Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kisah Pesugihan Tuyul Warung Bakso

9 Desember 2022   10:35 Diperbarui: 9 Desember 2022   11:44 3243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pesugihan Tuyul Warung Bakso Mas Bejo (gambar: portalmadura.com)

Di deretan jalan di sebuah kota, warung bakso itulah yang paling laku. Tukang parkir di lokasi sampai mengakui, ketika Tomi, seorang wartawan mewawancarainya.

"Iya, mas sepanjang jalan ini, kendaraan hanya menuju ke warung Bakso Bejo. Mereka sampai rela parkir ratusan meter di sebelah sono," ujar si abang parkir menunjuk jauh jarinya.

"Oh, begitu ya? Lantas apa komentar pelanggan?" Tomi bertanya sambil merekam suaranya di gawai.

"Kata orang sih, enak. Tapi, ada juga yang bilang biasa-biasa saja," ujar tukang parkir sambil melihat ke kiri dan kanan jalan.

"Cukup," ujar Tomi dalam hati. Si tukang parkir bukanlah subjek utama. Tomi bukanlah wartawan majalah kuliner. Tugasnya adalah mencari informasi sebanyak mungkin terhadap sesuatu yang tidak bisa diwawancarai.

Sudah hampir lima tahun Tomi menggarap tabloid Sakral. Sebagaimana namanya, konten portal majalah daring itu memang membahas seputar dunia spiritual. Fenomena ghoib, rumah berhantu, para jin dan anak beranaknya.

Tomi mencintai pekerjaannya, bukan karena ia menyukai hal mistis yang tidak rasional. Tapi, baginya itu adalah sebuah tantangan. Fenomena ghoib harus bisa dijelaskan secara logika. Karena masih banyak hal di alam semesta yang masih jauh dari jangkauan manusia. Tidak heran jika tabloid Sakral hanya memperkerjakan satu orang saja. Dirinya yang juga sebagai owner.

Dan kali ini, ia akan mengangkat kisah tentang tuyul. Warung Bakso Bejo menjadi sasarannya, karena sudah banyak cerita yang beredar bahwa si pemilik warung menggunakan pesugihan.

"Satu mangkuk, gak pake urat, Mas." Tomi memesan bakso, sambil menyisirkan pandangannya ke seluruh ruangan. Warung itu terlihat sederhana. Temboknya berwarna hijau tanpa dekorasi. Hanya ada sebuah kipas angin yang tergantung di atas plafon. Lantainya dari keramik tua, berwarna putih. Sederhana.

Setelah itu, pandangannya ia arahkan ke meja kasir. Di sana ada seorang wanita muda yang sedang sibuk menerima uang. Tidak ada yang istimewa. Di atas meja kasir yang kecil tidak ada juga tanda-tanda pesugihan. Tidak ada benda lain selain kalkulator dan sebuah buku.

Investigasi Tomi terhenti, ketika semangkuk bakso tersaji di hadapannya. "Terima kasih, Mas," ujar Tomi yang sudah terbiasa sopan.

Tomi mulai menyeruput kuah kaldu. "Hmmm... biasa saja," ia membatin. Kali ini giliran bakso, perlahan si wartawan itu mengunyahnya. Perlahan menikmati, laksana seorang chef andal. "Biasa saja..." dirinya kembali membatin.

Sedang asyiknya menikmati bakso di lidah, pandangan matanya terhenti pada seseorang yang duduk di meja paling pinggir. Seorang pria tua yang tidak makan bakso. Ia hanya duduk di sana sambil menghisap kretek.

Insting wartawan Tomi langsung bergolak. Ada sesuatu dengan pria tersebut. Meskipun demikian, Tomi tidak langsung grasa-grusu. Dengan santai ia menghabiskan baksonya sembari melihat lagi, siapa tahu ada sesuatu yang janggal. "Tidak ada, itu saja," imbuhnya dalam hati.

Keesokan harinya, Tomi kembali ke warung bakso itu. Penasaran akan keberadaan si lelaki tua, ia membawa seorang temannya. Nino namanya, pria asal Timur Indonesia yang memiliki kemampuan batin.

Akan tetapi, Nino bukanlah "dukun" sembarangan. Ia menyandang gelar S2 jurusan Arkeologi. Nino adalah pencinta sejarah, dan budaya Nusantara. Perpaduan pengetahuan akademiknya dengan pemahaman dunia mistis, membuat dirinya benar-benar seperti seorang ilmuwan paranormal. 

"Gimana, No." Tomi berbisik, takut terdengar.

Nino masih diam, sembari pura-pura membaca pesan di gawainya, ia memerhatikan lelaki tua yang masih berada di meja sudut. Ia belum beranjak dari tempat yang sama dengan kemarin. Tidak sepatah kata pun keluar dari mulut Nino.

Mereka menghabiskan bakso dengan cepat dan bergegas keluar. Di tempat parkir, Nino mulai berbicara. "Ia tahu kemampuanku, bro..."

"Si tua itu punya koneksi batin denganku, ia memesanku untuk tidak mengusiknya," ujar Nino sambil menyalakan sebatang rokok.

"Lalu..." Tomi bertanya penasaran. Ia sedikit terganggu dengan asap rokok Nino.

"Saranku sih, biarin aja, bro... Kan kamu hanya mau tahu apakah warung itu menggunakan pesugihan? Aku hanya bisa jawab, iya..." pungkas Nino.

"Gak boleh dong, ini kan investigasi, bukan status medsos," Tomi terlihat agak jengkel.

"Ya, udah... Tambahkan aja sejarah tuyul dari zaman majapahit, aku punya referensi yang sahih kalau elo mau," ujar Nino sembari membuang rokoknya yang baru dihisap beberapa kali.

Tomi terdiam. Bukannya ia ingin mengabaikan saran Nino. Tapi, mengambil berita berdasarkan asumsi dan catatan sejarah, tiada bedanya dengan portal berita ecek-ecek lainnya. Tomi tidak mau.

"Eh, Nino! Berhentilah merokok!" Nino hanya tersenyum, mereka berdua pun pisah.

Setelah berpikir sejenak, Tomi bertekad melanjutkan investigasinya. Caranya? Bak detektif partikelir, ia akan menunggu hingga warung Bakso Bejo tutup. Menyelidiki seluruh gerak-gerik pemiliknya dan kegiatan unik yang mencurigakan. Siapa tahu saja, bonus wawancara dengan tuyulnya.

Empat jam lamanya, Tomi menghabiskan waktu di warung kopi seberang. Memperhatikan secara seksama setiap aktivitas di warung Bejo. Hingga satu persatu kendaraan meninggalkan tempat, dan ruas jalan itu sudah semakin sepi.

Kegiatan di warung Mas Bejo menujukkan tanda-tanda sudah mau tutup. Wanita di meja kasir sudah mengumpulkan uang untuk dibawa pulang. Pegawai lainnya, terlihat membersihkan meja dan merapikan kursi.

Tomi masih menunggu dengan sabar. Tidak lama kemudian, si orang tua menampakkan diri di depan warung. Ia menyiram air dari sebuah mangkuk di depan toko. Setelah itu, ia berdiri cukup lama, mungkin sekitar 5 menit.

Tiba-tiba si pria tua tersebut melambaikan tangannya kea rah Tomi. Terkejut, Tomi menduga lambaian tangan itu bukan untuknya. Tapi di sekelilingnya, tiada orang lain yang melihat ke arah si orang tua. Hanya dirinya, panggilan itu untuk dirinya.

Dengan sedikit gemetar, Tomi meraih saku membayar kopi yang ia pesan. Langkah kakinya dia ayunkan menuju ke seberang jalan.

"Nak, kamu penasaran kan dengan tuyul saya?" Si lelaki tua itu sepertinya tak suka basa-basi.

Tomi gemetar, meskipun kakek itu tak menunjukkan ekspresi marah sedikit pun. Bibirnya malah dihiasi senyuman.

"Iya, Kakek.. Eh, Abah..." Tomi menjawab tergugup.

"Sini ikut dengan aku," lelaki yang disapa Abah oleh Tomi itu langsung berjalan menuju ke belakang warung. Tomi mengikutinya menuju ke sebuah rumah sederhana.

"Sini masuk, Nak..." Si pria tua itu menyapa Tomi dengan ramah.

Rumah sederhana itu berisikan perabot bersahaja. Terlepas dari warungnya yang laris manis, rumah tersebut tidak ada apa-apanya.

Di ruang tamu sudah duduk dua orang lainnya. Wanita muda yang tadi menjadi kasir dengan seorang perempuan tua. Mereka duduk tanpa ekspresi seolah-olah sudah siap menunggu kedatangan Tomi.

"Nak, benar kami dulunya pelihara tuyul," ujar si Kakek.

"Tapi sekarang sudah tidak lagi... Coba kamu lihat gundukan tanah di belakang rumah," Tomi mendongakkan kepalanya dan memang ada. Sekilas seperti tanah kuburan tanpa batu nisan. Tomi merinding.

"Itu, sarang tuyul ya, Abah?"

"Bukan, itu kuburan Mas Bejo, pemilik tuyul sebelumnya," ujar si Abah, tapi kali ini wajahnya terlihat lebih serius.

"Maksudnya..." Tomi belum paham.

"Ah Tomi, Tidakkah kamu mengerti. Bagaimana dirimu mendapatkan portal beritamu? Engkau melakukan dengan cara licik bukan? Bosmu engkau jebak sampai meninggal, hingga akhirnya "Sakral" menjadi milikmu sekarang, bukan?"

Si kakek berbicara dengan lancar membocorkan semua rahasia Tomi belum pernah ia ungkapkan selama ini.

"Begitu pula diriku, nak. Untuk apa aku bekerja dengan pemilikku jika aku bisa menjadi kaya?" lanjut si kakek.

"Mak... maksud bapak..."

"Nak, aku suka dengan kemunafikanmu, kamu akan aku ambil."

"Ti... tidak, Pak! Sudah berhenti, saya pamit," Tomi berdiri dan hendak berlari. Akan tetapi langkahnya terhenti karena ia tidak menemukan pintu keluar.

Belum sempat rasa kagetnya hilang, badan Tomi tiba-tiba menyusut, hingga hanya setinggi kaki meja. "Tidak.... Tidakkkk.... Tidakkkkk!!! Tomi berteriak, tapi tidak ada satu orang pun yang mendengarkan.

**

Nino kembali ke warung Bejo. Ia tidak bermaksud membeli bakso. Tapi, ingin bertemu dengan si kakek tua yang sudah memberikannya peringatan.

Nino bermaksud menanyakan keberadaan Tomi, sahabatnya. Sudah beberapa hari ia hilang. Dengan perlahan, Nino melangkah masuk ke warung itu. Penuh konsentrasi sembari mawas diri. Tapi, langkahnya terhenti di depan pintu. Ia urung masuk ke dalam warung.

Ia sudah menerima pesan ghoib dari si kakek. Yang kini sedang tidak duduk di kursi biasanya. Di sana ada seorang pemuda yang menatap Nino tajam, sambil meghisap kretek. Tomi yang bukan Tomi berada di sana.

**

Acek Rudy for Kompasiana

Disklaimer: Kisah ini fiktif semata. Kesamaan nama, tokoh, dan tempat, adalah kebetulan semata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun