Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Bjorka, Cambridge Analytica, dan Pemilu 2024

17 September 2022   14:06 Diperbarui: 17 September 2022   20:20 1308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi hacker Bjorka. | Sumber: diolah dari WallpaperAcces.com

Data publik yang dijual Bjorka sejatinya dapat diproses untuk mendesain mesin propaganda dalam kampanye Pemilu 2024 nanti, seperti apa yang dahulu pernah digunakan Cambridge Analytica guna memenangkan Donald Trump pada pemilu AS.

Pada 2018 lalu, kasus penyalahgunaan data pribadi terbesar di dunia, sempat mengguncang publik Amerika Serikat. Skandal itu melibatkan pembajakan 87 juta data-data pribadi milik pengguna Facebook secara ilegal oleh Cambridge Analytica (CA).

Korporasi konsultan politik asal Inggris ini ternyata telah mengumpulkan data pribadi pengguna Facebook sejak tahun 2014. Data itu kemudian diproses untuk memengaruhi orientasi politik pemilik hak pilih di AS, sesuai dengan keinginan bohir/politisi yang mengontrak jasanya. 

Hasil rekayasa puluhan juta data pribadi ini lantas digunakan untuk mendukung kampanye pemilu Donald Trump tahun 2016 lalu. Walhasil, ia pun sukses keluar menjadi presiden AS yang ke-45. Konon, Trump harus menyetor mahar mencapai $6,2 juta guna memuluskan agendanya.

CA mengumpulkan data pengguna lewat kuis psikologis yang disebarkan di media sosial milik Mark Zuckerberg itu. Semua data yang sudah diperoleh akan diproses oleh tim dan teknisi mereka.

Skandal Cambridge Analytica. | AFP via phys.org
Skandal Cambridge Analytica. | AFP via phys.org

Menurut Christopher Wylie, ekspegawai CA yang menjadi whistleblower, seluruh data pengguna yang dikumpulkan akan digunakan untuk membangun program yang sangat brutal. Program itu bahkan dirancang untuk bisa memprediksi dan memengaruhi pandangan politik orang-orang yang ditargetkan.

Ia bahkan mendeskripsikan perusahaan konsultan asal Inggris itu sebagai mesin propaganda paling lengkap. Kebencian, menurut Wylie, adalah landasan utama mengapa perusahaan itu didirikan.

CA menyediakan hampir seluruh data mentah mengenai informasi demografi, kontak pribadi, hingga kecenderungan politik atau bagaimana para pemilih AS menyikapi berbagai macam persoalan yang berada di sekeliling mereka.

Sepele, bukan? Namun, bagi teknisi CA, data-data itu termasuk komoditas yang sangat berharga dan bernilai jual tinggi. Bermodal sejumlah data curian tersebut, mereka berhasil membangun program yang disebut "penargetan psikografis".

Dengan bantuan program cerdas itu, CA mampu memetakan pemilih yang masih ragu menentukan pilihan (swing voters), kemudian mengeksploitasi otak mereka supaya bersedia memilih Donald Trump. Sederhananya, alat penggiring opini.

Mereka juga menyusun daftar pemilih yang bisa menjadi pendonor potensial untuk kampanyenya. Lewat metode itu Trump berhasil mengumpulkan modal sekitar $80 juta untuk dana kampanye.

Setelah mendapatkan seluruh data yang dibutuhkan, CA lantas memasang iklan yang telah disesuaikan dengan karakter targetnya. Dengan karakter target yang sangat spesifik hingga ke level individu, program ini acap disebut microtargeted online advertisements. 

Lewat big data milik Facebook, mereka sukses menargetkan para penggunanya dengan konten-konten kampanye yang sangat relevan dan efektif. Beberapa di antaranya merupakan iklan yang berisi bermacam ujaran kebencian dan hoaks yang dipasang di laman Facebook.

Metode ini sejatinya sudah lazim dipakai oleh Facebook dalam menargetkan iklan yang telah disesuaikan dengan minat dan keinginan para pemilik akun. Akan tetapi, berbeda halnya apabila data-data pribadi publik itu malah digunakan untuk tujuan yang tak semestinya. Terlebih, tanpa ada izin dari para pengguna.

Berkaca dari kasus Cambridge Analytica itu, data publik yang diobral oleh Bjorka sebetulnya menyimpan informasi yang cukup sebagai dasar untuk membangun program propaganda senada. Terlebih, jika data-data tersebut dikombinasikan dengan data-data lainnya, dan diproses dengan bantuan kecerdasan buatan (AI) atau machine learning.

Bjorka mengklaim telah membobol 1,3 miliar data pengguna SIM Card telepon seluler Indonesia, disusul peretasan 105 juta data pemilih yang bersumber dari Komisi Pemilihan Umum (KPU RI) yang ditawarkan di Breach Forum (breach.to).

Tangkapan layar Bjorka menjual juta data milik 105 juta warga Indonesia, Selasa (6/9/2022). | Breached Forums/ Bjorka via Kompas
Tangkapan layar Bjorka menjual juta data milik 105 juta warga Indonesia, Selasa (6/9/2022). | Breached Forums/ Bjorka via Kompas

Dalam iklannya, Bjorka mematok harga $5000 (Rp.75 juta) untuk 105 juta data pemilu berukuran 20 GB. Ia memberikan sampel sejumlah 1.048.576 pemilih dari berbagai provinsi dengan format excel berukuran 75 MB. Menurut verifikasi ahli keamanan siber, sampel data itu sudah terbukti valid.

Adapun pembeli akan memperoleh data-data mulai dari ID provinsi, ID kota, ID kecamatan, ID kelurahan, ID TPS, nomor KK, NIK, nama lengkap tempat tanggal lahir, usia, jenis kelamin, hingga alamat lengkap. Sangat komplit!

Dibandingkan informasi yang diperoleh melalui Facebook, data-data yang dijual Bjorka itu jauh lebih lengkap dan akurat, kendati tanpa disertai analisis psikologi individu seperti yang ditawarkan CA.

Sebagaimana algoritma yang dirancang CA, data-data publik yang diretas dapat dikumpulkan guna mendesain program segmentasi untuk menyasar kelompok pemilih tertentu alias profiling.

Misalnya, dengan mengkategorikan para pemilih berdasarkan jenis kelamin, usia, domisili, agama, jumlah keluarga, serta level pendidikan. Segmentasi demografis itu nantinya juga bisa dipadukan dengan data-data lain untuk memetakan afiliasi serta preferensi politik pemilih. Dengan begitu, mereka bisa membuat kampanye politik dan target iklan di media sosial.

Dengan bantuan data-data yang sudah diolah sedemikian rupa, para kandidat pemilu dapat menggunakannya untuk merancang sebuah kampanye berbasis demografi, yang menargetkan pemilih yang lebih spesifik. Cara itu jauh lebih efektif ketimbang memanfaatkan iklan televisi atau media konvensional lain.

Nahasnya, data yang sama ternyata juga dapat dibajak oleh oknum-oknum partai politik untuk menambah kekurangan anggota partai sebagai syarat verifikasi administrasi peserta pemilu.

Agar lolos sebagai peserta Pemilu 2024, partai politik harus memiliki minimal 1000 anggota di setiap kabupaten/kota. Ketentuan itu tertuang dalam pasal 173 ayat (2) huruf (f), UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Sekilas, jumlah keanggotaan 1000 orang di setiap kabupaten/kota terkesan kecil untuk partai yang mampu memperoleh jutaan suara. Namun, bagi partai politik kecil atau yang baru didirikan, jumlah keanggotaan itu tebukti sulit dipenuhi.

Menurut laporan KPU Surabaya, dari 24 partai yang ikut verifikasi, ada beberapa partai yang jumlah anggotanya kurang dari 1000 individu: Partai Swara Rakyat Indonesia (Parsindo), Partai Rakyat Adil Makmur (Prima), Partai Republik, Partai Gelora, dan Partai Bulan Bintang (PBB). Mungkin kasus pencatutan sanada juga banyak dijumpai di daerah-daerah lain.

Rekam jejak peretasan yang dilakukan oleh hacker Bjorka. | Twitter @darktracer_int
Rekam jejak peretasan yang dilakukan oleh hacker Bjorka. | Twitter @darktracer_int

Perlu dicatat, untuk mendaftar sebagai anggota partai, hanya akan dibutuhkan informasi-informasi yang tertulis pada KK-KTP. Pihak KPU serta Bawaslu pun hanya memerlukan kepemilikan kedua dokumen itu sebagai bukti keanggotan partai politik, selain adanya KTA.

Bisa jadi data-data publik yang pernah dijual di forum gelap itulah yang lantas digunakan oknum partai politik dalam menambah jumlah keanggotaan untuk bisa lolos verifikasi Pemilu 2024 nanti. Hal itu terbukti dari kasus pencatutan nama yang belakangan marak terjadi di berbagai daerah.

Menjelang tahun Pemilu 2024, banyak orang yang mengaku namanya dicatut oleh partai untuk didaftarkan menjadi anggota partai tanpa izin. Banyak pula anggota KPU yang namanya terdaftar sebagai anggota partai, kendati mereka tidak pernah merasa mendaftar.

Faktanya, pembobolan data KPU tidak hanya sekali ini saja terjadi. Pada 2020 lalu, misalnya, ada peretas mengklaim telah berhasil membobol 2,3 juta data penduduk yang berasal dari data KPU.

Seandainya KPU dan pemerintah dapat menjaga data-data publik dengan baik, hal buruk seperti itu tentunya tak akan terjadi. Kalau kasus kebocoran data itu dibiarkan merajalela dan terus terulang, bukan tidak mungkin jalannya pemilu serentak 2024 nanti bisa terganggu dan berpotensi merusak iklim demokrasi!

Catatan

Menurut hasil analisis platform pelacak kebocoran data, Dark Tracer, ada lebih dari 100 bad actors (peretas) yang telah meretas berbagai sistem kredensial di Indonesia. Adapun target utama mereka adalah bank-bank data alias server yang menyimpan data publik berskala masif.

100 peretas yang menargetkan Indonesia. | Twitter @darktracer_int
100 peretas yang menargetkan Indonesia. | Twitter @darktracer_int
Hasil analisis itu sejalan dengan laporan perusahaan keamanan siber, Surfshark, yang mengungkapkan bahwa kebocoran data di internet Indonesia melonjak 143% dari kuartal I ke kuartal II periode 2022.

Menurut Surfshark, ada delapan akun setiap menit yang dibobol selama April-Juni 2022. Jika ditotal, terdapat 1.045.415 akun yang mengalami kebocoran data pengguna sepanjang kuartal II tersebut. Adapun sejak 2004, ada 120,9 juta akun pengguna yang berhasil dibobol.

Secara statistik, ada 44 dari 100 orang Indonesia terpapar impak pembobolan data. Angka itu berhasil mengantarkan Indonesia meraih gelar sebagai negara yang paling banyak dibobol di kawasan Asia Tenggara. Sangat membanggakan!

Adapun Bjorka yang menjadi buah bibir netizen +62, hanya salah satu di antara 100 peretas yang menjadikan internet Tanah Air sebagai arena permainannya. Jika dijumlahkan, dia telah menguasai lebih dari 1,5 miliar data pribadi publik Indonesia. Ya, data pribadi kita semua!

Apa jadinya jika data-data itu berhasil diproses dengan memakai kecerdasan buatan? Saya meyakini, hasil program propaganda yang bisa dihasilkan akan jauh melampaui kemampuan program yang dirancang Cambridge Analytica.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun