Mohon tunggu...
kingkin kts
kingkin kts Mohon Tunggu... Akuntan - antropogenik

Seorang akuntan biasa yang tiap sore pulang ke Pamulang. Selain bergelut dengan transaksi, saya adalah penikmat seni, humaniora, dan pelahap Mie Ayam yang sedang merindukan kampung halaman Jogja Lantai Dua (Gunungkidul)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Hidup Memang Absurd, Jangan Cemas Berlebihan!

2 Februari 2020   11:58 Diperbarui: 2 Februari 2020   12:56 347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Taman Desa Giring. Dokumen Pribadi

Sambil kebal-kebul santun dan santuy, akupun mengekspose segala derita hidupku, bahala yang menimpa hatiku, bahkan konflik kepentingan dengan seseorang yang sialnya ternyata adalah tetangga mas Bambang sendiri. Khususnya kesulitan ekonomi yang menimpaku juga tak luput dari topik pembicaraan.

"oalaah", tiba-tiba mas Bambang mengintrupsi. "oalah apanya? Baru setengah ngomong juga udah disela!" teriak diriku yang merasa tambah pusing ini. "sik tenang to, intinya masalahmu itu cuma insecure sama dirimu sendiri karena melihat kehidupan orang lain." Tanggapan dari mas Bambang ini sontak langsung membuat diriku bertanya-tanya, "apa iya?"

Mas Bambang langsung memberi penjelasan panjang lebar tentang masalah manusia yang sebenarnya sudah umum terjadi pada masa-masa quarter-life crisis yang melanda banyak sapiens muda. Dari penjelasan yang dilontarkannya, aku merasa mas Bambang banyak terpengaruh oleh pemikiran sang absurdis Albert Camus, sastrawan asal Aljazair yang tinggal di Prancis.

Walaupun mbah Camus sudah meninggal, dan karya-karyanya cenderung kuna, tapi dia hebat hloh. Dia membawa pembaharuan pada gaya penulisan novel Prancis yang dulunya didominasi cerita tentang kaum Borjuis menjadi berlatar kehidupan rakyat jelata pada saat itu. Walaupun termasuk karya lama, tapi pemikirannya masih relevan hingga sekarang.

"hidup itu cen absurd bin aneh binti random Bon, kita tidak bisa memaksakan apa yang kita ekspektasikan menjadi kenyataan atau menyamakan hidup kita dengan orang lain." tutur mas Bambang dengan nada lirih tapi semakin meninggi karena diselingi khidmadnya bersin-bersin. "Maksudnya gimana mas? Bukankah tugas manusia adalah yang mampu, ya paling tidak gak ketinggalan dengan pencapaian orang lain"? akupun bertanya lebih dalam.

Mas Bambang kemudian menjelaskan dengan gamblang dan runtun, aku nikmati segala petuah yang diberikan kepadaku. "Kenapa hidup absurd, dan kita dipaksa menikmatinya? Karena kita memiliki banyak populasi manusia. Kita tidak bisa mendikte ataupun mengatur semua pihak agar sesuai dengan keinginan kita. Terus, apa yang menjadi keinginan kita ya jangan dipaksa untuk selalu terwujud. Punya mimpi boleh, dan kita harus berusaha mengejarnya, tapi mbok ya sadar dan jangan ngoyo, santai aja."

"kok malah tekan (sampai) mimpi to mas? Haha," aku sedikit menyela dengan sedikit rasa takut pembahasan kali ini kebablasan. "ya kaya gak tau aja, aku kalau udah ngomong memang kemana-mana. Jodoh aja harus kita cari kemana-mana kok"! seru mas Bambang sambil sesekali mengingat perjuangannya mendapatkan istri dua tahun yang lalu.

"jadi gini ndes, manusia itu sebenarnya punya keinginan dan jalan hidupnya masing-masing. Tapi terkadang kita terlena dengan pencapaian hidup orang lain. Katakanlah si Niko, temanmu yang dulu terkenal suka mencuri korek itu sudah kerja di perusahaan gede. Maka ya wajar dia suka upload foto perihal pekerjaan dan kegiatan yang mungkin kamu sebut riya diakhir bulan. Atau Mita, yang sekarang udah kerja di sektor MIGAS ya wajar dia suka mengunggah skincare dan parfum mahal, hla wong gajinya juga gede."

"Nahh, sebenarnya kedua contoh diatas dapat dilihat dari dua persepsi yang berbeda. Mungkin dia lelah akan pekerjaannya, maupun merasa bangga dengan gajinya sehingga berusaha membeli sesuatu dan meng-upload langgsung ke medsos. Hal itu sah-sah saja, karena kebanyakan manusia mempunyai kecenderungan pengen diakui orang lain dan mendapat penghargaan atas pencapaian yang telah diperolehnya.

Tetapi disisi lain, kegiatan tersebut sarat akan rasa gelisah yang berlebih. Bisa jadi, mereka didera rasa FOMO, yaitu ketakutan ketinggalan hal-hal yang dilakukan orang lain. Mereka mungkin ketagihan melihat rekan sejawatnya yang lain setiap hari meng-upload kekayaanya di medsos, dan kawanmu itu tidak mau ketinggalan." Tambah mas bambang.

"Kamu tau enggak inti penjelasanku tadi?" imbuh mas Bambang, "emm iya sih, jadi sebenarnya kekhawatiran dan depresi kita terkadang terbentuk karena melihat media sosial orang lain, dimana orang lain itu juga khawatir dengan kehidupan orang lain, ya?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun