Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Mengimbangi Fiksi Positivistik dengan Karya Realis

10 Februari 2019   11:03 Diperbarui: 23 Februari 2019   13:38 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar : sinarharapan.net

Seperti suara yang nyaris tidak terdengar. Tetapi suara itu menjadi tanda tanya, apakah itu dari dalam diri sendiri atau dari mata ketika melihat diri yang lain? Terperangah, rasanya seperti hidup ada suatu misi yang harus ditanggung pada akhirnya oleh manusia. Dan kenyataan seperti bertolak belakang dari imaji akan misi-misi tersebut.

Setiap saat adanya seperti berharap, kapan aku menemukan diriku yang sulit terpahami saat ini? Alam pikiran yang tergoncang, saya bak ingin seperti bintang yang dikelilingi para awan-awan jalang dilautan kehidupan. Sukma yang hancur berkeping-keping dengan kerasnya. Juga tentang lilitan yang terkadung dari dalam hati seperti melilit tajam menyakitkan. Ini seperti tanpa ampun, asin seperti garam dipinggir lautan.

Apakah ini menjadi selsai ketika keputusan masih dalam bayang-banyang? Bahkan saya adalah seorang pengecut yang tidak berani keluar dari dalam suatu pikiran yang menuntut. Saya coba menarik nafas yang panjang, bagaimana jika nafas ini putus pada akhirnya? Seperti prahu-prahu yang terlempar dari sungai-sungai yang banjir. Perahu akan ikut arus tanpa patokan yang kuat lalu perahu itu terasing di tempat-tempat baru yang bukan menjadi tempat pijakan biasanya diri.

Rasanya ada yang ganjil dari semseta hidup muktahir. Mengapa yang baik adalah mereka yang percaya pada positif-isme? Tentang bagaimana orang yang seharusnya hidup bukan pada tempatnya? Mereka ditutut memperakarsai fiksi-fiksi yang positif. Dengan delik untuk mempengaruhi bahkan mencampurakan imjainasi-imajinasinya yang palsu itu untuk menjadi isme-isme baru dalam kalangan putus asa. 

Padahal propaganda-propaganda mereka hanyalah kebohongan yang ter-arsip dengan baik. Perjuangan mereka tidak ada yang utuh, karna itu mereka mengutuhkan pada novel-novel positif. Atau pada film-film yang membangkitkan alam imajinasinya untuk percaya akan ada kisah yang sama dari setiap sudut masa depannya. Tetapi itu hanyalah bualan yang cantik pada kehidupan itu sendiri, pada imajinasinya, bukan realitasnya.

Tentang berbagai macam sastra muktahir, seakan ungkapan ke-putus-asa-an bukan suatu bentuk indah dari karya sastra. Seharusnya sastra itu mendobrak segalanya. Bahkan mendobrak karya-karya pilihan yang dicintai karna narasi-narasi imajinasi seolah fiksi padahal fiktif. Mengapa fiktif? Karna ada upaya ketidakadilan dari keterimbangan penilaian. dimana suara dari keputusasaan berarti suara setan yang mencekam dan patut untuk ditikam bahkan kalau bisa dimatikan.

Padahal dari banyak karya positif justru mengundang ke-frustasi-an itu sendiri. Tentang cerita seorang anak yang menginginkan terang setelah menonton film laskar pelangi misalnya. Dalam pikiran fiksionalnya ia berharap pada kecerdasaannya. Dengan catatan ketika ia menjadi cerdas. 

Tetapi bagaimana dengan seseorang yang kurang kecerdasannya? Bukankah menjadi terpatri karna fiksi positif itu sendiri? Mereka tidak mampu mengoptimalkan sesuatu yang lain, selain eksploitasi intelektual seperti tertera pada film laskar pelangi?

 

Namun kecerdasan yang diolah dalam fiksi tentu berbeda dengan realitasnya. Jelas tidak gampang dalam membuat realitas anak itu sesuai narasi laskar pelangi dalam tanda kuitip "ketika anak itu kecerdasaannya mempuni". 

Bahkan untuk memaksimalkan potensi anak itu sendiri sudah susah entah dari mana potensi latar belakang anak itu. Dengan meledaknya penduduk dunia yang kian bertambah peta persaingan sebagai manusia semakin berat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun