Kasus Wahyu Moridu di Boalemo membuka satu babak satir politik yang getir sekaligus provokatif Badan Kehormatan (BK) DPRD ternyata hanyalah "pemain cadangan" dalam drama politik. Sementara partai dalam hal ini PDIP berperan sebagai wasit sekaligus algojo yang cepat mengeluarkan kartu merah.
BK yang mestinya menjadi hakim etik justru kelihatan kebingungan menunggu prosedur rapat, klarifikasi, dan pembahasan, sementara partai sudah langsung mengeksekusi kadernya. Alhasil, putusan BK terlambat lahir, seperti dokter datang saat pasien sudah dikuburkan.
Prosedur BK yang panjang memang dibuat agar adil ada laporan, klarifikasi, pembelaan, hingga sidang etik. Tapi lambatnya mekanisme ini justru jadi bumerang. Partai tak butuh berbelit-belit; demi citra, partai memilih cepat potong, cepat sembuh.
Akibatnya, publik melihat partai sebagai eksekutor yang tegas, sementara BK tampak seperti lembaga ompong. Di sinilah provokasinya siapa sebenarnya yang lebih berdaulat di negeri ini partai politik atau lembaga perwakilan rakyat? Bukankah seharusnya DPRD punya marwah sendiri, bukan sekadar stempel keputusan partai?
Di titik ini muncul perbandingan menarik: apakah BK terlalu sabar, atau PDIP yang terlalu nafsuan?
BK yang sabar: mengikuti prosedur, berhati-hati, dan mencoba mencari kebenaran formal lewat mekanisme etik. Sabar, tapi hasilnya telat.
PDIP yang nafsuan Kasus Serupa: BK vs Partai di Banyak Tempat
Fenomena benturan "BK yang lambat" dan "partai yang cepat" bukan hanya terjadi di Gorontalo. Beberapa kasus lain menunjukkan pola serupa
Kasus Anas Urbaningrum (Demokrat): sebelum pengadilan memutuskan, Demokrat sudah lebih dulu mencopot Anas dari kursi ketua umum demi citra partai. Mekanisme etik partai bahkan lebih cepat ketimbang mekanisme hukum formal.