Pembangunan daerah yang berkelanjutan kini menjadi tuntutan global dan lokal. Di satu sisi, pemerintah provinsi bertanggung jawab meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui ekonomi, infrastruktur, pendidikan, dan layanan publik. Di sisi lain, jika pembangunan hanya mengejar pertumbuhan fisik dan material, tanpa memperhatikan aspek kultural, sosial, spiritual, dan lingkungan, bisa timbul masalah serius: degradasi lingkungan, hilangnya identitas budaya, ketidakadilan sosial, konflik antara kepentingan ekonomi dan konservasi, serta kecenderungan pendidikan yang hanya menekankan aspek intelektual dan teknis, mengabaikan karakter dan nilai.
Di Bali dan beberapa provinsi lain di Indonesia, filosofi Tri Hita Karana (THK) muncul sebagai paradigma lokal yang mampu menjembatani dimensi material dan nonmaterial dalam pembangunan. THK, yang terdiri dari tiga relasi utama --- Parahyangan (manusia dengan Tuhan/ruang spiritual), Pawongan (manusia dengan manusia/relasi sosial), Palemahan (manusia dengan lingkungan/alam) --- menawarkan kerangka untuk pembangunan yang lebih holistik dan harmonis. Filosofi ini bukan hanya milik adat atau ritual, tetapi telah diupayakan untuk diintegrasikan dalam kebijakan publik, regulasi, manajemen organisasi, dan operasional pemerintahan provinsi.
Sebagai mahasiswi Pendidikan IPA, saya tertarik menganalisis bagaimana THK dipraktikkan dalam kebijakan pembangunan provinsi, dan bagaimana organisasi / institusi di tingkat provinsi mengadopsi prinsipprinsip THK dalam manajemen dan operasionalnya. Apakah prinsip ini hanya dijadikan simbol budaya/promosi, atau sudah diterjemahkan ke dalam tindakan nyata dan terukur? Dengan pendekatan studi kasus di Bali (sebagai provinsi pionir penerapannya), tulisan ini mengulas penerapan THK dalam kebijakan pembangunan provinsi, tantangannya, dampaknya, dan implikasi pendidikan dan manajerial, serta menyusun saran agar prinsip THK dapat lebih efektif menjadi landasan pembangunan.
Pembahasan
1. Pengertian dan Komponen Tri Hita Karana
Sebelum masuk ke implementasi, penting memahami komponen dari THK:
Parahyangan: relasi manusia dengan Tuhan atau ruang spiritual. Mencakup kegiatan ritual keagamaan, penghormatan pada kerohanian, tempat-tempat suci, adat-istiadat keagamaan.
Pawongan: relasi sosial antar manusia --- keadilan, kebersamaan, saling menghormati, gotong royong, inklusivitas, kepedulian terhadap sesama.
Palemahan: relasi manusia dengan alam/lingkungan --- pelestarian lingkungan, konservasi sumber daya alam, menjaga keseimbangan ekosistem, pertanian ramah lingkungan, tata ruang yang tidak merusak alam.
THK berasal dari budaya Bali, tetapi relevansinya dapat dijangkau dalam konteks provinsi manapun, terutama daerah dengan kearifan lokal yang kuat atau tekanan pembangunan yang besar.
2. Implementasi THK dalam Kebijakan Pembangunan Provinsi