Saya ingat dulu. Bapak dan ibu saya yang hanya seorang buruh tani mengandalkan tenaga untuk memetik hasil panen sawah tetangga dan saudara.
Sama sekali tidak punya warisan sawah dari kakek maupun nenek, yang bisa diteruskan sebagai ladang ekonomi keluarga menopang kehidupan yang lebih layak di desa.
"Anak terlahir miskin tetap akan berpengaruh pada kemiskinan generasinya. Buktinya kakek dan nenak saya yang juga tak punya sawah sebagai ladang ekonomi. Sampai pada nasib saya juga tidak lebih baik ekonominya, yang mana punya sawah berarti ada ladang ekonomi disana guna memperbaiki nasib".
Disisi lain jika musim tanam tiba. Saya ingat bagaimana bapak dan ibu saya juga menjadi buruh tandur atau tanam. Saya ingat dulu ketika ibu dapat bekal dari pemilik sawah ketika tanam padi di sawah.
Ibu saya selalu membawa pulang bakal itu. Bayangkan, bekal telur rebus satu dari pemilik sawah jatah makan ibu di bagi berempat. Kebetulan, kami sekelurga ada empat anak termasuk saya.
Seperti itu bagi saya dulu adalah hal biasa saja, yang tak paham itu bentuk dari kemiskinan yang sebenarnya itulah kekurangan. Makan telur bersama satu di bagi empat.
Ketika saya kecil dulu makan daging dan telur sangatlah jarang. Paling banter makan mewah jika ada tetangga sedang kendurenan atau "selamatan".
**
Titik kesadaran saya akan kemiskinan keluarga adalah ketika orang tua saya tak mampu menyekolahkan saya ke jenjang berikutnya yakni SMA. Dan saya harus turut bekerja memenuhi kebutuhan hidup saya sendiri.
Anak-anak dari keluarga saya yang perempuan sudah dipinang orang. Mereka ada dua, sudara saya yang perempuan anak pertama dan kedua. Pada saat itu mereka sudah berkeluarga ketika saya lulus SMP.
Pertimbangan bapak saya dulu. Anak-anak yang menikah mampu mengurangi beban keluargnya. Namun kenyataannya memang tak semudah itu, semua butuh proses.