Â
OLEH: Khoeri Abdul Muid
Episode 5 -- Masih Untung Banjir, Tidak Kiamat
Pagi itu langit masih muram. Sisa banjir semalam membuat halaman sekolah becek, bau lumpur tercium hingga ke ruang kelas. Anak-anak datang dengan seragam basah kuyup, beberapa bahkan tak memakai sepatu karena hanyut dibawa arus.
Di kelas, suasana murid-murid berbeda. Biasanya riuh dengan canda, kini wajah-wajah kecil itu tampak tegang. Bisik-bisik terdengar, "Katanya, Pak, ini tanda-tanda kiamat..." "Aku takut, nanti gunung meletus terus dunia hancur..."
Pak Bijak masuk kelas dengan langkah tenang, membawa senyum yang menyejukkan. Ia segera menangkap keresahan anak-anak itu.
"Ada apa ini, kok wajah kalian pucat semua?" tanyanya sambil menaruh buku di meja.
Seorang murid, Lala, mengangkat tangan. "Pak... banjir, gunung meletus, gempa... itu tanda kiamat, ya?"
Kelas seketika hening. Semua mata menatap Pak Bijak, seakan menunggu jawaban yang akan menentukan nasib mereka.
Pak Bijak menghela napas, lalu tersenyum bijak. "Anak-anak, kiamat itu memang pasti datang. Tapi ingat, banjir, gempa, atau letusan gunung bukanlah kiamat. Itu peringatan. Itu alarm dari Tuhan agar kita tidak lalai."
Ia mengambil kapur dan menggambar sebuah lampu lalu lintas di papan tulis. "Kalian tahu ini apa?"
"Bangjo, Pak!" jawab mereka serentak.