Â
Â
"Ya Allah, limpahkanlah rahmat kepada junjungan kami Nabi Muhammad, penyembuh hati dan obatnya, cahaya mata dan sinarnya, serta kesehatan badan dan kesembuhannya. Dan limpahkanlah rahmat serta keselamatan kepada keluarga dan para sahabatnya."
Selawat Tibbil Qulub,  juga dikenal sebagai Selawat Syifa,  merupakan salah satu bentuk doa dan pujian populer kepada Nabi Muhammad SAW, terutama di kalangan pengamal tasawuf dan tarekat. Lafaznya memohon rahmat kepada Nabi sebagai  penyembuh hati, penerang mata, dan pembawa kesembuhan badan.
Umat Islam banyak melantunkan selawat ini untuk mencari ketenangan batin, keberkahan, dan kesembuhan, baik fisik maupun spiritual.
Makna selawat ini sarat simbol dan keindahan bahasa. Frasa seperti "penyembuh hati" dan "penerang jalan" dipahami secara metaforis oleh banyak ulama sebagai gambaran peran Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa cahaya petunjuk dan rahmat Allah.
Hati yang disembuhkan bukan berarti secara medis, melainkan hati yang dibersihkan dari dosa dan penyakit batin melalui ajaran beliau.
Namun, popularitas selawat ini juga memunculkan perdebatan teologis. Sebagian ulama yang ketat dalam menjaga kemurnian tauhid, Â menganggap teks selawat ini berpotensi menyalahi prinsip tauhid rububiyyah dan tauhid uluhiyyah.
Kekhawatiran mereka terletak pada kemungkinan sebagian umat memahami bahwa Nabi memiliki kekuatan penyembuh atau penerang secara mandiri, terlepas dari kehendak Allah. Jika hal ini terjadi, bisa dianggap mendekati bentuk syirik karena menyekutukan Allah dalam sifat dan kekuasaan-Nya. Mereka juga menganggap selawat ini mengandung unsur ghuluw (berlebihan dalam memuji Nabi).
Mereka menegaskan bahwa hanya Allah yang berhak disifati sebagai Asy-Syafi (Maha Penyembuh) dan An-Nur (Pemberi Cahaya). Hadis Nabi juga memperingatkan agar umat Islam tidak memujinya secara berlebihan seperti kaum Nasrani terhadap Isa bin Maryam (HR. Bukhari).
Sebaliknya, para ulama dari kelompok lain, menegaskan bahwa Selawat Tibbil Qulub tidak bertentangan dengan tauhid jika dipahami dengan benar. Nabi dipandang sebagai wasilah (perantara) untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan sebagai sumber kekuatan itu sendiri. Semua kesembuhan, cahaya, dan petunjuk tetap bersumber dari Allah, sementara Nabi adalah pembawa dan penyampainya.
Mereka merujuk pada Surah Al-Ahzab ayat 56, yang memerintahkan umat Islam untuk berselawat kepada Nabi. Mereka juga mengutip ayat "Rahmatan lil 'Alamin" (QS. Al-Anbiya: 107) sebagai landasan bahwa Nabi adalah rahmat bagi seluruh alam, sehingga pujian dalam selawat justru menegaskan peran beliau sebagai utusan Allah yang membawa rahmat dan penyembuhan spiritual.
Perdebatan ihwal ini pada dasarnya berpangkal pada perbedaan cara memahami bahasa dan simbol. Dalam tafsir sufistik, metafora merupakan bentuk ekspresi cinta dan penghormatan kepada Nabi, sedangkan dalam tafsir literalistik, metafora yang terlalu tinggi dianggap berisiko menyalahi batas tauhid.
Kesimpulannya, apakah Selawat Tibbil Qulub bertentangan dengan tauhid atau tidak sangat tergantung pada niat dan pemahaman pembacanya. Bila dibaca dengan keyakinan bahwa Nabi adalah perantara rahmat dan bahwa segala kuasa tetap milik Allah, maka selawat ini sah dan bernilai ibadah. Namun, jika dipahami secara keliru hingga menisbatkan kekuatan independen kepada Nabi, maka hal itu bisa menyalahi tauhid.
Perbedaan pandangan ini sebaiknya disikapi dengan bijak. Islam mengenal keragaman tradisi dan tafsir, selama semua tetap berporos pada tauhid. Dalam setiap ibadah, termasuk berselawat, hendaknya keyakinan tetap tertuju pada Allah sebagai satu-satunya sumber kuasa dan pertolongan. Allahu a'lam.
(Kholid Harras)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI