Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Infobesia

Bertugas di Gabus, Pati, Jateng. Direktur sanggar literasi CSP [Cah_Sor_Pring]. Redaktur Media Didaktik Indonesia [MDI]: bimbingan belajar, penerbit buku ber-ISBN dan mitra jurnal ilmiah bereputasi SINTA. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kuning dan Hitam

3 Oktober 2025   15:35 Diperbarui: 3 Oktober 2025   15:35 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi hitam dan kuning. kam/ai

Panglima Karsa berbalik, suaranya kini melunak. "Kami akan menggunakan bahan komposit baru, lebih ringan, lebih fleksibel. Lebih mudah 'mengalah' pada angin."

"Tepat," ujar Kiai Sabda, matanya berbinar. "Anda sedang mencari Kasinungan Kamulyan (Kemuliaan yang Dianugerahkan). Kemuliaan bendera yang akan berkibar besok tidak akan datang dari keturunan serat yang mahal, tetapi dari tindakan perbaikan Anda. Ia akan menjadi indah karena ia pernah melalui 'lumpur' kegagalan ini."

"Jadi," simpul Panglima Karsa, menatap lipatan bendera yang robek di mejanya. "Kegagalan saat gladi ini adalah prasyarat untuk kesuksesan?"

"Ia adalah koreksi, Panglima. Wong Kang Ngerti (Yang Tahu / Yang Paham) adalah kain yang robek itu sendiri. Ia tidak berbicara, tapi ia menunjukkan dengan jelas batas kemampuan kita. Ia memberi tahu kita bahwa perencanaan terkuat pun harus memiliki kerendahan hati untuk menyesuaikan diri."

Panglima Karsa mengangguk, kali ini tanpa keraguan. Ia bukan hanya mendapat solusi teknis untuk bendera, tetapi juga sebuah narasi baru untuk dibawa dalam kepemimpinannya.

"Baik, Kiai," ujarnya sambil tersenyum kecut. "Besok, saya akan melaporkan bahwa kami telah menyesuaikan bahan kain, setelah bendera itu dengan heroik merendahkan dirinya di hadapan angin, demi mengajarkan kami tentang kesombongan."

"Itu laporan yang aneh dan cerdas," puji Kiai Sabda, kali ini disertai sedikit tawa. "Dan yang terpenting, itu jujur."

Keesokan harinya, saat bendera pengganti---dengan warna yang sama namun bahan yang lebih lentur---dikerek pada gladi bersih, ia tidak kaku mencoba melawan. Ia meliuk-liuk lembut, mengikuti setiap hembusan angin, menari-nari di langit biru. Kuning dan Hitam itu berkibar bukan dengan kesombongan statis, tetapi dengan kerendahan hati yang dinamis. Dan bagi Panglima Karsa yang menyaksikannya dari bawah, liukan itu terasa seperti sebuah pengakuan, sebuah janji, dan sebuah pelajaran yang akhirnya dipahami.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun