Kecemasan pada remaja sebenarnya bisa dikenali dari perubahan perilaku, emosi, dan kondisi fisik yang mereka alami. Beberapa tanda yang pernah saya temukan adalah perasaan gelisah, seperti orang bingung, atau merasa tegang yang lama.Â
Ada yang sangat sensitif atau mudah tersinggung terutama kalau ditegur. Mereka mudah sekali merasa khawatir pada hal-hal yang sederhana. Mungkin itu juga yang membuat banyak remaja yang cemas sering menarik diri dari lingkungan pergaulannya dan mulai sulit tidur.
Baca juga:Â Menjadi Bapak Rumah Tangga, Kenapa Harus Malu dan Takut?
Rasa cemas yang berkepanjangan secara umum bisa membuat jantung berdebar-debar, pusing, berkeringat, tubuh gemetar, sesak napas, sakit perut, dan sakit kepala. Di masa sekolah dulu, kalau menjelang ujian pelajaran matematika atau fisika, kecemasan seperti ini terjadi pada beberapa teman.Â
Akibatnya, orang sulit konsentrasi, motivasi menurun, dan kurang nafsu makan. Mungkin pernah juga menemukan orang yang merasa cemas sambil menggigit kukunya, atau menghindar dari circle pertemanan, atau  rasa takut berlebihan pada situasi tertentu.
Rasanya, kondisi remaja seperti ini perlu mendapatkan penanganan yang tepat, misalnya konseling psikologis atau terapi sesuai kebutuhan. Tujuannya untuk mencegah kecemasan yang berlarut-larut. Kondisi ini tentu akan sangat mengganggu kegiatan remaja sehari-hari dan pencapaian prestasi akademik mereka.
Maka, menarik sekali akan ide pembatasan penggunaan media sosial di kalangan remaja, disertai edukasi dan dukungan psikologis untuk mengurangi dampak buruk terhadap kesehatan mental remaja. Ide ini sudah mulai banyak dilakukan beberapa negara yang menaruh perhatian serius pada masa depan generasi mudanya. Indonesia kapan ya?***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI