus Ada. Manusia tidak mungkin ada tanpa prinsip Harus Ada. Manusia tidak harus ada, tetapi ia ada dalam list rencana penciptaan Tuhan. Dengan kata lain manusia adalah imago Dei, yang tidak harus ada. Manusia ada tidak secara tiba-tiba tanpa adanya konfrontasi dengan yang lain.

Prolog

Pada awalnya manusia lahir, bertumbuh, berkembang dan belajar memahami dalam kelompok-kelompok kecil seperti keluarga, namun lambat laun ia akan memahami dan memasuki lingkungan yang lebih magnum, yakni negara. Perlu dipahami bahwa manusia ada bukan karena negara, atau kelompok masyarakat ada bukan karena negara, melainkan justru sebaliknya negara ada karena manusia. 

Jika ditelusuri sejarah terbentuknya negara, sebetulnya negara hadir atau ada karena adanya konflik antarindividu dalam masyarakat. Kehadiran negara dipandang sebagai mediator atau judge yang melindungi hak-hak individu dalam kontes persaingan di masyarakat. Dalam sejarah Filsafat Barat, ada dua paham yang saling meniadakan yang ikut membantu membuka ruang terbentuknya negara. 

Pertama, paham yang mengedepankan individualitas (Thomas Hobbes) dan yang kedua, paham yang mengedepankan sosialitas (Karl Marx). Paham idividualitas menekankan pentingnya kemandirian seorang manusia. Manusia dari kodratnya adalah otonom, jadi ia tidak membutuhkan campur tangan orang lain. 

Sedangkan paham sosialisme menekankan aspek sosial dari sebuah kehidupan, di mana setiap individu ada dan berkembang justru dalam hubungannya dengan sesama. Akan tetapi, paham sosialisme ini bukan merupakan jalan keluar atau pemenang. Sosialitas dipaham sebagai pembungkus untuk menggerus dan mengikis dimensi keunikan dan keesaan dari seorang pribadi. Sosilisme dipandang sebagai instrumen perusak bilik privat seseorang.

Mengahadapi dulisme pemikiran seperti di atas, maka Jaquest Maritain hadir sebagai penegah. Jaquest berpendapat bahwa manusia bukanlah makhluk yang hanya mengedepankan keindividuannya, dan ia juga bukan makhluk yang hanya mengedepankan ciri sosialitasnya. Manusia sebetulnya adalah makhluk yang berciri individu sekaligus sosial. Wajah ganda ini yang memungkinkan manusia untuk memahami siapa dirinya yang sebenarnya. 

Dengan kata lain, subjek aku dapat memahami aku yang seutuhnya justru ketika aku berkonfrontasi dengan yang lain. Inilah yang kemudian disebut sebagai co-eksistensi. Manusia adalah makhluk yang ber-co-eksistensi. Aku memahami diriku sebagai aku yang unik justru ketika aku berelasi dengan yang lain. Dan tanpa ada yang lain di luar aku, aku akan merasa kosong. Untuk membangun network yang lebih luas demi terciptanya kerukunan, solidaritas, perdamaian, dan kesejahteraan setiap individu, maka dibentuklah sebuah negara.

Aku Penghuni Negara Macam Apa?

Sekedar mengenang hari lahir seorang tokoh penentu sejarah dunia John F Kennedy, kita bermenung tentang kata-katanya dalam pidato inaugurasinya sebagai presiden AS ke-35, 20 Januari 1961: "Jangan tanyakan apa yang negara dapat perbuat untuk Anda, tetapi tanyakanlah apa yang dapat Anda perbuat untuk negara!" Doktrin kecintaan pada negara ini bukan asli dari Kennedy, tetapi dari filsuf Marcus Tullius Cicero (3 Januari 106 SM - 7 Desember 43 SM). 

Cicero adalah orator dan negarawan Romawi Kuno yang umumnya dianggap sebagai ahli pidato dan prosa. Dalam konteks rumah kita (Indonesia), aku sebagai penghuni dan instrument monitor negara harus memberikan setidaknya kontribusi ada-ku. Tentunya bukan hal buruk yang hendak dijepretkan dalam monument skala makro seperti negara.

Menyadari ada-ku sebagai pribadi yang bereksistensi dan dibesarkan dalam asuhan negara, aku harus memberikan diriku sebagai keterlibatan aku sebagai subjek aktif -- bukan pasif -- dalam bernegara. Aktif dalam hal ini adalah lebih pada aspek kontrol sosial (social control). Sebagai warga negara aku harus berani menjadi pelaku perubahan -- konteks ketidakadilan dalam bernegara, kriminalisasi, penciptaan gap yang amat menyundul langit, upaya kesejahteraan, dll. 

Kontrol sosial adalah hal ekstrim, menimbang adanya musuh atau rival yang pro kejahatan. Oleh karena itu, perlunya pengetahuan akdemik dan kerja sama mambangun organisasi. Usaha, entah sebaik apapun motif dan tujuaannya jika berhadapan dengan rival yang berkuasa pasti akan runtuh. Artinya, kekalahan sudah diprediksi sebelum berperang. Lawan yang diketahui berbobot puluhan ton kekuasaan dan kaki tangan harus menjadi saingan berat (arch rival).

Keterlibatan dan sumbangsih aku terhadap negara adalah penting. Subangsih berarti untuk negara biasanya juga datang dari generasi muda sebagai arsitek masa depan bangsa. Jika rancangannya bagus -- prediksi kokoh wadas negaranya, berprikemanusiaan, berprikeadilan dan menjunjung tinggi harkat dan martabat individu -- dijamin akan membawa maskapai penerbangan bangsa ke arah yang positif. Sadar sebagai penghuni negara (Indonesia) seyogianya, aku mampu memberi -- tidak hanya menerima. 

Warga Negara yang baik juga adalah mereka yang selalu mengedepankan semangat altruisme -- semangat pengorbanan, tanpa pamrih. Jika melirik ke masa lalu sejarah perjuangan bangsa, para pejuang kita lebih dilihat sebagai pahlawan revolusioner ketimbang yang ada sekarang. 

Tanpa mereka kita tidak akan pernah menikmati apa yang ada sekarang. Oleh karena itu, seorang warga negara yang baik adalah dia yang tidak pernah melupakan sejarah bangsa dan negaranya. Ingat slogan Jasmerah, Bung Karno! Sumbangsih lain adalah aspek kepatuhan atau ketaatan hukum. Indonesia adalah negara hukum. 

Sebagai penghuni rumah Indonesia, sepatutnya kita patuh terhadap hukum. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah kontribusi kita sebagai warga negara yang baik adalah ikut menyumbangkan dan mengekspos orang-orang yang berintegritas dan berkarakter baik demi pembangunan bahtera bangsa. Stok orang baik di Indonesia masih banyak. Jangan memilih orang cacat memimpin biduk bangsa ini.

Produk Warga Negara yang Maksimal 

Sebetulnya memunculkan pribadi-pribadi yang berintegritas dan berkarakter dalam sebuah negara adalah tugas pendidik. Negara hanya menyuplai fasilitas demi pendidikan penempaan produk-produk negara yang maksimal -- berintegritas, berkarakter, berjiwa pemimpin, tegas, sederhana, rajin, bermoral dan terdidik. 

Dua hal terakhir (education and moral) selalu menjadi problem krusial kebangsaan. Untuk memproduksi manusia-manusia yang makksimal seperti yang diturunkan di atas, maka diperlukan tanur (forge) fasilitas tempa dan penempa itu sendiri. Oleh karena itu, dapur-dapur produksi di bawah ini menjadi semacam titik perhatian, yakni:

  • Kelurga

Kelurga adalah tempat pembentukan awal seorang pribadi. Keluarga adalah lembaga pendidikan dasar bagi seorang manusia. Meski seseorang sudah sampai pada tahap sekolah, keluarga selalu menjadi bayang-bayang formasi pendidikannya. Keluarga menjadi tempat manusia fajar ditempa dan tentu memberi pengaruh signifikan di masa yang menjemput. Pendidikan kerakter dan moral juga dibangun di institusi mikro ini.

  • Lingkungan

Lingkungan menjadi panggung bermain manusia. Lingkungan juga mampu membentuk karakter seseorang. Persuasinya bisa ke arah positif, bisa juga ke arah negatif. Oleh karena itu lingkungan harus menjadi tempat seseorang menemukan titik-titik kreatifitasnya -- bakat dan kemampuan seseorang akan hal tertentu.

  • Institusi Adat

Institusi adat seyogiyanya tidak menjadi pengungkung individu dalam masyarakat. Adat sebaiknya menjadi penopang dan pengendali orientasi individu ketika ia mulai menyimpang. Adat hadir bukan sebagai penjara, melainkan tempat belajar membentuk diri secara mandiri.

Epilog
Negara adalah prinsip pemersatu (logos). Sebagaimana laut yang dicanangkan Jokowi-JK (dengan agenda tol laut) adalah pemersatu -- bukan pemisah -- maka, kita pun harus menjadi agen-agen pemersatu bangsa dan negara. Negara ada untuk menjamin hak-hak individu di tengah masyarakat. Jika ada kegaduhan dalam negara, bonum commune-nya harus dipertanyakan. 

Kadang penghuni negara (Indonesia) jatuh pada sikap egois, mental instant, pola pikir pragmatis, bungkam, rukus dan tamak (koruptor), dan selalau menciptakan perselisihan dalam bernegara. Manusia cenderung menjadi homo homini lupus. Padahal sebetulnya manusia harus menjadi homo homini Dei (manusia harus menjadi Allah bagi yang lain).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun