Listrik Padam: Anugerah Terselubung yang Memaksa Kita untuk "Lihat"
Lalu, datanglah puisi "Ing Wengi Listrik Mati" ini bagai tamparan yang halus namun menyentak. Listrik padam---yang biasanya kita anggap sebagai bencana kecil---justru hadir sebagai metafora yang sempurna untuk penyelamatan.
Saat listrik padam, seluruh "dunia buatan" kita runtuh seketika. Layar-layar yang selama ini menawan perhatian kita mendadak gelap. Dalam puisi itu, sang penyair menggambarkan betapa kita telah "silau" dan "tidak sempat memandang" keindahan nyata di sekitar karena terus-terusan disibukkan oleh "cahya gaweyan kang gumebyar" (cahaya buatan yang berkilauan).
Dan justru dalam kegelapan itulah, panca indera kita bekerja lebih tajam. Puisi itu mengajak kita untuk:
- Merasakan "pangrangkule dhedhep tidhem" (pelukan angin malam yang berbisik)
- Mendengar "calapita lan gangsir ngenthir" (orkestra alam dari jangkrik dan gangsir)
- Menyaksikan "gumelare cakrawala rinengga abyoring kartika sumewa hyang candra" (keagungan langit malam yang bertabur bintang dan bulan)
Dalam diam yang dipaksakan itu, justru kita menemukan kedamaian yang sesungguhnya: "adhem ayem tumanem" (adem, ayem, dan menenteramkan).
Membangun "Listrik Padam" Sukarela di Era Digital
Kita tidak perlu menunggu PLN memadamkan listrik untuk mulai "melihat". Kita bisa merancang "listrik padam" sukarela untuk diri sendiri. Cobalah:
- Digital Sabat: Sisihkan satu malam dalam minggu (bisa Sabtu malam) sebagai malam tanpa gawai. Matikan notifikasi, taruh ponsel di laci, dan kabarkan pada orang terdekat bahwa Anda akan "offline".
- Rancang Pertemuan Nyata: Alih-alih berkomentar "wish I was there" di foto orang lain, jadwalkan bertemu langsung. Kopi darat, board game night, atau sekadar jalan kaki keliling kompleks.
- Praktik Mindfulness dalam Kegelapan: Sesekali, duduklah di ruangan yang gelap total. Bernapaslah. Dengarkan suara sekitar. Rasakan kehadiran Anda sendiri. Seperti dalam puisi itu, kegelapan bukanlah sesuatu yang menakutkan, melainkan ruang untuk merasakan kedamaian yang paling primal.
Penutup: Kesepian adalah Pilihan
Pada akhirnya, kesepian adalah pilihan. Kita bisa memilih untuk tenggelam dalam kesepian yang ramai di keramaian digital, atau kita bisa memilih untuk merasakan kebersamaan yang sunyi namun mendalam---bersama diri sendiri, bersama keluarga, bersama alam.
Seperti kata puisi itu, dalam kegelapan, justru bintang-bintang paling jelas bersinar. Mungkin, dalam kesunyian yang kita ciptakan dengan sengaja, hati kita juga akan menemukan kejernihannya kembali.