Jamu Ginggang memetik keharuman nama di tengah masyarakat karena dipercaya berkhasiat, memiliki cita rasa yang "enak", dan ditawarkan Mbah Kasidah dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat.
Jamu Ginggang: Generasi Kelima
Kini Jamu Ginggang di Jalan Masjid No 32, Pakualaman, diteruskan oleh generasi kelima. Ike Yulita Astiani atau disapa Bu Yayuk memegang tanggung jawab penuh mengelola warisan leluhurnya ini.
Sejak kecil Bu Yayuk telah dididik secara disiplin oleh keluarga besarnya mengenai proses produksi jamu tradisional. Tanggung jawab utama yang diberikan kepadanya adalah menghaluskan bahan-bahan untuk jamu seperti kunyit dan kencur.
Merunut kisah yang ditarik ke belakang, sebenarnya sejak tahun 1930 Jamu Ginggang telah menempati alamat yang sekarang. Hanya saja saat itu jamu yang dibuat Mbah Jaya berupa eplek-eplek itu, dijajakan di depan warung saat ini.
Usaha kecil-kecilan yang dirintis oleh Mbah Jaya ini, tentu saja berlangsung dengan restu. Beliau memeroleh izin dari Kadipaten untuk memproduksi dan menjual jejamuan racikannya kepada masyarakat umum.
Warung Jamu Ginggang yang menggunakan resep secara turun-temurun dari para leluhur ini, masih mempertahankan kesederhanaannya. Suasana kafe membuat Jamu Ginggang di masa kini menjadi objek atau tujuan wisata yang diminati kalangan luas.
Jamu Sehat Pria
Jamu Sehat Pria menjadi bagian dalam perjalanan Jamu Ginggang. Secara keseluruhan jenis jamu yang ada, selain jamu sehat laki-laki, adalah jamu beras kencur, kunyit asem, parem, pahitan, jamu pegel laki-laki, galian putri, galian singset, jamu terlambat bulan, dan lainnya.
Dalam catatan sejarah, peran jamu telah hadir pada masa kerajaan Mataram Islam, khususnya abad ke-16 hingga abad ke-18. Dalam perkembangannya, selain di kalangan keluarga kerajaan, jamu juga digunakan kalangan bangsawan.
Secara umum jamu menempati posisi baik sebagai bagian dari gaya hidup sehat dan ritual kebudayaan. Dalam lingkungan kraton, jamu menjadi bagian dari proses perawatan tubuh, menjaga kecantikan, dan memperkuat stamina.