Namun, Namaku Alam tidak hanya berbicara tentang luka sejarah, melainkan juga ketangguhan perempuan. Sosok Surti—ibu Alam—membesarkan anak-anaknya sendirian sambil menghadapi intimidasi dari aparat. Ia dan kedua putrinya, Kenanga dan Bulan, menjadi poros kekuatan keluarga. Kenanga, putri sulung dalam keluarga, menjadi saksi berbagai peristiwa pahit yang menimpa orang-orang terdekatnya. Di sisi lain, Bulan—anak tengah yang bersikap lebih fleksibel—berperan menjaga agar kakaknya, adiknya, dan ibunya tak lagi terperosok dalam penderitaan yang lebih dalam, menjadikan keluarga yang sebagian besar terdiri dari perempuan itu saling melindungi dan setia satu sama lain. Tidak lupa juga dengan sosok Dara, karateka muda yang penuh prinsip, yang paling berhak untuk menentukan apa yang baik untuk dirinya, meskipun harus melawan sang kakak yang jahat kepada Alam. Mereka memperkaya narasi perempuan dalam karya Leila yang memang konsisten menghadirkan figur-figur perempuan kuat.
Berbeda dari Pulang dan Laut Bercerita yang mengguncang lewat drama sejarah yang intens, Namaku Alam lebih tenang namun tetap menghunjam. Fokusnya adalah pada kehidupan sehari-hari pasca-tragedi, bukan tragedinya sendiri. Novel ini menolak lupa dengan cara yang lebih subtil—mengajak pembaca menyimak bagaimana luka sejarah diwariskan dalam senyap, lewat stigma, pengucilan, dan diam yang dipaksakan.
Leila Chudori menulis fiksi, tetapi kenyataan yang ia angkat sungguh terjadi. Tragedi 1965—yang bermula usai tanggal 30 September—benar-benar berlangsung. Kekerasan dan teror yang menyertainya tidak berhenti pada malam G30S saja, tetapi terus berlanjut, bahkan melampaui usia mereka yang oleh rezim saat itu dicap sebagai ‘komunis’. Teror, penangkapan, penyiksaan, dan pembunuhan berlangsung bertahun-tahun setelahnya, meninggalkan bekas yang diwariskan lintas generasi. Alam, tokoh fiktif itu, adalah gambaran nyata dari mereka yang mewarisi pertanyaan: kapan negara benar-benar akan mengakui dan bertanggung jawab?
Membaca Namaku Alam dengan pendekatan ekspresif mengajak kita melihat lebih dalam: bahwa di balik setiap kalimat yang tertulis, ada jiwa pengarang yang berbicara. Leila S. Chudori tidak hanya menulis sejarah. Ia menghidupkan emosi, menggambarkan keresahan, dan menyuarakan harapan lewat tokoh-tokohnya. Inilah kekuatan sastra—ia mampu menjadi jembatan antara dunia dalam penulis dan kesadaran kolektif pembacanya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI