Bagaimana rasanya tumbuh dalam bayang-bayang sejarah yang tak pernah selesai dibicarakan, apalagi disembuhkan? Bagi sebagian orang, masa lalu adalah catatan di buku pelajaran yang bisa dilupakan setelah ujian selesai. Namun bagi yang lahir dari rahim sejarah itu sendiri—anak-anak yang mewarisi luka dari peristiwa kelam bangsa—masa lalu adalah bayangan yang terus mengikuti, bahkan saat cahaya tampak paling terang. Novel Namaku Alam karya Leila S. Chudori mengajak kita menyelami perasaan itu: menjadi remaja yang hidup di antara jejak trauma orang tuanya, di tengah narasi sejarah yang disangkal negara.
Leila S. Chudori kembali mengangkat lembar gelap sejarah Indonesia pasca-1965 dalam novel fiksinya yang berjudul Namaku Alam. Novel ini merupakan bagian dari semesta Pulang, tetapi berdiri sendiri sebagai spin-off yang dapat dibaca tanpa harus menuntaskan karya sebelumnya. Leila mengonfirmasi bahwa Namaku Alam akan hadir dalam dua jilid, menjadikannya bagian dari trilogi besar tentang eksil dan trauma sejarah bangsa. Dalam novel Namaku Alam, Leila S. Chudori mengajak pembaca menyusuri warisan luka, cinta, dan pencarian identitas dari sudut pandang yang tak biasa: seorang anak remaja bernama Alam.
Tokoh sentral dalam novel ini adalah Segara Alam, anak dari seorang jurnalis yang dituduh terlibat dengan Lekra dan diburu oleh negara setelah peristiwa G30S. Lahir di tahun yang sama dengan tragedi itu, Alam tumbuh tanpa kehadiran ayah yang sudah lebih dulu menjadi pelarian dan akhirnya tewas di tangan aparat. Ibunya harus menanggung penderitaan psikologis yang luar biasa—mengalami interogasi hingga pelecehan oleh aparat—sambil membesarkan ketiga anaknya seorang diri. Kenangan pertama yang akan selalu diingat Alam adalah todongan pistol—lambang kekerasan yang membentuk kehidupannya.
Alam, yang memiliki memori fotografis, menyimpan trauma yang sulit hilang. Bersama sahabatnya Bimo dan figur ayah pengganti bernama Aji, mereka tergabung dalam keluarga besar eks tapol (tahanan politik) yang hidup dalam stigma dan pengucilan. Sebagai murid SMA, mereka membentuk kelompok Para Pencatat Sejarah, berusaha merawat kisah yang dihapus negara.
Membaca Namaku Alam dengan Pendekatan Ekspresif
Dalam dunia sastra, tidak sedikit karya yang lahir dari perenungan mendalam dan pergulatan batin penulisnya. Salah satu pendekatan yang menekankan pentingnya dunia batin pengarang dalam memahami sebuah karya adalah pendekatan ekspresif. Menurut Jayanti (2020), pendekatan ini memandang karya sastra sebagai pernyataan jiwa dan emosi pengarang. Artinya, karya sastra bukan hanya sekadar fiksi, melainkan cerminan dari gagasan, angan-angan, dan pengalaman personal penulis itu sendiri. Pendekatan inilah yang kiranya tepat untuk membaca novel Namaku Alam karya Leila S. Chudori.
Leila bukan nama baru dalam khazanah sastra Indonesia. Lewat karya-karyanya seperti Pulang dan Laut Bercerita, ia telah menunjukkan kepiawaiannya dalam mengangkat narasi sejarah yang kerap disisihkan oleh wacana resmi negara. Dalam Namaku Alam, Leila kembali menyuarakan kisah mereka yang tertindas pasca peristiwa 1965, kali ini melalui sudut pandang seorang remaja bernama Segara Alam, anak dari keluarga yang dicap sebagai bagian dari "musuh negara".
Secara emosional, kisah Alam tidak bisa dilepaskan dari keresahan Leila sebagai penulis. Sebagai seorang jurnalis dan sastrawan yang peduli pada isu kemanusiaan dan sejarah, Leila telah banyak mewawancarai para eksil, korban penyiksaan, dan keluarga korban tragedi politik masa lalu. Pengalaman inilah yang membentuk dunia batin Leila—penuh empati, amarah, sekaligus harapan—yang kemudian diekspresikan lewat tokoh-tokoh dalam novelnya. Segara Alam menjadi perpanjangan suara bagi ribuan anak yang tumbuh dalam bayang-bayang dosa yang tidak mereka lakukan.
Dengan pendekatan ekspresif, pembaca dapat memahami bahwa Namaku Alam bukan hanya sebuah cerita remaja yang terjebak dalam konflik sejarah. Ia adalah luapan perasaan penulisnya—tentang luka kolektif, tentang sejarah yang dibungkam, dan tentang generasi yang mewarisi trauma. Leila menyelipkan emosinya dalam dialog, membungkus amarahnya dalam narasi, dan membagikan harapannya lewat akhir kisah yang penuh daya hidup.
Pendekatan ini juga membantu kita memahami mengapa tokoh perempuan dalam novel ini begitu kuat. Dari Kenanga, ibu Alam yang tegar, hingga Dara, sahabat yang penuh semangat perlawanan, mereka semua merepresentasikan pemikiran Leila tentang peran penting perempuan dalam mempertahankan martabat dan menyuarakan kebenaran.
Namaku Alam tidak mencoba menyalahkan siapa pun secara langsung, tetapi menunjukkan bagaimana generasi muda menjadi pewaris trauma dan kerinduan yang tak terucapkan. Melalui sudut pandang remaja, Leila memperlihatkan betapa stigma terhadap keluarga tapol menimbulkan perundungan bahkan sejak masa kanak-kanak. Alam, Bimo, dan keluarga mereka mengalami kekerasan simbolik dan verbal dari teman sekolah—termasuk sepupu sendiri, Irwan, yang mewarisi fanatisme militeristik dari ayahnya. Bahkan cinta pertama Alam, Dara, pun ikut tercabik karena sikap penuh prasangka dari sang kakak, Tommy, kepada Alam.
Namun, Namaku Alam tidak hanya berbicara tentang luka sejarah, melainkan juga ketangguhan perempuan. Sosok Surti—ibu Alam—membesarkan anak-anaknya sendirian sambil menghadapi intimidasi dari aparat. Ia dan kedua putrinya, Kenanga dan Bulan, menjadi poros kekuatan keluarga. Kenanga, putri sulung dalam keluarga, menjadi saksi berbagai peristiwa pahit yang menimpa orang-orang terdekatnya. Di sisi lain, Bulan—anak tengah yang bersikap lebih fleksibel—berperan menjaga agar kakaknya, adiknya, dan ibunya tak lagi terperosok dalam penderitaan yang lebih dalam, menjadikan keluarga yang sebagian besar terdiri dari perempuan itu saling melindungi dan setia satu sama lain. Tidak lupa juga dengan sosok Dara, karateka muda yang penuh prinsip, yang paling berhak untuk menentukan apa yang baik untuk dirinya, meskipun harus melawan sang kakak yang jahat kepada Alam. Mereka memperkaya narasi perempuan dalam karya Leila yang memang konsisten menghadirkan figur-figur perempuan kuat.
Berbeda dari Pulang dan Laut Bercerita yang mengguncang lewat drama sejarah yang intens, Namaku Alam lebih tenang namun tetap menghunjam. Fokusnya adalah pada kehidupan sehari-hari pasca-tragedi, bukan tragedinya sendiri. Novel ini menolak lupa dengan cara yang lebih subtil—mengajak pembaca menyimak bagaimana luka sejarah diwariskan dalam senyap, lewat stigma, pengucilan, dan diam yang dipaksakan.
Leila Chudori menulis fiksi, tetapi kenyataan yang ia angkat sungguh terjadi. Tragedi 1965—yang bermula usai tanggal 30 September—benar-benar berlangsung. Kekerasan dan teror yang menyertainya tidak berhenti pada malam G30S saja, tetapi terus berlanjut, bahkan melampaui usia mereka yang oleh rezim saat itu dicap sebagai ‘komunis’. Teror, penangkapan, penyiksaan, dan pembunuhan berlangsung bertahun-tahun setelahnya, meninggalkan bekas yang diwariskan lintas generasi. Alam, tokoh fiktif itu, adalah gambaran nyata dari mereka yang mewarisi pertanyaan: kapan negara benar-benar akan mengakui dan bertanggung jawab?
Membaca Namaku Alam dengan pendekatan ekspresif mengajak kita melihat lebih dalam: bahwa di balik setiap kalimat yang tertulis, ada jiwa pengarang yang berbicara. Leila S. Chudori tidak hanya menulis sejarah. Ia menghidupkan emosi, menggambarkan keresahan, dan menyuarakan harapan lewat tokoh-tokohnya. Inilah kekuatan sastra—ia mampu menjadi jembatan antara dunia dalam penulis dan kesadaran kolektif pembacanya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI