Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kerusuhan Maria Hertogh, Ketika Pengadilan Singapura Tidak Memahami Muslim

9 Juli 2022   05:18 Diperbarui: 9 Juli 2022   05:50 1607
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Publik Belanda dan Inggris mengenalinya sebagai Maria Hertogh, sementara di Indonesia, Singapura, dan Malaysia, ia adalah Nadra binte Ma'rof.

Mungkin itu hanya sekadar nama, asimilasi jamak terjadi pada dua tempat dengan budaya berbeda. Tapi bagi Maria, nama mengartikan sesuatu yang jauh lebih berharga, sesuatu yang bernama kebebasan.

Kisah bermula di Cimahi, 24 Maret 1937.

Adalah Adeline Hunter, yang sedang mengandung anak ketiganya, Maria. Pada tahun 1942, Jepang resmi menjadi penjajah di bumi Nusantara. Adrianus Hertogh, ayah Maria adalah seorang perwira KNIL. Ia ditangkap Jepang dan dibuang ke Burma (Myanmar). Menjalani kerja paksa pembuatan rel kereta api, yang dikenal dengan Death Railway Tragedy.

Pada saat yang sama, Adeline sedang mengandung anak ke-6. Setahun sebelumnya ia baru saja melahirkan yang ke-5. Syahdan, Adeline harus menjalani kehidupan yang berat. Menghidupi enam anak tanpa suami di samping.

Kondisi ini membuat Louise Winterberg prihatin. Louise adalah ibu dari Adeline dan nenek dari Maria. Ia adalah mantan pemain drama para sosialita.

Memiliki banyak koneksi, Louise lalu menghubungi Che Aminah binti Mohammed. Sosok yang satu ini juga pemain drama terkenal. Sering tampil untuk para keluarga kerajaan Malaya. Ia juga bukan orang sembarang, termasuk keturunan Raja.

Sebuah proporsal pun dilayangkan. Adeline diminta untuk menyerahkan Maria kepada Che Aminah. Semuanya untuk kebaikan bersama. Che Aminah mendambakan anak Londo, sementara Adeline hidupnya susah.

Maria pun diadopsi, menjadi kelurga bangsawan Malaya. Tanggal 1 Januari 1943 merupakan hari yang bersejarah. Maria Hertogh berganti nama menjadi Nadra binte Ma'rof. Disahkan secara Islam.

Maria tidak sendiri di keluarga tersebut. Ia juga memiliki anak angkat sewaktu suami pertamanya bertugas di Tokyo. Dinamai Kamirah, anak Jepang asli.

Setelah suaminya meninggal, Che Aminah kawin dengan Ma'rof bin Haji Abdul, seorang saudagar perhiasan asal kota Kembang. Di Bandung, Che Aminah bekerja menjadi penerjemah polisi militer Jepang.

Itu adalah masa-masa yang indah bagi Maria. Diadopsi oleh keluarga kaya, hidupnya berubah 180 derajat. Di rumah Mar'of dan Che Aminah, Maria menikmati hidup mewah. Ia punya kamar sendiri, banyak mainan, dan punya pembantu yang melayaninya.

Tapi, situasi berubah. Setelah Indonesia merdeka, orang Belanda menjadi musuh bersama. Ditambah lagi dengan suasana Bandung yang tidak kondusif, Maria sempat ditahan tiga hari, hanya karena berwajah bule.

Ia baru dibebaskan setelah keluarga ibu kandungnya menunjukkan surat adopsinya. Setelah kejadian itu, Che Aminah lalu membawa Maria mengungsi ke Malaya pada tahun 1947.

Pada saat bersamaan, Adrianus Hertogh kembali dari Burma. Ayah Maria itu ternyata lolos dari kekejaman Jepang. Ia marah ketika mengetahui jika Maria telah diadopsi.

Adrianus lalu mengajukan permohonan resmi ke pejabat Belanda untuk mencari putrinya. Sayangnya, jejak Maria tidak ditemukan. Keluarga Adrianus pun kembali ke Belanda, tanpa Maria.

Kehidupan Maria kembali normal. Ia menikmati masa remajanya di Malaya.

Suatu hari Maria sedang mengikuti perlombaan menari di sekolahnya. Dirinya lalu terlihat oleh Arthur Locke, pejabat Inggris di Malaya. Rupanya Arthur pernah mendengarkan tentang laporan resmi Adrianus yang disebarkan oleh Belanda ke otoritas Inggris.

Arthur curiga jika Maria adalah anak yang dicari-cari. Setelah bertemu dengan Che Aminah, Arthur menyuruh mereka pergi ke Singapura untuk bertemu dengan Konsulat Jendral Belanda. Kejadian ini berlangsung pada tahun 1950.

Di Singapura, Konjen Belanda menawarkan 500 dollar AS sebagai pengganti hak asuh Maria. Che Aminah menolak, baginya Maria sudah seperti anaknya sendiri.

Dari sini drama pun dimulai. Konsulat Jenderal Belanda teryata mengajukan hak perwalian atas Maria. Pengadilan Singapura lalu memutuskan bahwa Maria harus dikirim ke dinas sosial. Padahal di persidangan, Maria menyatakan bahwa ia tetap memilih tinggal bersama ibu asuhnya.

Maria berdalih bahwa ibu kandungnya telah melepaskan hak asuhnya kepada Aminah. Soewaldi Hunter, kakak Adeline juga memberikan kesaksian yang mendukung pernyataan Maria.

Tapi Pengadilan Negeri Singapura bergeming. Mereka bahkan bertindak lebih jauh lagi. Maria harus dikirim kembali ke Belanda, kepada keluarga kandungnya.

Che Aminah tidak tinggal diam, ia mengajukan banding dan memenangkan perkara. Alasannya diterima, Pengadilan Tinggi beralasan Konsulat Jenderal Belanda tidak memiliki hubungan darah.

Che Aminah puas, ia merasa telah menang. Sayangnya ia melakukan kesalahan fatal. Pada 1 Agustus 1950, Che Aminah mengawinkan Maria dengan Mansoor Adabi. Mansor adalah seorang pria terhormat dari Kelantan. Kala itu ia berusia 22 tahun. Sementara Maria masih berusia 13 tahun. Masih di bawah umur.

Secara budaya, apa yang dilakukan Che Aminah sah-sah saja. Ia melakukan proses yang disebut Nikah Gantung. Meskipun sudah resmi suami istri, tapi Mansoor dan Maria masih belum bisa tinggal serumah, hingga Maria cukup dewasa.

Bagi kaum Muslim Malaya di zamannya, nikah gantung ini adalah praktik yang umum. Meskipun berembel-embel "nikah", praktik ini tiada bedanya dengan pertunangan.

Tapi bagi orang Belanda, "nikah" adalah nikah. Merasa telah "dikalahkan" oleh Che Aminah, keluarga Hertogh pun melakukan serangan balasan.

Media massa di Belanda menjadi alat propaganda. Diberitakan jika Che Aminah adalah sosok yang seronok, dan Maria sebenarnya teraniaya.

Lalu muncullah gerakan solidaritas dari negeri leluhur Maria. Bertha Hertogh Committee terbentuk alamiah. Dalam waktu singkat, terkumpul dana dari masyarakat sebanyak 80.000 gulden. Jumlah ini untuk mengongkosi perlawanan balik keluarga Hertogh terhadap kasus Maria.

Di sisi yang lain, kaum Muslim Singapura tidak terima. Perlawanan Belanda dianggap mencoreng tradisi Nikah Gantung yang sudah menjadi bagian dari budaya Muslim. Gerakan perlawanan ini juga mendapat dukungan dari pelbagai komunitas Muslim dari negara lain. Indonesia, Pakistan, hingga Arab Saudi.

Adeline lalu berangkat ke Singapura, ia mengajukan pembatalan nikah gantung Maria dengan Mansoor. Serangan selanjutnya juga ia layangkan kepada Che Aminah. Adeline mengakui jika ia tidak pernah setuju dengan proses adopsi tersebut. Alasannya, hanya dititip sementara.

Proses persidangan dilalui tanpa masalah yang berarti. Pengadilan Tinggi Singapura akhirnya membatalkan pernikahan Maria. Alasannya, Maria adalah orang Belanda. Berdasarkan hukum, ia baru boleh menikah setelah 16 tahun.

Bagaimana dengan Maria?

Ternyata Mansoor adalah cinta sejatinya. Dia tidak ingin lagi kembali ke keluarga aslinya. Maria memberontak ketika diambil paksa. Ia memeluk Mansoor dengan kuatnya, tidak mau terpisah. Saking eratnya, sehingga petugas pengadilan terpaksa harus membius Maria agar ia terlepas dari dekapan Mansoor.

Setelah mendengar keputusan hakim, massa di luar gedung pengadilan menjadi liar. Seorang polisi bernama Henry Verge menembakkan pistolnya. Dua orang Melayu terluka terkena timah panas.

Massa semakin menggila, seantero Singapura rusuh. Wajah bule menjadi sasaran. John W. Davies, seorang warga biasa. Ia diseret turun dari bis kota, dihakimi massa. Dua hari kemudian ia tewas di rumah sakit, meninggalkan istri dan dua anaknya.

Selama kerusuhan, tercatat 18 korban meninggal, 173 luka-luka, 119 kendaraan dirusak massa, dan 778 orang yang telibat kerusuhan ditangkap. Sasaran bukan hanya warga Inggris dan Belanda saja. Tiga orang Amerika yang naas juga terbunuh.

Siaran-siaran Radio mengumumkan pesan agar kerusuhan dapat dihentikan. Pemimpin-pemimpin Muslim tidak tinggal diam, dengan segala usaha menghimbau agar warga Muslim tidak terlibat kekerasan. Tapi, massa tetap beringas.

Kerusuhan baru bisa dikendalikan sehari kemudian, setelah jam malam diberlakukan. Tiga batalion tentara dari Malaya dikerahkan, termasuk pasukan elit Gurkha. Peristiwa ini juga dikenal dengan Maria Hertogh Riots, kerusuhan rasial pertama di Singapura.

Pada saat situasi mulai terkendali, Adeline secara diam-diam membawa Maria kembali ke Belanda. Di negeri leluhurnya itu, ribuan massa menyambut mereka berdua bak pahlawan.

Adrianus Hertogh menyambut Maria di depan pesawat, memeluk dan menciumnya penuh sayang. Warga Bergen op Zoom, kampung halaman Adrianus membawa spanduk "Selamat datang ke Roemah."

Untuk pertama kalinya Maria yang tidak bisa berbahasa Belanda menginjakkan kaki di tanah nenek moyangnya.

Publik Belanda dan dunia yang mengikuti perkembangan kasus Maria Hertogh, terpecah menjadi dua kubu. Tidak semuanya mengamini langkah yang ditempuh oleh Adrianus dan Adeline.

Termasuk seorang psikolog, Mary Wingate. Ia menulis di Harian Examiner Australia. Menurutnya, Maria akan mengalami masa-masa sulit di Belanda. Secara psikologi ia belum siap terkoneksi dengan keluarga kandungnya.

Menurut Wingate, setidaknya Adeline harus berterima kasih kepada Che Aminah atas jasanya membesarkan Maria. Tapi, Adeline justru mengambil langkah frontal. Menyakiti dan menghianati ibu angkat Maria tersebut.

Nyatanya Wingate benar. Maria merasa benar-benar terasing di negara yang bahasanya tidak dia pahami. Meskipun berwajah bule, tapi Maria selalu merasa bahwa ia adalah Muslim Melayu.

Sadar akan kondisi ini, Adrianus Hertogh lalu mengambil langkah ekstrim. Alih-alih memberi kebebasan kepada Maria, ia justru meminta bantuan perlindungan dari polisi. Adrianus takut Maria akan melarikan diri atau diculik orang suruhan Che Aminah.

Satu-satunya cara agar Adrianus bisa tenang, adalah dengan mengawinkan Maria. Johan Gerardardus Wolkenfeld pun terpilih menjadi suaminya. Di usia 18 tahun, Maria akhirnya menikah dengan pria pilihan ayahnya yang berusia 21 tahun.

Kehidupan Maria begitu menyedihkan. Dari anak bangsawan di Malaya menjadi babu di negeri sendiri. Maria harus membagi waktu untuk menjaga anak dan menjalankan usaha kafe dan bar suaminya. Dari malam hingga subuh. Ditambah lagi, Johan bukanlah pria panutan. Ia sering memaki dan mengasari Maria.

Selama pernikahannya dengan Johan, Maria tetap mengirim surat ke Che Aminah dan Mansoor. Sempat beberapa kali mereka mengatur agar Maria dapat kembali ke Malaya. Namun gagal karena masalah keuangan.

Dua puluh lima tahun kasus Maria telah berlalu, tapi peristiwa itu masih membekas di Belanda. Pada tahun 1975, sebuah stasiun televisi Belanda kembali mengangkatnya.

Maria diundang ke acara televisi "De Thid Stond Even Stil" Artinya Waktu Berhenti Sejenak. Di sana, Maria diperlihatkan rekaman mantan suaminya. Mansoor Adabi terlihat bahagia dengan istri dan anaknya di Singapura.

Dalam rekaman tersebut, Mansoor juga mengirim salam dari keluarga, dan mendoakan agar Maria berbahagia di Belanda. Maria terdiam, ia berusaha menahan tangis, melihat kekasihnya kini telah bahagia di Singapura.

Dalam wawancara lanjutan, Maria berkata jika ia tidak cemburu dengan istri Mansoor, tapi ia hanya menyesalkan mengapa sampai ia harus terengut dari tanah Melayu yang ia cintai.

Sejak peristiwa itu, Maria semakin hilang kendali. Setahun kemudian pada 1976, polisi Belanda menangkap Maria atas tuduhan percobaan pembunuhan kepada suaminya. Tapi, pengadilan membebaskannya setelah mengetahui perlakuan suaminya dan masa lalu Maria yang menyedihkan.

Setelah itu. Maria pun bercerai dengan Johan Gerardardus Wolkenfeld.

Pada tahun yang sama, 1976. Maria mendengarkan kabar menyedihkan. Che Aminah meninggal dunia. Sejak diboyong ke Belanda, Maria tidak pernah lagi bertemu ibu angkatnya itu.

Pada 1998, untuk pertama kalinya Maria kembali ke Malaysia, setelah 48 tahun. Di sana ia berjumpa dengan Kamariah, kakak angkatnya. Perjumpaan mengharukan itu terjadi tepat di Hari Raya Idul Fitri. Setahun kemudian Kamariah meninggal dunia. Ia menderita leukimia.

Sepuluh tahun menjelang, Maria Hertogh alias Nadra binte Ma'rof tutup usia. Meninggalkan sebuah kisah kelam yang mengharukan.

"Saya selalu menangis jika mengenangnya," ujar Rokayah Yusuf, salah satu anak Kamariah tentang Maria Hertogh.

Kisah mengharukan ini kemudian menjadi inspirasi dari novel Bumi Manisia, karya Pramoedya Ananta Toer.

Kasus Maria Hertogh menjadi sebuah pelajaran berarti. Ada kearifan lokal yang tidak dipahami oleh budaya berbeda. Dibutuhkan sikap arif bijaksana untuk menyikapinya. Toleransi harus menjadi yang terutama dibandingkan ego manusia.

**

Referensi: 1 2 3 

**

Acek Rudy for Kompasiana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun