Mohon tunggu...
Kholid Harras
Kholid Harras Mohon Tunggu... Dosen Universitas Pendidikan Indonesia

Pemerhati pendidikan, politik, dan bahasa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Selawat Tibbil Qulub dan Kontroversinya

12 Oktober 2025   08:33 Diperbarui: 12 Oktober 2025   08:33 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bacaan Sholawat Syifa atau Sholawat Thibbil Qulub, Arab, Latin dan Artinya - Halaman all - Bangkapos.com 

Mereka menegaskan bahwa hanya Allah yang berhak disifati sebagai Asy-Syafi (Maha Penyembuh) dan An-Nur (Pemberi Cahaya). Hadis Nabi juga memperingatkan agar umat Islam tidak memujinya secara berlebihan seperti kaum Nasrani terhadap Isa bin Maryam (HR. Bukhari).

Sebaliknya, para ulama dari kelompok lain, menegaskan bahwa Selawat Tibbil Qulub tidak bertentangan dengan tauhid jika dipahami dengan benar. Nabi dipandang sebagai wasilah (perantara) untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan sebagai sumber kekuatan itu sendiri. Semua kesembuhan, cahaya, dan petunjuk tetap bersumber dari Allah, sementara Nabi adalah pembawa dan penyampainya.

Mereka merujuk pada Surah Al-Ahzab ayat 56, yang memerintahkan umat Islam untuk berselawat kepada Nabi. Mereka juga mengutip ayat "Rahmatan lil 'Alamin" (QS. Al-Anbiya: 107) sebagai landasan bahwa Nabi adalah rahmat bagi seluruh alam, sehingga pujian dalam selawat justru menegaskan peran beliau sebagai utusan Allah yang membawa rahmat dan penyembuhan spiritual.

Perdebatan ihwal ini pada dasarnya berpangkal pada perbedaan cara memahami bahasa dan simbol. Dalam tafsir sufistik, metafora merupakan bentuk ekspresi cinta dan penghormatan kepada Nabi, sedangkan dalam tafsir literalistik, metafora yang terlalu tinggi dianggap berisiko menyalahi batas tauhid.

Kesimpulannya, apakah Selawat Tibbil Qulub bertentangan dengan tauhid atau tidak sangat tergantung pada niat dan pemahaman pembacanya. Bila dibaca dengan keyakinan bahwa Nabi adalah perantara rahmat dan bahwa segala kuasa tetap milik Allah, maka selawat ini sah dan bernilai ibadah. Namun, jika dipahami secara keliru hingga menisbatkan kekuatan independen kepada Nabi, maka hal itu bisa menyalahi tauhid.

Perbedaan pandangan ini sebaiknya disikapi dengan bijak. Islam mengenal keragaman tradisi dan tafsir, selama semua tetap berporos pada tauhid. Dalam setiap ibadah, termasuk berselawat, hendaknya keyakinan tetap tertuju pada Allah sebagai satu-satunya sumber kuasa dan pertolongan. Allahu a'lam.

(Kholid Harras)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun