Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Infobesia

Bertugas di Gabus, Pati, Jateng. Direktur sanggar literasi CSP [Cah_Sor_Pring]. Redaktur Media Didaktik Indonesia [MDI]: bimbingan belajar, penerbit buku ber-ISBN dan mitra jurnal ilmiah bereputasi SINTA. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Hang Tuah [1]: Lima Sekawan dan Sumpah di Gunung Runduk

4 September 2025   20:39 Diperbarui: 4 September 2025   20:39 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ide ilustrasi by kam

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Malaka, 1458. Di bawah pemerintahan Sultan Mansur Syah, Kesultanan Malaka bersinar bagai mutara di pesisir Selat Malaka. Kapal-kapal dari Arab, India, Cina, dan Nusantara berlabuh di pelabuhannya yang ramai, membawa dagangan, kisah, dan orang-orang dari penjuru dunia. Di tengah gemerlap kemakmuran itu, di sebuah desa kecil di Bukit Duyung, hidup lima pemuda yang persahabatannya begitu erat, seakan tak terpisahkan.

Mereka adalah Hang Tuah, Hang Jebat, Hang Kesturi, Hang Lekir, dan Hang Lekiu. Setiap hari, lima sekawan ini selalu bersama. Mereka bersama-sama mengaji pada ulama kampung, bersama-sama belajar silat pada pendekar tua, dan bersama-sama menjelajah setiap sudut Malaka.

Hang Tuah, putra dari Hang Mahmud dan Dang Merduwati, adalah yang paling menonjol. Bukan karena kekuatannya, tapi karena kebijaksanaan dan ketulusan hatinya yang terpancar jelas. Keluarga mereka hidup sederhana dari warung nasi kecil ibunya.

Hang Jebat, adalah sepupunya. Darah mereka sedarah, dan sifat mereka bagai api dan angin; Hang Tuah tenang dan bijak, Hang Jebat bersemangat dan penuh keyakinan. Ia adalah seorang idealis, seringkali mempertanyakan aturan dan menyuarakan keadilan dengan lantang.

Sementara Hang Kesturi, yang paling cerdas di antara mereka, adalah anak seorang pedagang. Ia terpelajar, fasih membaca dan menulis, bahkan memahami sedikit bahasa asing dari ayahnya yang sering berlayar. Hang Lekir, dengan tubuh tegapnya, adalah ahli dalam hal perkapalan dan navigasi. Sedangkan Hang Lekiu, yang paling pendiam, adalah pengamat yang jeli. Matanya selalu memperhatikan sekeliling, seolah dapat membaca niat tersembunyi siapa pun.

Suatu pagi, Hang Tuah membantu orang tuanya.
"Bunda, aku akan ke hutan di Gunung Runduk untuk mencari kayu bakar," kata Hang Tuah pada ibunya, Dang Merduwati.
"Hati-hati, Nak. Gunung itu lebat, banyak binatang buas," sahut sang Ibu dengan wajah penuh kasih.
"Jangan khawatir, Bunda. Aku tidak sendiri," jawab Hang Tuah sambil tersenyum, memandang ke arah keempat sahabatnya yang sudah menunggu di luar dengan tongkat dan tali.

Perjalanan ke Gunung Runduk bukanlah hal mudah. Pepohonan tumbuh rapat, dan sinar matahari nyaris tak menembus lebatnya dedaunan. Mereka menyusuri jalan setapak yang sempit, dipimpin oleh Hang Tuah yang cekatan.

Tiba-tiba, dari balik pepohonan, seekor babi hutan besar muncul dengan mendengus garang. Hang Jebat langsung menyongsongnya dengan tongkatnya, tetapi Hang Tuah menahan langkahnya.
"Tunggu, Jebat! Jangan serang dulu. Lihat, dia sedang terluka."

Hang Tuah melihat sebuah anak panah menancap di kaki belakang hewan itu. Dengan langkah perlahan dan suara yang menenangkan, Hang Tuah mendekati babi hutan yang ketakutan itu. Ajaibnya, hewan buas itu tidak menyerang. Hang Tuah berhasil mencabut anak panah itu dan membalut lukanya dengan sobihan kain. Babi hutan itu pun pergi dengan limpungan.

"Bagaimana kau bisa melakukannya, Tuah?" tanya Hang Kesturi heran.
"Hewan pun bisa merasakan niat kita, Kesturi. Jika kita datang dengan damai, mereka tidak akan menyakiti," jawab Hang Tuah bijak.

Kejadian itu diamati oleh sepasang mata dari balik rerimbunan. Seorang lelaki tua berjubah putih dengan aura wibawa yang kuat melangkah keluar. Wajahnya teduh tetapi matanya tajam bagai elang.
"Selamat, anak muda," ujar orang tua itu. "Kebijaksanaanmu menyelamatkanmu hari ini. Siapa namamu?"
"Saya Hang Tuah, Tuan. Dan ini adalah sahabat-sahabat saya: Hang Jebat, Hang Kesturi, Hang Lekir, dan Hang Lekiu."
"Kalau begitu, kalian berlima memang ditakdirkan untuk bersama," ucap orang tua itu. "Aku adalah Sang Adi Putra, seorang pertapa dari Tanah Jawa."

Sang Adi Putra terkesan pada kelima pemuda itu. Dia melihat potensi besar dalam diri mereka. Selama berhari-hari kemudian, kelima sekawan itu kembali ke Gunung Runduk untuk berguru pada Sang Adi Putra. Mereka diajari ilmu bela diri yang mumpuni, strategi perang, dan yang terpenting, ilmu tentang kesetiaan dan keadilan.

Pada suatu senja, setelah latihan usai, Sang Adi Putra berkata, "Ilmu tanpa dasar yang kuat akan mudah runtuh. Apakah kalian bersumpah untuk selalu setia pada kebenaran dan pada ikatan persaudaraan kalian?"

Dengan penuh keyakinan, kelima pemuda itu menyatukan tangan mereka di atas sebuah batu besar.
"Kami bersumpah!" seru mereka berbarengan. Hang Tuah melanjutkan dengan suara lantang, "Mukti bersama mukti, minum racun mandi bersama mati! Satu untuk semua, semua untuk satu!"

Sang Adi Putra mengangguk puas, tetapi ada sedikit kekhawatiran di matanya. Sumpah itu begitu mulia, tetapi dunia istana penuh dengan liku-liku dan pengkhianatan. Dia berbisik pada Hang Tuah, "Ingat, Nak. Kesetiaan yang buta bisa membawa kehancuran. Dan seorang sahabat yang tersakiti bisa menjadi lawan yang paling berbahaya."

Hang Tuah mengangguk, meski saat itu ia belum sepenuhnya memahami kedalaman kata-kata sang guru. Mereka kembali ke desa dengan membawa ilmu baru dan ikatan yang semakin kuat, tidak menyadari bahwa takdir mereka telah terikat dengan masa depan Kesultanan Malaka.

Ilmu dan sumpah setia mereka telah terikat. Tantangan seperti apa yang menanti lima sekawan ini di luar kedamaian Bukit Duyung? Akankah sumpah mereka benar-benar diuji?

BERSAMBUNG

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun