Mohon tunggu...
Klub Menulis HPIM
Klub Menulis HPIM Mohon Tunggu... Akuntan - OBOR

Akun Resmi Klub menulis Himpunan Pelajar Indonesia Ma'had di Mesir.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Seindah Teratai

20 September 2021   00:13 Diperbarui: 20 September 2021   00:28 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Sumber :etsy.com via Pinterest 

“Untuk apa kau perlu tahu? Lupakan saja, kalau saja kau tak menyembunyikannya, semua takkan menjadi serumit ini lagi,” jawabmu sinis dan akhirnya benar-benar pergi meninggalkanku sendiri. Membiarkan diriku terpaku dan menangis sendirian di tengah taman yang sunyi ini.

*****

Di bangsal itu, seorang wanita tua terbaring lemah dengan beberapa alat yang terpasang di tubuhnya, nafasnya berirama rendah mengalun mengikuti ritme monitor yang berada di sampingnya, tetesan infus tetap mengalir memasuki pembuluh darah di tangannya yang sudah berkeriput. “Ibu..” Seorang gadis menatapi wajah wanita tua itu dari samping ranjangnya, sambil menggenggam telapak tangan wanita tua tadi, ya gadis itu aku.

Na mirae, Ibu lah yang memberikan nama itu untukku. Meski waktu itu aku bukan lagi bayi baru yang harus diberi nama. Kau mungkin sudah dengar kalau aku bukan kakak kandungmu, tapi sungguh menyenangkan pernah memiliki ibu yang perhatian seperti ibumu.

Kata Ibu, namaku memiliki banyak makna dari segi berbeda. Pertama mengikuti bahasa Arab 'nameerah' yang artinya harimau, katanya harimau itu melambangkan keberanian, ambisius, dan suka mendengarkan nasihat orang, tapi, itu semua omong kosong belaka. Nyatanya, itu semua justru berbanding terbalik dengan sifatku.

Yang kedua, dari bahasa Jepang 'mirai', maknanya masa depan, hari depan, atau masa yang akan datang. Yang terakhir 'mirae' dari bahasa Korea yang artinya indah. Aku ingat di hari pertama ibu mendatangiku dengan senyum hangatnya lalu memeluk tubuhku dan langsung membelikan dress cantik untukku. Senyum hangatnya yang khas bagai sinar matahari pagi merekah seperti bunga yang baru mekar dari kuncupnya. Aku tak pernah melupakan hari spesial itu, dimana ibu datang dan menjadi orang terspesial dalam hidupku, bahkan meskipun akhirnya beliau melahirkanmu, beliau tak pernah membuang dan melupakanku, justru kita semakin berbagi kebahagiaan.

Kau salah jika kau pikir ibu sangat menyayangiku. Ibu tidak menyayangiku sepertimu, tapi kupikir itu adil, karena kau anak kandung satu-satunya. Lalu setelah ayah meninggal, masa sulit datang, dengan mudah semuanya berubah dalam beberapa tahun terakhir.

Aku memandang ke arah foto yang diletakkan di atas kabinet. Kulihat senyum lepas yang terlukis di bibir kami di foto itu, aku ingat jelas hari itu, pertama kalinya kami pergi ke taman bermain dekat pantai. Saat itu masih ada ayah, umurmu masih 4 tahun dan aku sudah masuk SD. Di foto itu, aku menggenggam tanganmu, potret terindah yang masih kusimpan jelas dalam ingatanku.

Aku rindu masa-masa itu, saat kita menghabiskan waktu bersama, saling berbagi cerita, bercanda dan tertawa. Lalu tiba-tiba ayah sakit keras, ibu banting setir berjualan berbagai hal untuk membayar pengobatan ayah dan menopang ekonomi keluarga, tapi itu tidak cukup. Akhirnya aku harus merelakan masa kuliahku untuk bekerja paruh waktu membantu ibu selagi kau sekolah di luar kota.

Dan tak lama, Ayah pergi, aku tak tahu harus bagaimana mengatakannya padamu. Ibu juga mulai sakit-sakitan karena syok dan kelelahan. Aku bingung, tapi aku tak ingin membiarkanmu dalam kesulitan, aku tak ingin mengganggu belajarmu karena waktu itu kau bilang harus memenangkan olimpiade itu, kau bilang ingin memenangkan beasiswa full untuk kuliah di luar negeri. Kau sangat bersemangat dan aku sangat bersyukur juga berharap kau berhasil mendapatkannya. Aku ingin kau kuliah. Apapun yang telah kulakukan, jangan pernah merasa bersalah dan menyesal, karena ini keputusanku dan akulah yang menentukannya.

Sesaat setelah merenung seperti itu, monitor yang ada di samping ibu tiba-tiba menjadi berisik, aku ketakutan dan langsung berteriak memanggil dokter. Kata dokter, seseorang harus segera mendonorkan hati untuk ibu. Hatiku hancur, bagaimana cara menyelamatkan ibu?. Sudah lumayan lama ibu memang harus segera transplantasi hati tapi tak ada pendonor sama sekali, dan aku pun pasti takkan mampu membayar tagihannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun