Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Jerinx dan Borgol Penjara Melebihi Koruptor: Mengapa Penjual Uang 75 ribu Lolos UU ITE?

19 Agustus 2020   12:13 Diperbarui: 19 Agustus 2020   15:54 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: facebook.com/dandhy.laksono

Dalam bayang pagi bersimpuh lirih suara hati. Bayang-bayang angan ini selalu saja menjadi lusuh bagai Burung Bangau disana yang sedang mengais Ikan ditepian kali. Tetapi lagi-laki aku harus menyadari mataku pagi ini telah memerah akibat terlalu lama memandangi smart phoneku yang lusuh itu membaca berbagai berita yang ada di media.

Memang dalam bidang kepenulisan. Aku harus mengambil jarak pada apa yang dinamakan umum. Gaya-gaya penulis-penulis seperti editor seperti telah mengendap jauh dalam khayalanku. Bidangku adalah menulis "sastra" dimana aku bebas berexpresi sesuai dengan passionku ini. Merangkai segenap kata kebebasan yang terkadang metafora didalammnya sebagai suara dalam seni yang indah dan mengaburkan pembaca.

Keheningan pagi membawa aku pada setiap bayang-bayang, siapakah pendosa--- siapakah pahlawan dalam kebajikan itu sejauh media social memandang segenap dunia baru ini? Pagi yang telah hancur dalam hidupku. Tidak lebih aku setiap pagi hanya memandangi media sosialku yang membingungkan itu. Kumpulan berbagai fenomena ganjil mutkahir dari masyrakat, bangsa, dan Negara.

Negaraku "Indonesia" yang berulang tahun ke-75 tahun sama seperti diriku yang lahir dan tumbuh sebagai sebuah pro kontra menjadi manusia. Tentu sebagai diri--- aku tidak menganggap ini sebagai interpretasi pribadi. Tetapi bayang-bayang dari seorang manusia, yang terkadang dalam eksistensinya sendiri sangat kontradiktif.

Keriuhan media social terkadang aku memandangnya seperti mereka-mereka yang gila akan pengakuan. Mengapa dalam bayang ini, selalu saja apa yang dianggap ada, selalu saja "ada" pada sikap kita "manusia" dalam menyuarakan sesuatu ; entah itu di media social kita?

Namun dalam bayang-bayang menyuarakan sesuatu: mereka, kita, dan juga Anda, tidak ada yang benar-benar bebas berbicara seperti di pos ronda depan rumahku. Hujatan pada sesuatu yang salah adalah hal biasa. Bahkan kebenaran pun dapat saja terhujat bahwa; semua juga ingin berbicara untuk diakui benar atau salah dirinya untuk dianggap ada.

Seperti yang akhir-akhir ini ramai dimedia social itu tempat orang-orang yang sempit memandang hidup. Mengapa sempit? Seharusnya media social bukanlah sesuatu yang perlu diperdebatkan banyak orang apalagi ranah hukum terkecuali merugikan harta benda atau nyawa seseorang dalam berpendapat. Sebab dalam wacana berpikir dan berinteraksi orang-orang pengguna media sosial hanyalah bersosial dengan dirinya sendiri.

Orang-orang yang berbicara di media social nyatanya adalah tentang hal-hal apa yang sedang dialaminya sendiri. Itulah terkadang dengan ketidak puasan diri selalu saja menjadi daya-daya suara yang harus didengar semua orang untuk ada. Tidak peduli seberapa keras atau lembeknya, tetapi semua manusia mencari eksistensi untuk diakui bawasannya dirinya ada saat memulai sebuah opini.

Tentang apa yang dilakukan sebagai opini oleh Jerinx drummer  Superman Is Dead (SID) itu bersuara lantang dimedia sosialnya. Bawasanya IDI (Ikatan Dokter Indoensia) adalah kacung WHO oraganiasi kesehatan dunia adalah kebenaran penafsiranya.

Tentu apa yang ingin Jerinx sampaikan itu sebagai sebuah "keyaakinan" adalah bentuk ketidak puasan diri terhadap apa yang sedang melanda dirinya sendiri. Serta anggapan bawasanya opini public yang sama harus ditampung melawan--- apa-apa bentuk yang mungkin tidak nyata "fiktif" seperti virus corona yang janggal sebagai sebuah pandemic menurutnya.

Terkesan hanya akal-akalan dari sebuah teori konspirasi elite-elite dunia mengancurkan ekonomi di satu sisi--- menguntungkan ekonomi disisi lain. Tetapi apakah dari sebuah media social itu dapat dipandang sebagai sebuah kebenaran hukum? Jikalau hanya apa yang disampaikan adalah suara pribadi yang tidak boleh dikekang itu--- sebagai sebuah kebebasan dalam mengemukakan pendapat tumpuan utama demokrasi?

Inilah yang terkadang rancu dalam hukum di Indonesia. Karena apa-apa yang ada di media sosial adalah bentuk ketidakpuasan dalam satu sisi dan sisi lainnya, yang sebenarnya tidak perlu digarap serius sebagai sesuatu kejahatan yang masyur dan dibesar-besarkan baik oleh media social maupun konvensional.

Tentu antara yang mentang-mentang dalam hal ini adalah IDI serta Jerinx itu sendiri sebagai pihak yang "bersuara" seperti berdrama mengajukan pendapat kepada public untuk menereka-nerka pada media, bawasanya diri mereka itu ada seakan mencari perdebatan public siapa yang benar.

"IDI menyangkal bahwa; virus corona benar-benar bukan konspirasi, banyak dokter yang gugur akibat dari virus covid-19". Tetapi media konvensional sendiri aku sangka telah memberikan kekhawatiran yang ketakutan yang luar biasa selama virus corona sendiri ada dan masuk di Indonesia".

Seperti itulah media yang dibalas media dan pemenangnya adalah media, baik konvensional maupun media social dalam balutan kepentingan diri mereka sendiri. Karena pada akhirnya terlepas dari berbagai kontroversi konspirasi alasan Jerinx, IDI pun serasa menjadi pahlawan tanpa tanda jasa dalam menangani virus corona yang semakin kesini--- dengan berbagai dampak yang dirasakan serta kejengahan masyarakat--- orang-orang sudah semakin muak dibuatnya.

Memang dalam berbagai laman-laman media saat ini tidak di media social ataupun dimedia konvensional adalah bermuka sama. Orang-orang didalamnya ingin menunjukan arogansi dirinya bahwa; hukum adalah upaya untuk menebus diri mereka itu "ada".

"Tanpa mereka sendiri sadar bahwa media social dan konvensional adalah media dengan kadar "brengsek", yang digunakan orang-orang menghibur dirinya sendiri pada ketidakpuasan apa-apa yang sedang dialaminya".

Begitupun media konvensional yang berdiri akibat dari umpan baliknya sebuah modal dan keuntungan. Ini adalah permainan dunia yang cantik segala jenis kepentingan ekonomi, entah itu virus corona, media social dan konvensional, IDI serta Jerinx.

Tetapi terbaru dan mencengangkan seharusnya Negara lewat berbagai politikus bengalnya haus citra, juga harus melaporkan pakaian adat yang ada di dalam gambar uang 75ribu rupiah---  sebagai peringatan kemerdekaan Negara ke-75 itu milik China dan Arab adalah penistaan besar.

Atau dengan seseorang di beberapa toko-toko online manjual belikan uang 75ribu baru itu untuk kepentingan pribadi. Seharusnya hukum juga membicarakan itu sebagai langkah penegakan hukum UU ITE, bukan hanya Jerinx dan IDI dan berbagai kasus-kasuh media lainnya berpendapat yang tidak pas sebagai konsumsi publik.

Aku sendiri kadang seperti tercengang. Koruptor dengan santainya tidak diborgol dalam penangkapannya, yang sudah banyak sekali merugikan uang Negara--- sudah jelas sangat melanggar hukum. Kasus hukum ITE seperti Jerinx diborgol dengan bengisnya membuat pertanyakan, apakah akan ada keadilan dari penegak hukum Negara dalam menangani sebuah kasus?

Dalam bayang-bayang bukan balutan orang yang berkuasa, yang saat ini dengan aktifnya bermedia social dan menyurakan pendapatnya di berbagai akun-akun media sosialnya. Apakah suatu saat dalam ungkapan ketidak puasan juga akan terjerat hukum yang sama?  

Seperti angin berdesir lirih nan syahdu siang ini dimusim kemarau yang rancu masih hujan. Kita yang waktunya kini dihabisakan di media social adalah bayang-bayang dari manusia pendosa akan seperti Jerinx dan orang-orang lainnya yang terjerat hukum UU ITE suatu saat nanti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun