OLEH: Khoeri Abdul Muid
Puncak Pilar Purbakala, monumen tertinggi di Kota Airlangga, baru saja menjadi saksi kegagalan yang memalukan. Bendera Kuning dan Hitam---simbol Keagungan dan Kehati-hatian bagi Lembaga Pertahanan---terkoyak di puncak menara saat diuji angin ekstrem.
Di bawah menara, dalam ruang kendali yang beraroma kopi pekat dan dipenuhi monitor real-time, Panglima Karsa menatap rekaman video insiden itu berulang kali. Di sebelahnya, hadir Kiai Sabda, Penasihat Seni Pertahanan yang sudah lama pensiun dari urusan militer praktis dan kini lebih banyak menghabiskan waktunya di perpustakaan tua, merawat naskah-naskah filosofi.
"Kami akan melaporkan kerusakan material," Panglima Karsa memulai, tanpa menoleh. "Angin di atas 25 knot. Itu angka yang bisa kami pertanggungjawabkan secara teknis."
Kiai Sabda tersenyum tipis, matanya yang keriput memantulkan cahaya layar yang memendar. "Anda adalah 'Wong Kang Omong' (Yang Tugasnya Bicara), Panglima. Itu adalah tugas Anda. Tapi percayalah, angin itu tidak peduli dengan angka."
Panglima Karsa mendengus. "Lalu apa yang dipedulikan oleh angin, Kiai? Ia adalah fenomena atmosfer."
"Ia peduli pada Aja Dumeh (Jangan Sok Kuasa)," jawab Kiai Sabda tenang. Jarinya yang berurat menunjuk bagian kuning bendera yang robek di layar. "Kuning itu dibuat dari serat nano terkuat, ditenun dengan teknologi yang konon anti badai. Ia dipasang di tempat tertinggi. Ia lupa diri, Panglima. Ia sombong."
"Anda mengatakan sebuah kain memiliki ego?"
"Tidak. Saya mengatakan simbol yang kita agungkan---dan kita sendiri yang menciptakannya---membawa risiko ego," Kiai Sabda mengoreksi dengan lembut. "Bukankah pelajaran pertama dalam Piwulang Andhap Asor (Ajaran Rendah Hati) berbunyi: 'Barang siapa meninggikan diri, ia akan direndahkan?' Angin itu hanyalah Sang Kala (Waktu), yang datang merobek keangkuhan material. Robekan itu, Panglima, adalah teguran metafisik."
Panglima Karsa berdiri, berjalan ke jendela kaca anti peluru, dan menatap langit kelabu di atas kota. "Kami harus cepat. Besok adalah gladi bersih. Kami harus mengganti bahannya."
"Itu adab yang baik," sahut Kiai Sabda. "Adab yang lebih penting dari material aslinya."
Panglima Karsa berbalik, suaranya kini melunak. "Kami akan menggunakan bahan komposit baru, lebih ringan, lebih fleksibel. Lebih mudah 'mengalah' pada angin."
"Tepat," ujar Kiai Sabda, matanya berbinar. "Anda sedang mencari Kasinungan Kamulyan (Kemuliaan yang Dianugerahkan). Kemuliaan bendera yang akan berkibar besok tidak akan datang dari keturunan serat yang mahal, tetapi dari tindakan perbaikan Anda. Ia akan menjadi indah karena ia pernah melalui 'lumpur' kegagalan ini."
"Jadi," simpul Panglima Karsa, menatap lipatan bendera yang robek di mejanya. "Kegagalan saat gladi ini adalah prasyarat untuk kesuksesan?"
"Ia adalah koreksi, Panglima. Wong Kang Ngerti (Yang Tahu / Yang Paham) adalah kain yang robek itu sendiri. Ia tidak berbicara, tapi ia menunjukkan dengan jelas batas kemampuan kita. Ia memberi tahu kita bahwa perencanaan terkuat pun harus memiliki kerendahan hati untuk menyesuaikan diri."
Panglima Karsa mengangguk, kali ini tanpa keraguan. Ia bukan hanya mendapat solusi teknis untuk bendera, tetapi juga sebuah narasi baru untuk dibawa dalam kepemimpinannya.
"Baik, Kiai," ujarnya sambil tersenyum kecut. "Besok, saya akan melaporkan bahwa kami telah menyesuaikan bahan kain, setelah bendera itu dengan heroik merendahkan dirinya di hadapan angin, demi mengajarkan kami tentang kesombongan."
"Itu laporan yang aneh dan cerdas," puji Kiai Sabda, kali ini disertai sedikit tawa. "Dan yang terpenting, itu jujur."
Keesokan harinya, saat bendera pengganti---dengan warna yang sama namun bahan yang lebih lentur---dikerek pada gladi bersih, ia tidak kaku mencoba melawan. Ia meliuk-liuk lembut, mengikuti setiap hembusan angin, menari-nari di langit biru. Kuning dan Hitam itu berkibar bukan dengan kesombongan statis, tetapi dengan kerendahan hati yang dinamis. Dan bagi Panglima Karsa yang menyaksikannya dari bawah, liukan itu terasa seperti sebuah pengakuan, sebuah janji, dan sebuah pelajaran yang akhirnya dipahami.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI