Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Hebert Marcuse, Dimensi Logika Kerja

13 Juni 2019   18:00 Diperbarui: 14 Juni 2019   10:15 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi, dokpri; Buku Manusia Satu dimensi karya Hebert Marcuse

"Ketenangan yang kini hadir, mengapa terkadang terusik oleh logika formal satu dimensi itu? Seakan kehidupan modern hanya di pandang satu dimensi prespektif saja yang baku. Siklus itu-itu saja. Trend kerja, menikah, punya anak; produksi dan Konsumsi seperti takdir kehidupan".

Kisah yang lalu, logika menyelami kerja yang tidak sampai. Kepatutan dan kepatuhan menjadi alasan bahwa: bekerja sama halnya membanting tulang. Menyuapi dan memberi kepada yang lebih besar pengahasilannya dalam kerja sama ruang perusahaan "User", dari pada yang lelah membanting tulang itu sebagai "kuli". 

Atas nama status mereka user perusahaan bergeming, layak marah, memerintah, dan kuli harus mau, tidak boleh berkata tidak, bahkan membantah. Tetapi ini hanya perkara keputusan itu, yang lemah memang harus menepi, biarlah mereka kini kuat yang, akhirnya akan butuh orang lain juga pada akhirnya.

"Orang yang tidak pernah menghargai orang lain, suatu saat akan merasa bahwa; "dia selalu akan butuh orang lain", meskipun seberapa pun jelek orang lain itu". 

Memang betul, pertimabangan utamanya sebenarnya keleluasaan waktu sebagai kuli itu sendiri. Seperti kutipan dalam Buku Karya Hebert Marcuse itu. "Kemerdekaan dari kerja lebih disukai dari pada bekerja membanting tulang, dan suatu kehidupan cerdas lebih disukai dari kehidupan bodoh".

Mendapat komplen dari atasan sebagai kuli memang wajar, itu biasa dalam dunia kerja mutakhir yang semakin menutut atas nama kerja sama dan uang. Ketika atasan terancam dengan performa kerja bawahan dalam perusahaan jelas, ada upaya penekanan-penekanan itu, untuk memperbaiki performa kerja tanpa ada naik dan turun.

Tentu adalah langkah mengamankan namanya bagi seorang menjabat "User" perusahaan. Jika kuli dalam kerja perusahaan tidak sesuai harapan, nama Userlah yang di pertaruhkan akan setiap hasilnya yakni keburukan. Jika kuli performannya baik dan dapat pengharagaan, bukan kuli yang dapat, tetapi User dalam setiap langkah kerjanya yang bagus lalu di hargai perusahaannya.

Jika setiap upaya kerja keras banting tulang, berujung pada komplen yang tidak berkesudahan memang tidak perlu ambil pusing. Kuli dalam hal ini punya dan berhak langsung pengajuan keluar dari perusahaan dan lari dari ketidak bebasan atas nama kerja yang mengekang.

Ibarat kata kuli sudah bekerja banting tulang, siang malam, dan user itu mengetahui. Tetapi ketika ia mempergunakan waktunya sedikit dan ingin menikmati bebas, ia di komplen bak kuli yang harus patuh dimanapun, kapanpun dan dalam kondisi apapun.

Pertanyaan yang tersisia kini seberapakah gaji kuli yang terus di porsir tenanganya itu? Apakah sepadan dengan apa yang mereka lalukan, dalam arti sumbangsingnya terhadap perusahaan? Maksimalnya atas penggajian UMR (upah minimum regional) yang dibayarkan membuat berbagi ketimpangan itu. Apakah kita akan stagnan tanpa upaya mencari tempat yang lebih baik, walaupun kini kebanyakan kerja juga gaji UMR?

Kondisi terbalik antara gaji dan pengeluaran yang besar dalam kota pun tidak membuat kesadaran akan performa kerja yang termotivasi karena gaji. Rata-rata elit-elit perusahaan yang menikmati itu. Tetapi tidak pernah merasa terbantu akan pernanan kuli yang, nyatanya tidak terlihat dari upaya memperjuangkan gaji mereka supaya dapat lebih dan menikmati hidup layak sebagai kuli oleh elit perusahaan.

Oleh sebab itu, kuli perusahaan pun harus mencari apa yang dapat menjadi potensi penghasilan lebih dari apa yang diperbuat dirinya "jika masih kuli". Meskipun dalam perusahaan sendiri, tidak di kenankan mencari pengahqsilan dari luar yang menganggu performa kerja. Tetapi inilah ketidak bebasan itu, ia "perusahaan" tidak dapat mencukupi kebutuhan tetapi lantang me-represi kulinya.

Waktu yang banyak di tumpahkan untuk loyalitas dirinya "kuli" terhadap perusahaan nyatanya tetap tidak mengubah dirinya sendiri. Gaji yang terkadang stagnan tanpa tunjangan lain-lain membuat harus berpikir dua kali jika harus terus mengabdi tanpa perbaikan nasib yang pasti. Atau jika tidak, ia harus mencari penghasilan pinggiran yang membuatnya ada penghasilan lain untuk menopang kebutuhan yang lain di luar gajinya sebagai kuli itu sendiri.

Banyaknya kebutuhan yang harus kita akses kini untuk kemakmuran membuat, "kuli pun harus memutar otak". Waktu kerja yang sepadan tanpa direpresi secara lebih dapat membantu meningkatkan kualitas taraf hidup, asal mampu mengopimalkan potensi ekonomi yang lain, meskipun hanya sebatas kuli yang gajinya kurang mencukupi. 

"Suatu kehidupan yang sebisa mungkin terbebas dari kerja membanting tulang, kebergantungan dan kejelekan rupa. Mengejar kehidupan macam itu adalah mengejar "kehidupan yang terbaik": hidup sesuai dengan esensi alam dan manusia. ~Pesan Habert Marcuse melalui buku "One Dimensional Man~

Produksi konten kreatif "menulis" sebagai jawaban itu

ilustrasi; dokpri, Masyarakat Tekonologi
ilustrasi; dokpri, Masyarakat Tekonologi

Di lain tempat orang-orang mengejar apa yang mereka bisa. Tidak lebih adalah mengubah proses kreatif mereka menjadi karya agar laku setidaknya mendapat rupiah menopang kebutuhan hidupnya dari sponsor.

Berkarya dan di hargai bukanlah hal yang tabu lagi dalam masyarakat teknologi. Karya memang spantasnya di hargai, bukan karena ia mematok harga pada dirinya sendiri, tetapi karena semua yang tengah di kapitalisasi dan hidup memerlukan kapital-kapital itu dalam bentuk modal menopang kebutuhan hidup.

Setiap pribadi merupakan potensialitas modal (uang) itu. Baik konsumsi dan produksi membutuhkan biaya. Manusia pun harus membiyayai dirinya sendiri dengan upaya produksinya, baik melalui tenaga sebagai jasa yang dibayar (pekerja konvensional) atau dengan kehidupan cerdas yang di fasilitasi oleh masyarakat teknologi itu sendiri (pekerja kreatif).

Tetapi dalam prakteknya, faktor keseimbangan dalam mengarungi dua profesi sekaligus akan sangat perlu. Keduanya, antara kerja konvensional dan kreatif harus jalan bersama. Tidak menjadi masalah jika kerja konvensional telah membuatmu sejahtera dan manusia fokus dengan itu. Begitupun dengan ketika pekerja kreatif sudah menjawab impianmu, dan kau sejahtera disana. Jadi tidak perlu kerja konvensional itu!

Tetapi untuk masih dalam tahap mencari salah satunya yang dapat menjadi sejahtera baik dari kerja konvensional atau kreatif. Haruslah mencari kerja yang banyak waktu luang, dan proses kreatif yang mudah seperti "menulis" yang bisa dilakuakn dimana saja dan kapan saja.

Menulis yang kelihatan menjadi konten yang menarik kini juga beberapa kali di tulis oleh penulis-penulis itu sendiri. "Dari kehilangan jutaan rupiah jika tidak menulis, atau tidak bisa menulis dan lain sebagainya yang terkait dengan dunia kepenulisan itu".

Kuli yang sedang menulis untuk menopang upaya tambahan pendapatan kebutuhan hidup, memang harus mengoptimalkan waktunya. Disamping juga harus melihat situasi bagaimana kerja sebagai kuli itu masih banyak waktu. Tanpa represi kerja konvensional yang berlebih, dan masih sempatnya waktu untuk kreatif haruslah di pertahankan kerja seperti itu. Itulah faktor kerja kuli terbaik, masih dapat berkreatif mendapat pendapatan pinggiran dari sana.

"Di balik harus berjalannya logika dari setiap dimensi kerja membuat kesalahan dari setiap fokus menulis, kejar reward, tetapi dikomplen kerja konvensioanal yang sedang dijalani, ya sudah! Tetapi ada hikmahnya juga dapat reward ber-kreatif, lumayan menopang kebutuhan hidup dari proses kratif "menulis" penganti kerja gaji sebagai kuli di wilayah konvensional". Dan kerja konvensional yang masih harus di laukukan jika "kebuntuan dari menulis itu datang tanpa reward"

"Bukan besar atau kecilnya  nilai sebenarnya, dengan ini manusia dapat suntikan moral setidaknya punya perspektif lain dari "menjemput rejeki", disamping kerja konvensional yang semakin banyak kuli yang di banting tulangnya. Diluar itu, "menulis untuk manusia kreatif sembari banting tulang di wilayah konvensioanl juga penting. Saya kira dapat menjadi terapi mental dan hiburan yang murah, karena banyak hiburan melupakan beban kerja yang mahal biayaya-nya saat ini".

Di sini, diwilayah kerja, kuli kerja konvensioanal pun hasilnya tidak seberapa, "bukan menolak rezeki". Untuk membayar kebutuhan hidup sehari-hari saja hanya cukup, apa lagi ditambah kebutuhan kesenangan dari hasil kerja sebagai kuli, jelas masih sangat jauh dan timpang.

Jadi untuk kepentingan apa lagi, saya bertahan dengan satu pola bukti kerja kuli konvensional yang kurang mencukupi? Dan menjadi manusia pekerja kreatif yang dibayar hanya lumayan dari pada tanpa tidakaan yang menjadi nilai pendapatan? Memang tidak dapat ditawar, di dalam hidup dengan corak satu dimensi ini, membuat kita harus memutar logika untuk menambah dimensi-dimensi lain dari pengejaran suatu produksi dan konsumsi.

Mumpung manusia masih muda dalam memandang zaman, "manusia juga tidak menjadi statis". Eksplorasi diri bagi manusia hidup dalam masyarakat teknologi itu sangat penting. "Menulis (bekerja kreatif) sampingan bagi manusia kini sudah menjadi pola hidup baru. Ketika pola hidup baru itu terancam, harus mencari pola lain agar tidak saling mengancam. Membuat sintesime antara menjadi kuli konvensional dan pekerja kreatif tanggung, dengan alasan  menjadi juru menyelamatkan ekonomi manusia modern sangat patut dilakukan satu dimensi hidup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun