Mohon tunggu...
Kirana Ayudifa
Kirana Ayudifa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis Ceria Pecinta Donat

Mahasiswa Ilmu Komunikasi yang gemar menulis, mudah jenuh, tapi juga mudah bersemangat.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Jadi Feminis? Sok Atuh, Ngapain Malu!

12 Januari 2022   11:18 Diperbarui: 12 Januari 2022   11:22 407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kalian tau topik yang lagi banyak dibicarakan di media sosial sekarang? Iyak, marriage free dan child free. Dimana orang mulai berani menyuarakan kalau mereka 'gak mau nikah atau 'gak mau punya anak.  

Ada yang  pro sama isu tersebut, tapi bukan feminis. Ada juga yang kontra, eh ternyata malah feminis. Nah, loh. Kalau kalian bingung dan ngerasa "wah, kok gitu, sih. Gak bisa, nih. Gak sesuai prosedur feminisme. Skip, skip!", berarti kalian masih termasuk golongan tim yang termakan stereotip sempit masyarakat tentang feminisme. Kok bisa? Baca dulu guys, jangan kemakan emosi. Yok, duduk ngopi sambil diskusi bentar aja.

Kalau menurutku sih (atau yang orang sekarang bilang "in my humble opinion"), feminisme di Indonesia punya citra yang kurang baik. Kalau ada content creator yang bikin konten tentang feminisme, terutama perempuan, selalu ada netizen yang berkomentar miris, tidak mendukung, memojokkan, bahkan mempertanyakan, "Emang apa sih, urgensinya feminisme?". Sebelumnya, kita gali dikit dulu tentang feminisme biar pembaca bisa menyatukan pikiran bareng penulis di sepanjang artikel ini.

Sederhananya, Feminisme bisa diartikan sebagai gerakan yang menuntut dan mengupayakan tercapainya kesetaraan gender di semua sektor kehidupan, terutama untuk kaum perempuan yang selama ini banyak menerima ketidakadilan. 

Dalam bukunya yang berjudul Revisi Politik Perempuan, Najmah dan Khatimah Sa'idah (2003:34) mengartikan feminisme sebagai kesadaran adanya eksploitasi dan penindasan yang diterima perempuan di banyak sektor kehidupan, dan kesadaran untuk mengubah isu tersebut oleh kedua gender. Gak muluk-muluk, kok. 

Para feminis cuma mau mendapat persamaan hak bagi kaum perempuan supaya bisa ada di tempat yang setara dengan laki-laki. Together we're strong, kan?

Sayangnya, saat ini, feminisme malah dikenal sebagai komunitas yang konservatif, kaku, kolot, dan tidak bisa diajak bercanda. Baik di Indonesia maupun negara lain, banyak yang salah paham bahwa feminisme itu membenci laki-laki, anti-marriage, terlalu liberal, tidak beragama, dan menginginkan kedudukan yang lebih tinggi dari laki-laki. Stereotip kayak gini menyebar cepat banget semenjak feminis mulai berani buat speak-up di media sosial. 

Contohnya, Twitter. Seperti yang kita tahu, banyak pengguna Twitter yang cukup kritis sama isu sosial. Munculnya para feminis ke permukaan untuk menanggapi isu-isu sosial yang mengarah pada penindasan terhadap perempuan malah berefek pada citra buruk yang beranggapan kalau feminis itu suka sok ikut campur, sok kritis, sok peduli, dan hanya memojokkan laki-laki setiap mengkritisasi.

Efeknya, jadi banyak feminis yang malu mengakui kalau mereka feminis. Banyak perempuan yang justru takut jadi feminis karena 'gak mau dianggap kolot dan dijauhi kaum laki-laki. Banyak laki-laki yang merasa tertekan dengan adanya feminisme. 

Bahkan, menurut Frith (2001) dan Ruddolfsdottir & Joliffe (2008), remaja perempuan banyak yang merasa malu untuk mengidentifikasi diri mereka sebagai feminis karena takut dianggap tidak feminin, pembenci laki-laki, dan pembuat masalah. Ini semua karena stereotip media yang mempengaruhi persepsi masyarakat tentang feminis itu sendiri.

Mau tau satu fakta, 'gak? Sebenarnya, kita boleh bangga jadi feminis, loh. Prinsip feminis sendiri mengupayakan kesetaraan hak bagi semua gender, bukan cuma bagi perempuan, tapi juga laki-laki. Bayangkan kalau kita sama-sama bisa melakukan banyak hal tanpa dipandang "ih, kok cowok gitu?" atau "ih, kok cewek gitu?" sama masyarakat. Lebih menyenangkan, bukan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun