Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Hubungan Orde Baru dan Gatot Nurmantyo

5 Oktober 2020   11:47 Diperbarui: 12 Oktober 2020   15:46 604
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: teras.id

Soeharto sendiri sama seperti Soekarno yang memiliki basis simpatisan dari masa lalu. Maka kini diantara keduannya sedang digodog dalam membuat regenerasi simpatisan itu oleh elite politik.

Saya kira mengapa di satu sisi ada elite-elite politik yang ngotot propaganda orde baru melalui film G30S/PKI, yang menjadi ciri dari heroiknya orde baru itu terus ditonjolkan tentu adalah kepentingan politik meninggikan kembali orde baru.

Bukankah tetap ada maksud untuk memperkenalkan orde baru dalam kebesaran sejarah politik yang ada di Indonesia kepada generasi penerus bangsa supaya terus tumbuh simpatisan baru?

Begitu pula dengan yang kontra orde baru yakni orde lama. Ada motif dalam pelurusan-pelurusan sejarah masa lalu yang menurut mereka "pro orde lama" benar sebagai pelajaran sejarah bangsa Indonesia.

Dalam hal ini bahwa yang bersalah dalam peristiwa G30S, dimana konflik tersebut akar dari perseteruan politik sesama anak bangsa adalah pemerintahan orde baru yang harus bertanggung jawab dalam pecahnya peristiwa tragedi kemanusiaan G30S.

Saat ini dimana elite politik sebagai generasi pertama sejak peristiwa G30S, tentu masih sangat terasa konfliknya sehingga masing-masing kubu mengkekehkan untuk mengakui bahwa diri masing-masing kelompok yang benar dalam tragedy kemanusiaan G30S.

Maka upaya Negara untuk saling memaafkan "rekonsiliasi" dalam tragedi G30S mengalami titik sulit. Dimana symposium 65 yang digelar 2016 lalu oleh pemerintah Jokowi melibatkan korban G30S yakni keluarga korban simpatisan dan anggota PKI, serta akademisi mengulik kembali peristiwa G30S untuk meluruskan sejarah mengalami pembahasan yang buntu.

Disisi lain juga ada tandingan symposium 65 yang digelar oleh kubu pro orde baru, dimana kalangan ormas islam dan purnawiran TNI saat itu juga melakukan tandingan symposium 65 dengan argument kelompok tersebut yang benar, kelompok symposium sebelah salah.

Bukankah dengan segala pertentangan tersebut masing-masing kubu tidak mau untuk sama-sama mengakui kesalahan dan rekonsiliasi untuk kemajuan kemanusiaan bangsa Indonesia kedepan?

Inilah yang saya sebut bagaimana generasi pertama dari orde lama dan orde baru saat ini begitu kental mewarnai percaturan elite politik yang ada di Indonesia dalam gerakan politiknya yang mambuat satu sama lain sebagai lawan ideologis.

Tentu dalam berpolitiknya masing-masing ingin mempertahankan konflik-konflik kepentingan mereka termasuk dalam kepentingan ekonomi, kekuasaan, serta kepentingan dosa-dosa masa lalu generasi diatas mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun