Mohon tunggu...
Klub Menulis HPIM
Klub Menulis HPIM Mohon Tunggu... Akuntan - OBOR

Akun Resmi Klub menulis Himpunan Pelajar Indonesia Ma'had di Mesir.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Seindah Teratai

20 September 2021   00:13 Diperbarui: 20 September 2021   00:28 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Sumber :etsy.com via Pinterest 

Oleh: Hudiya Khoirun Niswah

Sore itu kita masih berjalan bersama di atas pasir pantai dengan ombak yang sesekali menyapu pasir yang menempel di kaki, menikmati senja yang kian meredup sambil menghirup aroma khas laut. Suasananya hampir sama seperti dulu kita bermain di pantai itu, membiarkan teratai mengapung di sela bebatuan karang, bertanya-tanya apakah ia bisa hidup dengan air laut? Sekarang teratai itu sudah besar dan meluas, menjadi primadona pantai ini. Sama seperti kita yang juga kian tumbuh dewasa.

Dan setelah sore itu, esok paginya kau meminta padaku untuk bertemu di sebuah bangku taman. Saat itu aku sudah bersiap untuk mengomelimu karena berbuat seenaknya dengan menghilang dan minta datang tiba-tiba, itu membuatku nyaris mati takut-takut kau pergi jauh.

Tapi kau justru datang seperti orang lain, kau bukan seperti orang yang sama. Aku mengernyitkan dahi dan tak bisa menahan air mata, perasaan marah, kaget, sedih, khawatir bercampur memenuhi hati ini. Wajahmu menoleh menghadapku, tatapanmu terasa kosong dan hampa tapi juga sedih, sedih yang begitu mendalam. Rambutmu acak-acakan, beberapa memar pun terlihat nyata di wajahmu, terutama luka di ujung bibirmu. Penampilanmu sekarang seolah mengatakan “apa yang harus kulakukan?”. Meski sejujurnya aku tak tahu masalah apa yang menderamu, tapi wajahmu terlihat sangat lesu dan kesakitan. Kau langsung bangkit dengan langkah patah-patah menuju tempatku berdiri dan langsung langsung mendekap.

“Kakak.. kakak.. maafkan aku,” begitu katamu. Aku bertambah syok dan juga bingung. “Kenapa? Kenapa kau minta maaf? Jelaskan padaku! Apa yang terjadi?” Tapi kau malah diam dan menangis dipelukanku, aku berusaha melepaskan pelukan kita dan mencoba bertanya pelan-pelan, “kau kenapa? Darimana kau semalam?”

Buru-buru kau menghapus air mata dan tiba-tiba raut wajahmu berubah total, sorot matamu tajam menyekat tenggorokanku dan mulai berteriak padaku, “tidak, untuk apa aku minta maaf? Semua ini salah kakak! apa yang kakak coba sembunyikan dariku?! kenapa Kakak tega sekali tidak memberitahukan hal penting semacam itu padaku?! Kakak bohong! Selama ini kau membohongiku! Kau penipu!”

Diriku terpaku, seketika sekujur tubuhku berkeringat dingin, aku sungguh berharap kamu bukan memaki diriku atas kejadian saat itu, tapi ternyata aku salah. Seketika kau menarik kerah bajuku dan berteriak, “Dimana ibu?! Katakan dimana ibuku?!! Dia ibu kandungku! Kenapa kau menyembunyikan hal ini dengan mudah?! Padahal aku... akulah anak kandungnya...” katamu sambil menunjuk ke arah dirimu sendiri. “bukan dirimu..” lanjutmu sambil meneteskan air mata, menatap tajam mataku, lalu melepaskan cengkraman di kerahku. Lalu berbalik membelakangiku.

Air mataku tumpah ruah, aku tidak ingin kamu meninggalkanku sendiri, aku benci, benci sekali. Sebelum kau pergi, kucoba untuk menahanmu dan menjelaskan apa yang telah terjadi, “Maafkan aku, maafkan aku telah menyembunyikan hal itu bertahun-tahun lamanya, tapi itu adalah permintaan ibu.”

kau berhenti dan berbalik kembali menghadap sinis diriku lagi. “Itu permintaan ibu? Baiklah aku paham, tapi apa kau paham bagaimana sesaknya selama bertahun-tahun itu? Kau mengatakan padaku bahwa semua baik-baik saja!, ibu sedang bekerja di luar negeri. Kau berusaha menenangkanku dan membiarkanku tersenyum gila padahal ibu sedang sekarat? Kau berkata kalau ibu sedang sibuk jika aku merengek minta ditelepon. Kau egois, kau sangat egois!” Kau melemparkan tatapan benci padaku, lalu pergi menjauh dariku.

Sebelum kau benar-benar menjauh, aku berteriak padamu “Siapa?! Siapa yang memberitahukannya padamu?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun