Kompasianer pernah kerja bareng saudara sendiri? Lebih nyaman karena sudah saling kenal, atau justru jadi rawan konflik karena bawa-bawa urusan keluarga? Kalau bisa memilih, mending kerja bareng saudara sendiri atau orang lain?
Kerja bareng saudara itu katanya bisa bikin semuanya lebih mudah karena sudah saling kenal, saling percaya. Bisa bikin komunikasi jadi lebih terbuka dan efisien.
Namun di sisi lain, masalah kerja bisa merembet ke hubungan pribadi. Belum lagi kalau urusan profesional dan emosional mulai campur aduk. Kadang, masalahnya tidak besar cuma beda prinsip, pembagian peran yang nggak jelas, atau campur tangan keluarga lain.
Kompasianer pernah mengalaminya? Lebih nyaman kerja bareng saudara yang udah kita kenal luar-dalam atau sama orang lain yang hubungannya jelas-jelas profesional tanpa embel-embel urusan pribadi?
Kalau hubungan darah ikut masuk ke ruang kerja, apakah masih bisa objektif dan profesional? Sebaliknya, kalau kerja dengan orang lain, apa memang lebih bebas konflik?
Lalu, bagaimana jika terjadi konflik? Apakah akan lebih sulit diselesaikan karena ada hubungan darah atau justru lebih mudah karena ada ikatan emosional? Mana yang lebih rentan bikin "drama", kerja bareng keluarga atau orang luar?
Kompasianer, yuk cerita dan bagi pengalaman kamu!
Pernah kerja bareng saudara sendiri, entah di bisnis keluarga atau proyek bareng? Bagaimana rasanya? Apa tantangan terbesarnya? Atau, kamu merasa lebih nyaman kerja sama orang lain yang nggak ada ikatan keluarga? Cerita, saran, atau pelajaran apa yang bisa kamu bagi dari pengalamanmu?
Silakan tambah label Kerja Bareng Saudara (menggunakan spasi) pada tiap konten yang kamu buat, ya!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI