Mohon tunggu...
Kompas.com
Kompas.com Mohon Tunggu... Administrasi - Kompas.com

Kompas.com merupakan situs berita Indonesia terlengkap menyajikan berita politik, ekonomi, tekno, otomotif dan bola secara berimbang, akurat dan terpercaya.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Ramalan Megawati: Indonesia Terancam Kelaparan

3 Maret 2021   16:00 Diperbarui: 3 Maret 2021   16:06 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto udara jalan desa dan sawah yang terendam banjir dan tak bisa dilalui di Desa Karangligar, Kecamatan Telukjambe Barat, Karawang, Jawa Barat, Rabu (10/2/2021). Selain curah hujan yang tinggi, luapan Sungai Citarum dan Sungai Cibeet yang merendam areal persawahan sejak Minggu (7/2/2021) tersebut mengakibatkan sebagian besar tanaman padi siap panen rusak dan terancam gagal panen.

Foto udara jalan desa dan sawah yang terendam banjir dan tak bisa dilalui di Desa Karangligar, Kecamatan Telukjambe Barat, Karawang, Jawa Barat, Rabu (10/2/2021). Selain curah hujan yang tinggi, luapan Sungai Citarum dan Sungai Cibeet yang merendam areal persawahan sejak Minggu (7/2/2021) tersebut mengakibatkan sebagian besar tanaman padi siap panen rusak dan terancam gagal panen.JUDUL tulisan ini saya kutip dari judul berita di harian Kompas, Sabtu, 24 Mei 2003. Itu merupakan sebuah ramalan. Judul berita selengkapnya adalah Megawati: Indonesia Terancam Kelaparan.

Presiden (waktu itu) Megawati Soekarnoputri menyampaikan ramalannya itu dalam pidatonya ketika membuka rapat teknis sensus pertanian di Istana Negara, Jakarta, Jumat, 23 Mei 2003. Pidato itu menjadi berita di Kompas sehari kemudian.

Megawati saat itu merisaukan keputusan pemerintah daerah yang melakukan konversi lahan pertanian untuk kepentingan lain di luar pertanian.

“Bisakah dibayangkan 50 atau 100 tahun lagi terjadi kelaparan di Indonesia akibat perbuatan kita sendiri,” kata Megawati 18 tahun lalu.

Karawang-Bekasi diobrak-abrik

“Padahal, pada masa penjajahan, Belanda samasekali tidak berani mengutak-atik daerah Karawang-Bekasi yang menjadi gudang beras Jawa Barat. Kita sendiri malah yang mengobrak-abrik daerah itu,” demikian lanjut Megawati ketika memegang jabatan presiden tahun 2003.

Ucapan Megawati itu muncul di benak saya, beberapa saat usai perbincangan saya dengan Wakil Presiden 2004-2009 dan 20014-20019, Jusuf Kalla, di kediamannya di Jalan Brawijaya, Kebayoran Baru, Jakarta, Kamis, 18 Februari 2021. Menurut JK, selain perlu tetap mewaspadai masalah covid 19, kita juga perlu mengantisipasi masalah beras.

JK saat itu bicara soal banjir di berbagai wilayah sawah di pantai utara Jawa yang dikaitkan soal gagal panen, gagal tanam dan puso. Masalah beras ini bisa muncul (bila tidak diantisipasi) pada April dan Mei 2021 ini.

JK juga mengingatkan, saat ini tidak begitu mudah untuk impor beras dari negara-negara pengekspor beras ke Indonesia seperti Thailand dan Vietnam.

Selama menjabat Wakil Presiden (1999-2001) dan Presiden (2001-2004), Megawati beberapa kali bicara tentang kerisauannya tentang pertanian (beras, padi dan sawah), air (mata air) dan data sensus pertanian (termasuk soal desa, dusun atau kampung).

Kerisauan Megawati ini muncul lagi dalam pidatonya sebagai Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan awal Januari 2021 ini di hari ulang tahun partai yang dipimpinnya sejak tahun 1997 itu.

Dalam sidang kabinet di Gedung Sekretariat Negara, kompleks istana kepresidenan Jakarta, Senin, 12 Agustus 2002, Megawati bersuara lebih keras lagi. Ia minta konversi lahan pertanian dihentikan, khususnya di Jawa. Ketika itu Megawati melihat lahan pertanian banyak beralih fungsi untuk industri dan perumahan.

Mega ingin konversi lahan pertanian dihentikan demi untuk menjaga ketahanan pangan nasional. Ia waktu itu melihat, produksi pangan dalam negeri menurun terus sebagai akibat areal lahan pertanian semakin menyempit, terutama areal lahan tanaman pangan. Mega menegaskan agar ketahanan pangan menjadi prioritas utama.

Ketika itu keprihatinan Mega terkait dengan impor pangan Indonesia yang membumbung tinggi, sejak menjelang lengsernya rezim Soeharto. Impor beras 1998, mencapai 5, 7 juta ton per tahun dan 1999 sedikit menurun yakni 4,1 juta ton per tahun.

Tahun 2000 dan 2001 memang menurun, yakni 1,5 juta ton per tahun dan 1,4 juta ton per tahun. Tapi rupanya Mega belum puas dengan penurunan impor beras itu.

Dilihat di tahun 2002, impor beras terburuk dalam sejarah Indonesia ada di tahun 1998 dan 1999. Saat itu Bulog melakukan impor beras membabi buta. Ini menunjukkan gejala Indonesia sudah bukan menjadi lumbung padi/beras di Asia.

Beras barang ajaib

Dalam sejarah politik dan ekonomi, beras, padi dan sawah merupakan hal yang ajaib dan menyejarah. Beras menjadi barang yang ikut menentukan kenaikan dan jatuhnya kekuasaan. Itu kata-kata para pengamat politik dan ekonomi Barat tentang Asia Tenggara, terutama Indonesia.

Di awal Orde Baru, Soeharto di panggung dunia sangat membanggakan keberhasilan pemerintahannya menjadikan Indonesia menjadi negara swasembada beras.

Ia mengatakan itu dalam pidato setengah jam di forum dialog Selatan - Utara di Roma, Italia, 14 November 1985. Kemudian setelah itu berkali-kali hal yang sama ia ucapakan di berbagai acara.

Prof Dr Donald W Wilson dari Pitsburg University, Amerika Serika, dalam bukunya yang diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia 1992, Dari Era Pergolakan Menuju Era Swasembada,mengutip kata-kata Soeharto tentang swasembada beras tahun 1987.

“Perjuangan ekonomi paling besar yang pernah kita perjuangkan dan menangkan adalah untuk mencapai swasembada dalam produksi pertanian, terutama beras. Ketergantungan kepada bangsa lain yang mana pun, adalah suatu hal yang sama sekali tidak dapat diterima, tetapi lebih jelek lagi adalah menjadi negara pengimpor terbesar di dunia......Tidak dapat berswasembada beras, samasekali tidak masuk akal bagi saya.” Begitu kata Soeharto pada 1987.

Tapi kejatuhannya juga ditandai dengan merosotnya produksi beras negeri ini. Ketika ia lengser Indonesia adalah pengimpor beras terbesar dunia.

Namun sebelum meninggal dunia Minggu, 27 Januari 2008, Soeharto berpesan kepada Presiden (waktu itu) Susilo Bambang Yudhoyono, “Jangan dilupakan mengenai swasembada pangan.” (Ini menurut Harmoko dalam artikel Kopi Pagi Bersama Harmoko, “Pesan Pak Harto pada SBY”, Pos Kota, Senin 14 Frebuari 2013).

Ketika menggantikan Soeharto, Bacharuddin Jusuf (BJ) Habibie (Presiden RI ke-3, 1998 - 1999), juga memprioritaskan masalah pangan. Tentu ini berkaitan erat dengan beras dan impor.

“Pemerintah memperhatikan dengan sungguh-sungguh penderitaan seluruh lapisan masyarakat. Hal yang sangat ingin kita tangani adalah menyediakan bahan makanan dan kebutuhan pokok masyarakat lainnya. Kebutuhan itu terasa jauh lebih mendesak dari agenda-agenda reformasi lainnya.” Demikian kata Habibie dalam pidatokenegaraan di depan sidang DPR 15 Agustus 1998.

Negara-negara kerajaan besar di Nusantara dalam sejarah selalu berdiri di kawasan yang subur untuk sawah dan padi. Di Jawa, bisa dilihat kerajaan-kerajaan besar antara lain ada di lembah-lembah antara Sungai Berantas (jawa Timur) dan Bengawan Solo (Jawa Tengah).

VOC jago politik beras

Keajaiban beras dan padi ini sangat dimaklumi dan dipelajari oleh orang-orang Eropa yang hendak menjajah Nusantara sejak awal abad ke-16.

Perusahaan multinasional pertama dalam sejarah bumi ini, VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie atau Perserikatan Maskapai Hindia Belanda) yang menjajah Nusantara selama 197 tahun (1602 - 1799) sangat jago dalam mempermainkan politik dan ekonomi beras.

Coba kita lihat buku sejarah Indonesia tulisan MC Riklefs (Australia), Bernard HM Vlekke (Belanda) serta penulis tentang Indonesia lainnya seperti Anne Booth (Inggris) sangat banyak mengetengahkan soal beras ini.

Para sejarahwan itu, seperti Riklef dan Vlekke, menuliskan peran penting beras dalam pertempuran antara VOC di bawah Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen (1619-1623 dan 1627-1629), melawan tentara Sultan Agung (1593-1645) dari Mataram.

Sebelum memindah markas besarnya (VOC) dari Ambon ke Batavia (Jakarta) awal 1919, JP Coen mendekati Sultan Agung yang baru satu tahun menjadi Sultan Mataram (jadi sultan pada 1613).

Pada 1614, JP Coen mengutus dutanya ke Kraton Mataram. “VOC sangat memerlukan beras Jawa dan mengharapkan diadakan perdagangan dengan daerah pantai pengekspor beras,’ demikian tulis MC Riklefs dalam buku Sejarah Modern Indonesia 1200-2008 halaman 88 cetakan 2008.

Tapi Sultan Agung mencurigai, lewat politik dagang beras ini, VOC mau menguasai Jawa. Pada 1618, Sultan Agung menghancurkan sawah-sawah di pantai utara Jawa dan melarang perdagangan beras dengan VOC.

Ketika JP Coen sudah beberapa tahun bermarkas di Batavia, Jakarta, tahun 1628 Sultan Agung menyerang Batavia, antara lain membendung Ciliwung. Serangan Sultan Agung gagal.

Tahun 1629, Sultan Agung melakukan serangan kedua ke Batavia. Tapi logistik beras pasukan Sultan Agung yang ada di 200 kapal di perairan Tegal dan Cirebon dibakar para intelijen VOC.

Serangan pasukan Sultan Agung gagal lagi, walapun JP Coen meninggal dunia di dalam benteng Batavia karena penyakit pada 20 September 1629.

Legasi, korupsi

VOC berhasil mempermainkan politik beras yang antara lain menjadi salah satu faktor keberhasilannya memperdaya/menguasai kerajaan-kerajaan di Jawa dan berbagai wilayah lain di Nusantara. Tapi VOC runtuh pada 31 Desember 1799 karena korupsi.

Siapa saja orang-orang dalam VOC di Nusantara?

Ricklefs, antara lain menuliskan seperti ini. VOC di Asia diisi orang-orang tidak bermutu, terutama menjelang runtuhnya. Ini disebabkan VOC sulit mendaptkan orang-orang terhormat yang punya keinginan menempuh karier berbahaya di Asia.

“VOC bukan hanya terdiri dari orang Belanda. VOC adalah orang-orang petualang, gelandangan, penjahat dan orang-orang bernasib buruk dari seluruh Eropa. Di dalam VOC, inefisiensi, ketidakjujuran, nepotisme dan alkoholisme.....”

Itulah VOC yang jago mempermainkan politik beras di Nusantara yang kemudian dilanjutkan oleh penjajah Pemerintah Belanda yang terwariskan dalam republik ini.

Di masa penjajahan setelah VOC gulung tikar, kolonial Hindia Belanda antara lain memperkenalkan produk-produk eksport seperti gula (tebu), kopi, cengkeh, nila, pala, teh dan seterusnya.

Tapi kolonial Belanda tetap berhati-hati dalam mengurangi sawah. Padi/beras tetap dipegang sebagai warisan dari VOC dan itu terus berlanjut sampai saat ini dengan berbagai permasalahannya.

Permasalahan beras ini menimpa Soeharto menjelang karier di Angkatan Darat mulai menanjak. Di tahun 1956-an, ketika menjadi Panglima Tentara Terotorium (TT) IV di Jawa Tengah, bersama Bob Hasan mendatangkan atau impor beras dari Singapura dengan cara barter dengan gula.

“Ditengah-tengah saya mengikuti pendidikan Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat, diisyukan bahwa saya adalah koruptor beras, memperkaya diri dari barter gula. Sampai-sampai saya dipanggil pimpinan Angkatan Darat.......,” demikian kata Soeharto dalam buku otobiografinya, Soeharto, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya, yang diterbitkan tahun 1989.

Tapi Soeharto selamat dari kemelut impor beras dari Singapur itu, sampai jadi presiden selama 32 tahun.

Kini barang ajaib dalam masalah dunia politik dan ekonomi bukan hanya beras, tapi ada minyak, asuransi, emas, listrik dan seterusnya. Barang dan hal ajaib ini sering berkaitan erat dengan korupsi.

Maka ketika saya menulis artikel ini, artikel Ketua Umum PP Muhammadiyah 1998 - 2005, Ahmad Syafii Maarif (Buya), judul Republik Sapi Parah, dimuat di harian Kompas, Sabtu 27 Februari 2021 halaman 6. Ia menyebut VOC dan republik ini, masa kini.

“Di antara warisan terbusuk VOC untuk Indonesia merdeka adalah tindakan kriminal korupsi,” ujar Buya. “....Menurut laporan itu, ada anak perusahaan dari sebuah BUMN yang telah berbuat keji dalam tempo lama. Mereka merekayasa anak perusahaan itu agar terlihat legal, demi keuntungan pribadi dan kelompoknya. Kerugian negara, mencapai ratusan milyar dollar AS.....” Demikian cuplikan-cukplikan kalimat Buya.

“Apa yang terjadi di DPR sebagai lembaga tinggi negara yang kabarnya terkorup tidak dibicarakan di sini,” kata Buya lagi.

Selasa pagi, 2 Maret 2021, saya kontak Buya yang ada di Sleman, Yogyakarta.

"Buya artikel itu bagus,” kata saya.

“Maturnuwun,” jawab Buya di antara ratusan kata dalam kontak telepon kami itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun