Mohon tunggu...
Khalda Noer Maidah
Khalda Noer Maidah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Komunikasi

Universitas Negeri Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ketidakrealistisan Citra Kecantikan yang Dipromosikan Media

20 Juni 2021   23:00 Diperbarui: 20 Juni 2021   23:49 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi cantik itu tidak realistis (sumber oleh https://unsplash.com/ )

Kecantikan itu apa sih?

Kecantikan seringkali dikaitkan dengan bentuk tubuh dan paras wajah perempuan. Di Kawasan Asia, perempuan dianggap cantik apabila memiliki keserasian antara bentuk tubuh dan tinggi badan. Citra seperti inilah yang melahirkan budaya untuk menciptakan kebencian dan ketakutan terhadap memiliki tubuh yang gemuk. 

Esther (2002) menemukan beberapa fakta, yaitu 62% subjek penelitian ingin menurunkan berat badan setelah menonton acara fashion show dan penampilan para artis di televisi dan 75% subjek penelitian tertarik dalam membaca artikel atau majalah mengenai bentuk tubuh yang langsing, merasa tidak puas dengan citra tubuh mereka sendiri. 

Dalam hal ini, kecantikan nyatanya dikaitkan oleh opini yang dibentuk dari lingkungan eksternal. Masyarakat yang dibantu oleh media memegang peranan penting dalam pembentukan citra dari kecantikan itu sendiri. Pemahaman mengenai konsep kecantikan merujuk pada kekuasaan pengendalian tubuh yang sesuai dengan perspektif sosial di masyarakat. Pada akhirnya, pemahaman ini memunculkan ukuran dan standard tertentu dalam meminterpretasikan makna dan arti kecantikan bagi perempuan.

Makna cantik merupakan hal yang paling sulit didefinisikan dan dipahami. Konsep mengenai kecantikan itu subjektif. Ide mengenai konsep kecantikan ini banyak dipengaruhi oleh faktor – faktor seperti sosial budaya, suku, kota, dan zaman kapan kita hidup. Suku Kayan di Thailand, beranggapan cantik ketika perempuan memiliki leher yang panjang yang dibaluti dengan gelang logam emas, lain halnya di Ethiopia budaya mereka mendefinisikan bahwa cantik adalah ketika memiliki bibir yang lebar. 

Biasanya mereka menggunakan piringan yang berasal dari tanah liat. Konsep kecantikan yang dibentuk masyarakat merujuk pada bagaimana perempuan distandarisasi dengan ukuran tertentu. Dimana cantik ibarat sebuah kostum yang menunjang sebuah penampilan dan mengindikasikan kedudukan sosial perempuan. Dalam konteks ini, fungsi sosial dari kecantikan akhirnya merepresentasikan citra perempuan di mata sosial.

Ketika seseorang bertanya mengenai citra kecantikan perempuan, mereka cenderung menyebutkannya secara abstrak dan terukur, seakan-akan kecantikan itu memiliki standar nya masing-masing. Standar kecantikan itu tidak realistis. Standar kecantikan selalu berfokus pada penilaian - penilaian masyarakat di sekitar kita yang pedahal penerimaan diri tanpa memikirkan opini masyarakat dapat membangun citra diri yang lebih kuat. Dengan begitu kita dapat merasa puas dengan diri sendiri, dan tidak insecure atas kekurangan diri.

Belum lagi, dilema yang sering dihadapi perempuan karena permainan media oleh industri kecantikan. Seringkali industri kecantikan menampilkan sosok yang berkulit putih dan langsing sebagai icon dari iklan produk kecantikan. Yang secara tidak langsung mempengaruhi persepsi dan pemahaman mereka terhadap makna kecantikan. 

Seiring perkembangan zaman, standar – standar kecantikan yang dibuat oleh masyarakat secara konstan akan berubah. Hal ini karena akan selalu ada trend baru dan versi baru dari kecantikan itu sendiri. Nantinya akan ada juga waktu dimana menjadi langsing itu tidak cantik dan orang memutuskan untuk menambah berat badannya karena mengikuti arus standar kecantikan yang dibantu dikonstruksikan oleh media..

Dalam mengkontruksi makna kecantikan, media berfungsi sebagai alat kontrol sosial. Media berperan menjadi agen sosial dan menyampaikan segala pesan - pesan yang ingin disampaikan. Media sendiri menggiring adanya pemakluman bahwa pandangan mengenai kecantikan dan stereotipenya menjadi kebenaran natural dan dipandang sebagai nilai yang normatif. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun