OLEH: Khoeri Abdul Muid
Malam Minggu. Seharusnya ini adalah momen untuk bersenang-senang, melepas lelah. Tapi, berapa banyak dari kita yang justru menghabiskannya dengan scroll media sosial tanpa ujung? Melihat teman-teman pesta, pasangan yang romantis, seolah dunia ini penuh dengan kebahagiaan---kecuali kita. Jari-jari kita sibuk menelusuri feed Instagram, sementara hati bertanya-tanya: "Apa yang salah dengan malam mingguku?"
Inilah paradoks zaman now: kita merasa paling sepi justru ketika paling terconnected. Sebuah puisi Jawa berjudul "Ing Wengi Listrik Mati" yang saya temukan di sebuah blog tua, justru memberi jawaban yang tak terduga tentang kesepian modern ini.
The Age of FOMO: Terhubung tapi Terisolasi
FOMO (Fear Of Missing Out) bukan sekadar singkatan kekinian. Ia adalah epidemi digital yang menggerogoti kebahagiaan kita. Kita takut ketinggalan cerita, takut tidak update, takut dianggap tidak eksis. Akibatnya, malam minggu yang mestinya untuk istirahat, justru dihabiskan dengan kecemasan sosial yang tak berujung.
Kita terhubung dengan ribuan "teman" di jagat maya, tetapi seringkali lupa menyapa keluarga yang ada di seberang meja. Kita sibuk mengirim sticker "HAHA" untuk candaan orang lain, sementara wajah sendiri mungkin tanpa ekspresi. Kesepian ini bukan karena tidak ada orang di sekitar, tetapi karena tidak ada koneksi yang berarti dan autentik.
Nostalgia Malam Minggu yang (Sesungguhnya) Hidup
Saya masih ingat malam minggu di akhir 90-an. Tanpa WhatsApp grup atau Instagram story, interaksi justru lebih terasa nyata. Anak-anak berkumpul di teras depan, bermain petak umpet di bawah penerangan seadanya. Orang tua mengobrol santai sambil menikmati kacang rebus. Remaja nongkrong di warung kopi sederhana, bercanda dan berdebat langsung tatap muka.
Bahkan ketika sendiri, kesendirian itu terasa berbeda. Tidak ada tekanan untuk "tampak bahagia" atau pamer kegiatan. Kalaupun sepi, sepinya adalah kesepian yang damai, bukan kesepian yang diracuni oleh highlight reel kehidupan orang lain.