Sejak pelabuhan laut dibangun dan diresmikan di dekat ibu kota provinsi (baca: Palu), Donggala sebagai "Kota Bandar" perlahan meredup. Bukan hanya soal keramaian lalu lintas para penumpang kapal Pelni, tetapi juga lalu lalang transportasi barang.
Aktivitas ekonomi kemudian menurun, pembangunan nyaris tak terlihat. Gudang-gudang besar menyerupai hanggar pesawat, yang dulunya menjadi persinggahan berton-ton kopra sebagai hasil bumi unggulan, kini terbengkalai dimakan karat.
Masa kecil saya ada di antara periode tersebut, masa ketika Hamka dan Pramudya menyebut Donggala dengan takzim melalui diksi "terkenal sebagai pelabuhan laut" dan "tempat singgah para pelaut". Sementara saya, kerap menggambarkan kota kecil ini dalam ringkasan sebagai "yang belakangnya gunung, depannya laut".
Pedagang Keliling Renceng Ikan
KEHIDUPAN keseharian di area kecil kampung nelayan di Donggala, dalam kesimpulan di benak kanak-kanak saya, bagai regulasi otomatis dalam sirkulasi harian.
Pada malam hari para nelayan, bersama perahu mereka, menuju bentang laut. Dan, kembali ketika gelap langit berkejaran dengan percik fajar menyingsing. Lalu, hasil laut tersebut segera diusung untuk dijajakan di area paling menjorok ke laut, di kawasan yang disebut warga sebagai Pasar Lama.
Dalam pemandangan keseharian warga kota, hal sama berlaku juga bagi para pekerja pelabuhan (buruh, kuli angkut). Pagi di jam kerja, mereka memasuki kota Donggala. Hingga petang, bahkan malam---bila harus bekerja lembur. Mereka lalu kembali ke rumah di pinggiran kota dengan sepeda. Atau, melintasi kampung-kampung jauh dengan menumpang gratis di truk-truk barang.
Jamak terlihat, di pagi yang cerah ibu-ibu ke pasar membawa serta tas atau keranjang belanjaan mereka. Lalu, mengatur makan siang buat keluarga. Anak-anak sekolah yang agak besar, berangkat pagi dan pulang di waktu siang. Makan, dan menghabiskan sore dengan bermain.
Pada siang yang masih terik, di ruas-ruas jalan padat pemukiman yang tak panjang, lelaki-lelaki berkulit legam sering melintas. Kerap tak beralas kaki, seraya memikul ikan-ikan untuk dijual.
Pedagang keliling ini menggunakan pikulan kayu panjang di bahu. Renceng-renceng ikan itu ditaruh di bagian depan dan belakang, sehingga membentuk keseimbangan saat dipikul.
Sebagian (kecil) ikan tersebut saya duga berasal dari yang tersisa dari tangkapan semalam. Dijajakan segera dengan cara berkeliling. Sebagian lagi, ikan-ikan segar yang baru naik dari laut. Hasil tangkapan nelayan dari pantai agak jauh atau para pemancing perseorangan yang baru mengakhiri aktivitasnya.