Mohon tunggu...
Wahyu Barata
Wahyu Barata Mohon Tunggu... Penulis - Marketing Perbankan

Wahyu Barata.Lahir di Garut 21 Oktober 1973. Menulis puisi, cerita pendek,dan artikel. Tulisan-tulisannya pernah dimuat di Sari Kata, majalah Aksara , Media Bersama, Kompas, Harian On Line Kabar Indonesia, beberapa antologi bersama, dan lain-lain.Kini bekerja sebagai marketing perbankan tinggal di Bandung.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Menikung (8)

13 Maret 2022   22:22 Diperbarui: 13 Maret 2022   22:37 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

"Baru dikeluar-keluarin. Nggak tahu mana yang masih diperlukan mana yang sudah nggak terpakai."

"Kayaknya kebanyakan bisa dibuang. Coba kita pilih."

Saling bertumpuk, kertas, majalah, guntingan-guntingan koran yang belum terkliping.

"Ini teh padahal sengaja diguntingin." kata Kusnadi sambil mengamati beberapa guntingan koran. "Tadinya mah mau dkliping. Kalau sudah begini jadi malas." Dibaca sedikit-sedikit, diremas-remas, dilempar ke tempat sampah.

"Katanya perlu!" kata Lia.

Kusnadi tak menjawab.

"Mengklipingnya nanti aja nggak apa-apa." kata Lia sambil membuka-buka Asiaweek.

"Cantik-cantik ya Kang Kus?" tanya Lia sambil melirik. Gambar jilid Asiaweek memang gadis-gadis terpilih dari kontes Miss World. Hurufnya juga besar-besar dan sangat provokatif : I Am Beautiful!

"Pilihan itu mah Lia." jawab Kusnadi.

"Mana ya, Miss Indonesia?"

"Di belakangnya."

Cover majalahnya memang berbeda dari biasanya. Ini lebarnya double, sampai dilipat ke dalam.

"Ini dia!" seru Lia.

"Lia mah katanya mau bantuin beresin, tapi malah lihatin gambar."

"Kang Kus nggak suka gitu sama yang cantik?" sambil menutup majalah. Lalu disimpan, dipisahkan dari yang lain.

"Cantik-cantik itu teh?"

"Malah balik nanya, kayak yang nggak tahu aja."

"Nggak. Kang Kus mah nggak tahu sama yang cantik teh. Semua perempuan, perasaan cantik-cantik semua."

Lia mencibir.

"Waduh? Foto siapa ini?" Lia mencabut foto dari tumpukan majalah.

"Ternyata Teh Mira." ujarnya.

"Mira?"

Kusnadi meneliti foto itu. Benar saja foto Mira. Ukuran kabinet. Mira sedang bersandar di pintu. Pintu ruangan mana ya? Rambutnya terurai, bajunya bunga-bunga latar putih. Mungkin foto sudah lawas. Benar, sekarang Mira rambutnya pendek. Sudah lama dipotong pendek. Kalau ini kan masih panjang. Masih terurai ke bawah bahu. Mungkin sudah ada berapa tahun? Setahun ke belakang? Dua tahun ke belakang?

"Kenapa ya foto Mira ada di meja Akang?" tanya Kusnadi agak heran.

"Bukan di meja. Di laci." kata Lia.

Kusnadi melirik ke Lia dengan sudut mata. Namun yang dilirik asyik merapikan kertas.

"Cantik ya Teh Mira?" tanya Lia.

"Yang gini ya yang cantik?"

"Emh pura-pura."

"Iya cantik, makanya Pepen kepincut."

"Kang Pepen?"

"Iya, kan Mira pacarnya Pepen."

"Kang Kus suka nggak sama Teh Mira?"

"Suka apanya?"

"Iya...apanya saja. Segalanya."

"Segalanya? Nggak tahu kalau segalanya kan belum tahu. Ada yang sukanya. Baiknya, anggunnya, nyantri, tapi sayang..."

"Sayang keduluan sama Kang Pepen?"

"Lia mah suka terus mendalam. Masa murid SMA sudah belajar begituan?"

"Nggak boleh gitu? Nah ini sudah ada foto lagi. Jangan-jangan foto..."

"Foto siapa Lia?"

"Pacar siapa ini ya? Pasti pacar Kang Kus?"

"Pasti." jawab Kusnadi. Namun matanya menatap wajah Lia yang sedang menunduk. Anak ini alisnya bagus, ujarnya dalam hati. Meskipun rambutnya tidak diikat dengan sapu tangan...

"Bener aja, pacarnya Kang Kus?" kata Lia sambil tertawa.

Ternyata foto bersama Berjajar di depan kantor. Ada Zulkarnaen. Ada Kartiwa. Ada Oom Jaya. Ada anak perempuan berdua. Kalau tidak salah temannya Mira. Ada Mira. Dan mengapa berdiri berdampingan dengan dirinya? Ke mana Pepen, mengapa tidak ada? Pepen tidak ikut difoto, lagi ke mana ya?

Kalau tidak salah itu waktu perdana PUBLIK terbit. Baru pindahan kantor juga. Sebelumnya berkantor nebeng di paviliunnya Oom Jaya.

Ada beberapa foto lagi. Ada yang sedang di percetakan. Ada yang sedang di tempat ngezet. Ada yang sedang menenteng PUBLIK yang pertama kali. Ya, nomor yang awal sekali. Zulkarnaen yang menentengnya juga. Yang lain tertawa di pinggirnya. Tertawa girang?

Kusnadi lama mengamati foto itu, seperti baru melihatnya. Betul, tertawa girang waktu itu, semuanya.

Kusnadi melangkah ke luar.

"Mang!Mang!" dia memanggil Si Emang yang sedang duduk di bangku panjang sambil merawat ayam jago kesayangannya. "Coba carikan PUBLIK yang pertama di gudang!"

"Yang pertama, Cep,?"

"Iya."

"Masih ada gitu?"

"Wah, nggak ada ke mana?"

"Kan sudah lama sekali."

"Masih ada. Asal teliti saja mencarinya."

"Kang Kus!" panggil Lia dari dalam.

"Ada apa Lia?" tanya Kusnadi sambil masuk lagi ke ruangan redaksi.

"Kalau foto ini mau disimpan juga?" tanya Lia sambil menenteng foto perempuan seluruh tubuh.

Kusnadi tertawa kecil. Kalau tidak salah dia menggunting gambar itu dari majalah Penthouse, Si Pepen yang membawanya ke kantor.

"Kalau mau Lia simpan, mangga!"

"Buat apa ih. Malu lihatnya juga."

"Malu ya? Apa yang membuat malu?"

"Memangnya Kang Kus, suka sama yang ginian."

"Hiburan aja atuh Lia. Gambar-gambarnya, daripada nggak ada buktinya."

"Mau gitu. Kan banyak."

"Mau-mau nggak seberapa. Cuma tergiur aja."

"Tergiur sama siapa? Tergiur kayak Kang Pepen sama Teh Mira?"

"Aaah Lia  Lia. Dari tadi Teh Mira lagi Teh Mira lagi. Nggak ada yang lainnya?"

Lia tertawa.

"Buang aja ini teh?"

"Buang saja. Buat apa disimpan juga. Nemuin yang aneh-aneh lagi nggak?"

Lia menggeleng. Kusnadi duduk di sudut meja. Melihat-lihat ke pinggir. Ke tembok yang sudah belang-belang hitam, sudah terlalu lama tidak dikapur. Di sisi sebelah barat ada lukisan menggantung. Lukisan pemandangan. Sawah tergenang, tampak baru selesai dicangkul. Semakin jauh semakin samar-samar. Gunung tampak agak biru tipis.

Mengapa jadi ingat ke kampung. Dulu sewaktu kanak-kanak pernah mengalami hidup di tempat seperti itu. Sore-sore luntang-lantung. Senang melihat bulu-bulu padi mencuat putih-putih di pematang. Sekali dihentak beterbangan. Tetapi tak pernah jauh. Terbang dari pematang ini hinggap lagi di pematang sebelah sana. Sepertinya hanya sekadar  ingin menjauhi manusia.

Sudah lama tidak ke kampung. Katanya sekarang ingin melihat burung di pinggir kampung saja susah. Mungkin kampungnya sudah ramai. Manusia bertambah banyak. Sampai menyingkirkan binatang-binatang dari habitat tempat tinggal mereka. Menurut sensus juga penduduk Indonesia terus bertambah. Beranak pinak.

Meskipun ada program Keluarga Berencana (KB). Tetapi katanya dulu juga sudah ada KB. Caranya saja yang berbrda. Kalau sekarang harus memakai pil stsu IUD, dulu sederhana saja, diurut oleh dukun beranak, untuk tambahannya paling-paling memakan pepes jantung pisang.

Dari kantor mengangkut tumpukan kertas. Itupun semua dipilih dulu. Ditaruh saja di kursi.

"Nanti Lia bantuin beresin lagi." kata Lia sambil merapikan tumpukan majalah, guntingan koran, dan beberapa naskah.

"Kapan?" Kusnadi bicara sambil duduk di kursi.

"Nanti...kapan ya?"

"Kapan-kapan saja, kalau Lia santai."

Lia berpamitan. Kusnadi terus ke rumahnya Pepen.

(Bersambung)

(Judul Asli : Mikung, Novelette berbahasa Sunda karya Abdullah Mustappa.Diterbitkan oleh Daya Seni Tradisi Sunda (Dasentra) Bandung, Indonesia. Cetakan Pertama Januari 1983. Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Wahyu Barata)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun